Keyakinan pada nubuwah lahir dari pandangan-dunia ilahiah yang melahirkan prinsip hidayah universal. Sang Khalik mengkaruniai seluruh makhluk-Nya dengan memberi mereka petunjuk yang meliputi, di jalan kesempurnaan mereka. Setiap makhluk selalu berubah dan memiliki kecenderungan- menuju tujuannya. Daya kecenderungan- yang ada padanya ini disebut hidayah ilahiah. Sebagaimana yang dikatakan nabi Musa as. kepada Firaun dalam QS: Thaha 50:
رَبُّنَا الَّذِي أَعْطى كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَهُ ثُمَّ هَدى
“Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan kepada makhluk-Nya segala sesuatu (yang mereka butuhkan), kemudian memberi petunjuk kepada mereka.”
Penggunaan kata “wahyu” dalam berbagai hal di dalam Alquran, menunjukkan bahwa wahyu tak hanya diberikan kepada manusia saja, tetapi kepada semua makhluk hidup dengan perbedaan level petunjuk menurut potensi kesempurnaan mereka. Sedangkan para nabi as menerima petunjuk dan wahyu di tingkat paling tinggi.
Baca: “Kisah-kisah Nabi Muhammad saw.: Akhlak Nabi Di Masa Kecil (Bag. 1)“
Wahyu bagi umat manusia, di satu sisi menunjuki mereka ke arah tujuan immaterial. Di sisi lain memenuhi kebutuhan hidup sosial mereka yang selalu memerlukan undang-undang ilahiah.
Seorang nabi adalah manusia pilihan yang memiliki kelayakan -yang hanya Allah tahu- menerima pengetahuan berupa wahyu ini dari alam ghaib. Allah swt berfirman(QS: al-An’am 124):
اللَّهُ أَعْلَمُ حَيْثُ يَجْعَلُ رِسالَتَهُ
Kendati realitas wahyu di luar lingkup empiris manusia, tetapi seperti daya-daya atau sarana-sarana lainnya wahyu dapat diketahui melalui jejak-jejaknya. Wahyu ilahiah memberi pengaruh besar bagi diri seorang nabi yang Dia utus. Yakni, membangkitkan daya-daya dan membawa perubahan besar yang ada pada dirinya. Perubahan ini mengarah pada kebaikan dan peningkatan bagi umat manusia, dan bekerja secara nyata, memberinya kepastian yang tak tertandingi.
Kekhususan Seorang Nabi
Seorang nabi utusan Allah memiliki keistimewaan-keistimewaan atau sifat-sifat khusus berikut ini:
1-Mukjizat; bahwa ia memiliki kekuatan yang luar biasa di atas kemampuan manusia, sebagai bukti kebenaran dan kesamawian seruannya. Jejak-jejak keluarbiasaan yang ia tampakkan dengan izin Allah untuk membuktikan kebenaran seruannya itu disebut ayat oleh Alquran. Yakni bukti dan tanda kenabian. Para teolog menyebutnya mukjizat.
Baca: “Kemukjizatan Sabda Nabi saw“
Alquran mengatakan bahwa setiap umat zaman kenabian menuntut ayat atau bukti dan mukjizat. Seorang nabi memenuhi tuntutan itu yang rasional dan logis untuk menarik kebenaran dia dari pihak mereka. Tanpa demikian, tak ada jalan yang mengantarkan mereka pada pengetahuan akan kenabiannya. Ia takkan memenuhi tuntutan mereka dalam maksud lain selain itu.
2-Kemaksuman; yakni terjaga dari dosa dan kesalahan. Bahwa seorang nabi tak dipengaruhi atau dikalahkan oleh hawa nafsu. Kemaksumannya memberikan kepercayaan tertinggi bagi mereka terhadap dirinya.
Bukanlah kemaksuman itu saat ia ingin atau akan berbuat kesalahan, lalu datang kabar ghaib kepadanya. Atau ibarat seorang ayah mencegah kekeliruan yang akan dilakukan anaknya. Juga bukan tidak mampu melakukan kesalahan, seperti malaikat yang tak memiliki syahwat atau seperti kalkulator yang tak mungkin salah hitung. Tetapi hal nabi tidak berbuat dosa dan kesalahan adalah hasil suatu pandangan, tingkat yaqin dan iman.
Baca: “Tingkat Kemaksuman Nabi Muhammad saw“
Terjaga dari Salah dan Dosa
Manusia adalah sosok mukhtâr (yang punya pilihan) memilih suatu tindakan atas dasar kepentingan, manfaat atau madharat yang dia tentukan. Karena itu, identifikasi berperan penting dalam memilih tindakan. Tidaklah mungkin seseorang memilih sesuatu yang menurut identifikasinya membawa kerugian atau madharat. Orang berakal yang ingin hidup takkan terjun dari atas tempat yang tinggi.
Di antara orang-orang tidaklah sama kadar mereka dalam keimanan dan perhatian terhadap dampak-dampak dosa. Semakin kuat keimanan seseorang dan besar perhatiannya itu, semakin banyak ia menjauhi perbuatan dosa. Jika tingkat iman sampai pada syuhud dan penyaksian, sampai batas melihat kondisi dirinya apabila berbuat dosa, hendak menjatuhkan dirinya dari atas bukit, tak mungkin ia memilih perbuatan dosa. Kondisi yang demikian disebut kemaksuman dari dosa, dan lahir dari kesempurnaan iman serta dari kuatnya ketakwaan.
Hal terjaga dari kesalahan pun lahir oleh pandangan seseorang. Bahwa, kesalahan terjadi melalui apa yang dia rasa, pikir dan konsep dengan akalnya terkait dengan suatu realitas, serta berbagai tindakan (pikir) dalam gambaran di benak. Kesalahan kadang terjadi dalam penerapan dan penyusunan gambaran-gambaran di benak terhadap realitas-realitas di luar. Namun seseorang yang dengan indera khusus secara langsung melihat realitas-realitas yang nyata, pengetahuannya akan realitas terhubung dengannya, maka gambaran benak soal kaitannya dengan realitas tak berarti lagi, dan kesalahan tak berlaku baginya.
Baca: “Kematian Manusia di Tangan Siapa?“
Para nabi dari dalam diri mereka terhubung dengan realitas keberadaan. Mengenai realitas, kesalahan takkan terjadi pada mereka. Misalnya, bila seratus biji tasbih kita tuang di wadah (dengan menghitungnya), lalu kita tuang lagi seratus biji lainnya dan hal ini dilakukan secara berulang sampai seratus kali, mungkin benak kita salah dan mengira sudah dilakukan 99 kali atau 101 kali. Namun tidaklah mungkin realitasnya salah, sementara apa yang telah dilakukan secara berulang sampai seratus kali itu terkumpul lebih atau kurang.
Manusia yang pengetahuannya terletak pada realitas yang sebenarnya, dan terhubung menyatu dengan apa yang menjadi hakikat dan realitas keberadaan, ia terpelihara (maksum) dari semua kesalahan.