Oleh: Ustaz Husein Alkaff
Sebagian keturunan Siti Fatimah Zahra as., putri Nabi saw, dari Kaum Ba’alawi biasa menyebut Siti Fatimah as. dengan sebutan “Hababah Fatimah”. Kata “hababah” merupakan bentuk muannats (feminim) dari kata “habib”. Mereka menyebut kaum lelaki mereka dengan habib dan menyebut kaum wanita mereka dengan hababah, dengan sedikit perbedaan yaitu, kata “habib” sekarang ini digunakan untuk hampir semua Ba’alawi; baik yang berilmu maupun yang tidak berilmu, yang tua maupun anak kecil dan seterusnya. Padahal sebelum dua dekade ini, sebutan “habib” digunakan untuk kakek dan seorang alim yang karismatik dari kalangan mereka. Sementara itu, sebutan “hababah” hanya digunakan untuk nenek atau istri seorang habib yang alim dan karismatik.
Ketika kaum Ba’alawi menyebut Siti Fatimah as. dengan sebutan Hababah Fatimah, hal itu lebih karena hubungan biologis. Dengan menyebut beliau dengan sebutan hababah, mereka ingin menunjukan bahwa beliau adalah nenek mereka, dan mereka adalah cucu beliau.
Memang realitanya, mereka sangat memerhatikan garis nasab ,dan menjaganya sedemikian rupa sehingga mereka membentuk sebuah institusi yang secara khusus mengurusi urusan-urusan mereka sendiri, terutaman urusan nasab. Institusi itu dinamai dengan “Rabithah ‘Alawiyyah” yang berdiri pada tahun 1828. Sependek pengetahuan saya, pencatatan keturunan Nabi saw. yang paling rapih dan terjaga kemurniannya adalah pecatatan nasab yang tersimpan di Rabitah Alawiyyah ini.
Baca: Sayidah Fatimah Az-Zahra, Teladan Umat Tiap Masa dan Tempat
Yang menarik, pada kongres Rabithah Alawiyah Jawa Barat akhir-akhir ini pada tahun 2021, salah satu agenda yang diangkat adalah menangani kasus habib palsu. Menurut sebagian kalangan Ba’alawi, kemunculan beberapa oknum yang mengaku sebagai habib, padahal bukan habib, demi mendapatkan penghormatan dari para “muhibbin” (para pecinta habib) sangat meresahkan eksistesi kaum Ba’alawi dan akan merusak pencatatan nasab mereka di masa yang akan datang.
Agenda lain yang dibahas dan masih berkaitan dengan nasab juga adalah masalah “kafaah”. Mereka berpendapat bahwa kaum wanita Ba’alawi tidak boleh menikah dengan laki-laki yang bukan Ba’alawi demi menjaga kemurnian nasab putra dan putri mereka di kemudian hari.
Sebutan lain untuk Siti Fathimah as. adalah Sayyidah Fathimah. Sebutan ini didasari oleh sabda Nabi Muhammad saw. yang berbunyi, “Fathimah sayyidah nisaa’il alamin”. Sebutan ini menunjukan dua hal; pertama, beliau sebagai sosok wanita yang mulia di sisi Allah swt. dan RasulNya, dan kedua, penghormatan kepada beliau dikarenakan kemulian yang melekat pada pribadi beliau berupa ketaqwaan dan kesucian yang dimiliki beliau.
Karena itu, menyebut “sayyidah” untuk beliau lebih karena faktor ideologi bukan biologi. Dengan kata lain, ketika seseorang menyebut beliau dengan sayyidah, maka dia ingin menunjukan rasa hormat dan takzhim kepada beliau, dan dia memberi pesan yang jelas kepada orang lain bahwa dia sedang memuliakan beliau.
Baca: Pernikahan Sayidah Fatimah a.s. dengan Imam Ali a.s.
Lebih dari itu, orang itu telah mengikuti Nabi saw. yang menyebut beliau dengan sebutan “sayyidah”.
Jika sebutan “hababah” untuk Siti Fathimah as. hanya berlaku untuk kalangan Ba’alawi saja, maka sebutan “sayyidah” boleh diucapkan oleh siapapun.
Seorang, baik Ba’lawi maupun bukan, yang mencintai dan menghormati beliau dipastikan menyebutnya dengan Sayyidah Fatimah. Bahkan kata “siti” sendiri, yang sesungguhnya dialek Arab amiyah di beberapa kawasan Timur Tengah, berasal dari kata “sayyidati” seperti halnya kata “sidi” dari kata “sayyidi”.
Kemudian ungkapan seseorang tentang sesuatu merupakan ekspresi dari apa yang tersimpan dalam pikiran dan hatinya. Ketika seseorang menyebut Siti Fatimah as. dengan hababah ataupun sayyidah, maka hal itu menunjukkan rasa dan pikiran yang tersimpan dalam diri pengucapnya.
Kata “hababah” selain bermakna nenek juga memberikan pesan bahwa yang mengucapkannya adalah keturunan beliau, sehingga sebutan itu menjadi ekslusif.
Baca: Keutamaan Sayidah Fatimah
Sementara kata “sayyidah” bermakna junjungan, dan juga memberikan pesan bahwa yang mengucapkannya sedang memuliakan dan menghormati beliau. Selain itu, menyebut beliau dengan Sayyidah Fatimah as. merupakan Sunnah Nabi saw. dan tidak ekslusif.
Benar, terkadang Siti Fatimah as. disebut dengan Bunda Zahra oleh selain keturunan beliau, dan ketika menyebut beliau dengan Bunda Zahra, mereka ingin menunjukan penghormatan dan takzhim kepada beliau.
Ala kulli hal , sah-sah saja kaum Ba’alawi menyebut Siti Fatimah as. dengan sebutan hababah ataupun sayyidah. Namun yang perlu diingat adalah bahwa menyebut sesuatu merupakan ekspresi dari rasa dan pikiran yang ada pada seseorang. Lebih jelasnya, apa sesungguhnya yang dirasakan dan dipikirkan oleh Kaum Ba’alawi saat menyebut nama beliau? Apakah mereka ingin menunjukan bahwa mereka adalah cucu beliau sehingga menyebut beliau dengan Hababah Fatimah, atau mereka tengah memuliakan dan menghormati beliau serta mengikuti Sunnah Nabi saw. sehingga menyebut beliau dengan Sayyidah Fatimah ?
Secara pasti, mereka sendiri yang bisa menjawab pertanyaan ini. Wallahu a’lam