Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Situasi Politik di Masa Keimamahan Imam Ali Zainal Abidin a.s.

Masa imamah Imam Ali Sajjad a.s. awalnya berlalu tanpa mengalami penindasan ataupun tindakan keras dari penguasa Bani Umayah yang menyimpang itu, karena mereka merasa puas bahwa Imam Sajjad a.s. tidak ikut campur dalam pergolakan-pergolakan yang timbul di seluruh wilayah negara selama sepuluh tahun setelah terjadinya tragedi Karbala yang berdarah itu.

Kelunakan sikap penguasa Bani Umayah terlihat misalnya dalam pesan Yazid bin Muawiyah kepada panglimanya, Muslim bin Uqbah, yang diperintahkannya menyerbu Madinah Al-Munawwarah.  Dalam pesan itu Yazid mengatakan: “Jika engkau telah memperoleh kemenangan atas mereka, maka izinkanlah tentaramu melakukan penjarahan harta dan binatang ternak atau pun senjata selama tiga hari. Dan jika telah berlalu waktu tiga hari, maka cegahlah mereka dari menyakiti orang banyak.   Dan perhatikan Ali bin Husain, jagalah jangan sampai dia terkena gangguan. Pesankanlah kepada tentaramu agar memperlakukannya dengan baik, sebab dia tidak ikut campur dalam urusan orang banyak.” (Bihar Al-Anwar, jil. 46, lbnu Atsir, jil. 9, hal. 48)

Demikian juga perlakuan Abdul Malik bin Marwan ketika dia mengangkat Hisyam bin Ismail sebagai gubernur di Madinah. Dia berpesan kepadanya agar memperlakukan Imam a.s. dengan baik. Juga ketika Hajjaj bin Yusuf Tsaqafi selesai memberantas pemberontakan Abdullah bin Zubair di Hijaz dan melaksanakan politik penindasan dan terorisme yang tak ada taranya dalam sejarah Islam.

Baca: Imam Zainal Abidin pasca Peristiwa Karbala

Namun setelah penguasa Abdul Malik bin Marwan berhasil melenyapkan pemberontakan, pada tahun 65 H situasi pun kembali kepada ke keadaan sebelumnya dengan politik tangan besi. Bani Umayah, di bawah Abdul Malik bin Marwan melaksanakan politik pemusnahan terhadap  eksistensi risalah. Kebijaksanaan tangan besi mereka tampak nyata dengan diangkatnya seorang yang berwatak algojo, yaitu Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi, sebagai gubernur Kufah. Selama kekuasaan Hajjaj, terjadilah pembantaian besar-besaran, ketakutan dan maut tersebar luas. Orang-orang beriman dibunuh dengan tuduhan palsu atau sangkaan semata-mata.

Gambaran mengenai situasi ini diriwayatkan dari Imam Muhammad Baqir a.s, “…Kemudian muncullah Hajjaj. Dia membunuhi mereka -yakni para pengikut Ahlulbait- sebanyak banyaknya. Mereka ditangkap dengan segala macam tuduhan, sampai-sampai jika seseorang dikatakan zindiq atau kafir, dia masih lebih disukai oleh Hajjaj daripada orang yang memperoleh sebutan Pengikut Ali.” (Syarh Nahjul Balaghah, jil. 9, hal. 44)

Selama masa yang penuh dengan pengadilan sewenang-wenang itu, para pengikut Ahlulbait a.s. kehilangan banyak tokoh-tokoh mereka yang terkemuka, seperti Said bin Jubair, Kumail bin Ziyad, dan lain-lain. Sebagian ahli sejarah mencatat bahwa jumlah orang yang dibunuh oleh Hajjaj dalam 10 tahun masa pemerintahannya sebagai gubernur itu adalah puluhan ribu orang banyaknya. Ketika di mati di dalam penjaranya masih ada 50.000 orang tahanan laki-laki, dan 30.000 orang tahanan perempuan. Bencana besar yang menimpa para pengikut Ahlulbait ini dalam bentuk pembunuhan, pengejaran, pemenjaraan, dan penyiksaan yang mereka alami.

Meskipun Imam Sajjad a.s. tidak memperlihatkan secara terbuka kegiatan politik atau militer yang bermusuhan terhadap kekuasaan Bani Umayah, namun beliau tidaklah bebas dari ancaman, teror dan penahanan. Kegiatan intelektual beliau pun selalu diawasi. Penguasa senantiasa meliput setiap kegiatan beliau, hingga yang bersifat pribadi sekali pun, sebagaimana diberitakan oleh dokumen-dokumen sejarah. Hal ini dilakukan sebab pihak Bani Umayah tahu bahwa beliau adalah cermin hakiki dari metode llahi, dan bahwa beliau merupakan ancaman praktis terhadap arus penyimpangan penguasa Bani Umayah.

Baca: Tasbih Imam Zainal Abidin as.

Meskipun Abdul Malik bin Marwan berusaha agar tidak menumpahkan darah Bani Abdul Muththalib sebagaimana diisyaratkannya dalam suratnya kepada Hajjaj, namun dia merasa tak suka dengan adanya Imam Sajjad a.s. di Madinah AI-Munawwarah, karena terus bertumbuh dan berkembangnya khitthah beliau di masyarakat yang bertentangan dengan kebijaksanaan penguasa. Dia melampiaskan ketidaksenangannya dengan mengeluarkan surat perintah penahanan terhadap Imam a.s. dan agar beliau dibawa ke Damaskus dengan dibebani besi untuk meneror beliau dan memaksa beliau menghentikan kegiatan intelektualnya di kalangan kaum Muslimin.

Abdul Malik ingin memisahkan Imam Sajjad a.s. dari umat dan murid-muridnya di Madinah. Namun kekuatan ruhani yang dimiliki Imam a.s. dan kemuliaan beliau di sisi Allah Swt telah menghalangi   terlaksananya rencana Bani Umayyah. Imam Sajjad a.s. berhasil kembali ke tanah suci Madinah dengan selamat.

Namun situasi kembali menjadi kritis setelah Abdul Malik meninggal, yang digantikan oleh anaknya, AI-Walid. Ketika itu pemberontakan-pemberontakan telah berhasil ditumpas, tinggal Imam Sajjad a.s. saja yang terus menjalankan khitthah damainya di tengah-tengah umat dengan cara mendidik dan memberi petunjuk, amar ma’ruf dan nahi munkar.

Penguasa Bani Umayah menyadari bahwa menghentikan gerakan Imam Sajjad a.s. tidak akan bisa dilakukan dengan menakut-nakuti beliau, sebab mereka telah mencoba hal itu di masa Abdul Malik. Oleh karena itu, mereka lalu memutuskan untuk mengakhiri hidup Imam Sajjad a.s.

Baca: Doa Imam Zainal Abidin untuk Menghilangkan Kecemasan

Di masa pemerintahan AI-Walid, Sulaiman bin Abdul Malik diperintah untuk membunuh Imam a.s. dengan cara menyusupkan racun ke dalam makanan beliau. Akirnya Imam a.s. pun syahid pada 24 Muharam 65 H. Meski beliau a.s. telah syahid, namun pemikiran-pemikiran dan tujuan-tujuan gerakan beliau tetap hidup subur dan berkembang sepanjang sejarah manusia, serta menyalakan cahaya keutamaan dan memancarkan petunjuk.

*Disadur dari buku Biografi Imam Ali Zainal Abidin karya Ali Muhammad


No comments

LEAVE A COMMENT