Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Tafsir Surat adh-Dhuha

Terjemah:

1) Demi waktu dhuha

2) Demi malam jika sunyi

3) Tidaklah Tuhanmu meninggalkanmu dan tidal pula membencimu

4) Dan sesungguhnya akhirat lebih baik bagimu dari pada dunia

5) Dan Tuhanmu akan memberimu sampai kamu puas

6) Bukankah Dia mendapatimu seorang yatim, lalu Dia melindungimu

7) Dia mendapatimu tersesat, lalu Dia memberimu petunjuk

8) Dan Dia mendapatimu seorang yang berkekurangan, lalu Dia memberimu kecukupan

9) Maka (oleh karena itu) anak yatim janganlah kamu zalimi

10) Dan orang yang minta-minta janganlah kamu hardik

11) Adapun terhadap anugerah Tuhanmu maka sebut-sebutlah

Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas bahwa wahyu terputus dari Rasulullah Saw selama lima belas hari. Lalu berkatalah kaum Musyrikin: “Muhammad telah ditinggalkan dan dibenci oleh Tuhannya. Jika Allah yang mengurus dia, maka wahyu akan turun terus menerus kepadanya.” Tidak lama kemudian turunlah surat ini. (Tafsir al-Amtsal)

Diriwayatkan juga bahwa ketika surat ini turun,

Rasulullah Saw berkata kepada Jibril as: “Sudah lama Anda tidak datang sehingga aku rindu kepadamu.”

Lalu Jibril berkata: “Dan aku pun lebih rindu kepadamu, tapi aku adalah seorang hamba yang diperintahkan, dan aku tidak akan turun kecuali atas perintah Tuhanmu.” (al-Fakhrul Razi)

Tafsir 1 -5

Dhuha adalah waktu permulaan siang, yaitu ketika bola matahari sudah naik dari ufuk timur. Waktu dhuha merupakan waktu yang paling menyenangkan di siang hari, karena di waktu itu udara tidak terlalu panas pada musim panas, dan cukup hangat pada musim dingin.

Saja berarti tenang dan sunyi. Dalam bahasa Arab laylah sajiyah bermakna malam yang sunyi dan tenang. Pada waktu malam, kegelapan menyelimuti seluruh permukaan bumi.

Tafsir al-Amtsal menyebutkan bahwa terdapat keserasian dan hubungan yang erat antara dua waktu itu dengan pesan yang disampaikan setelah sumpah. Siang adalah cahaya, demikian pula wahyu Ilahi. Malam adalah kegelapan, demikian pula berhentinya wahyu. Jiwa Nabi Saw menjadi senang dan gembira di saat turunnya wahyu, dan menjadi murung dan sedih dikala wahyu dalam waktu lama tidak turun.

Surat ini menjelaskan bagaimana hubungan yang sangat harmonis antara Allah Swt sebagai Pengutus, dan Rasulullah Saw sebagai orang yang diutus. Hubungan ini begitu erat dan baik, sampai-sampai beliau bersedih dan gelisah ketika tidak mendapatkan wahyu. Dan Allah pun tidak akan rela membiarkan beliau bersedih dan gelisah. Inilah hubungan cinta yang hakiki antara dua kekasih yang saling terikat. Ketika Rasulullah Saw sedih karena berhentinya wahyu, maka Allah Swt bersumpah, yang menunjukkan kesungguhan, bahwa Dia tidak akan membiarkan beliau dalam kesedihan, dan Dia tidak membenci beliau.

Berhentinya wahyu bukan karena Allah Swt marah dan benci kepada beliau, seperti yang dikatakan kaum musyrikin, tetapi karena maslahat yang hanya Dia yang mengetahuinya. Kemudian Allah Swt menegaskan bahwa meskipun Rasulullah di dunia mendapatkan perhatian yang khusus dari-Nya karena beliau adalah kekasih dan utusan-Nya, namun kehidupan di akhirat tetap lebih baik bagi beliau. Di akhirat kelak, Allah Swt akan memberikan kepada beliau segala yang beliau inginkan sampai beliau merasa puas dan senang.

Tafsir ad-Durr al-Mantsur mengutip sebuah riwayat dari Harb bin Syuraih, dia berkata: “Aku bertanya kepada Abu Jakfar Muhammad bin Ali bin al Husain: “Bagaimana pendapatmu tentang syafaat yang dibicarakan orang-orang Irak, Apakah benar?”

Beliau menjawab: “Ya benar, demi Allah. Pamanku Muhammad bin Hanafiyah menyampaikan padaku dari Ali, bahwa Rasulullah Saw bersabda, ‘Aku akan memberi syafaat kepada umatku, sehingga Tuhanku memanggilku, Apakah kamu sudah puas, hai Muhammad?’ Maka aku berkata, ‘Ya, hai Tuhanku, aku puas.’”

Tafsir ayat 6 – 11

Ayat-ayat terakhir ini mengungkapkan tentang beberapa kasus yang menunjukkan besarnya perhatian Allah Swt kepada Rasulullah Saw. Sesungguhnya Allah Swt tidak akan pernah meninggalkan dan membenci beliau. Kasus-kasus itu sebagai berikut:

1) Rasulullah Saw sejak lahir sudah menjadi anak yatim, maka kakeknyalah, Abdul Muthalib, yang mengasuhnya dengan sebaik-baiknya asuhan. Dia seorang tokoh Quraisy terbesar yang disegani oleh suku Quraisy. Setelah kakeknya wafat, beliau diasuh dan dididik oleh pamannya, Abu Thalib, atas perintah Abdul Muthalib. Abu Thalib menggantikan posisi ayahnya sebagai tokoh spiritual yang disegani oleh suku Quraisy.

Pada masa perlindungan Abu Thalib, Rasulullah Saw diangkat oleh Allah Swt menjadi utusan-Nya. Karena kedudukan dan wibawa Abu Thalib, kaum musyrikin tidak berani menyakiti dan mengganggu Rasulullah. Perlindungan Abdul Muthalib dan Abu Thalib atas beliau tidak lain atas kehendak Allah Swt.

2) Sebelum diangkat menjadi nabi, Rasulullah Saw tidak mengetahui rahasia-rahasia alam ciptaan secara sempurna. Setelah mendapatkan wahyu, beliau menjadi seorang yang banyak mengetahui rahasia-rahasia itu. Dalam hal ini, Allah Swt. Berfirman: “Kami ceritakan kepadamu sebaik-baiknya kisah melalui wahyu yang Kami sampaikan kepadamu, Quran ini. Sesungguhnya kamu sebelum ini termasuk orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. Yusuf: 3)

Tafsir al-Amtsal menyebutkan, bahwa kata ‘tersesat’ dalam ayat di atas artinya bukan tidak beriman atau tidak bertakwa, tetapi artinya tidak mengetahui rahasia­rahasia alam ciptaan dan hukum-hukum Allah Swt. Sebagian menafsirkan bahwa Rasulullah Saw pada masa kanak-kanak berkali-kali tersesat jalan di Mekah, Thaif dan Syam. Latu Allah Swt yang menunjukkannya.

3) Beliau Saw hidup dari keluarga yang tidak mampu dan serba kekurangan, lalu beliau menikah dengan Siti Khadijah, seorang wanita kaya raya. Maka beliau menjadi seorang yang berkecukupan.

Dengan memperhatikan kebaikan dan anugerah Allah Swt yang besar kepada Rasulullah Saw itu, maka beliau juga harus menyayangi anak yatim dan tidak menelantarkannya, dan harus menyantuni orang miskin dan tidak menghardiknya. Pada ayat terakhir Allah Swt memerintahkan beliau agar menyatakan kebaikan dan anugerah-Nya, baik dengan lisan maupun perbuatan, sebagai ungkapan syukur kepada-Nya.

Tiga ayat terakhir ini, meskipun secara tekstual diarahkan kepada Rasulullah Saw, tetapi pada hakikatnya berlaku untuk kita semua. Salah satu bentuk menyatakan kenikmatan Allah Swt adalah seperti yang disabdakan oleh Rasulullah Saw: “Sesungguhnya Allah ta’ala jika memberi kenikmatan kepada seorang hamba, maka Dia ingin melihat tanda kenikmatan itu.” Juga beliau bersabda: “Barang siapa telah diberi kebaikan, tapi tidak mempertunjukkannya, maka orang itu disebut sebagai musuh Allah.”

*Disadur dari Tafsir Juz Amma karya Ustaz Husain Alkaff

Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT