Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Tafsir Surat al-Balad

Terjemah

  1. Aku bersumpah dengan negeri ini (Mekah),
  2. dan engkau (Muhammad), bertempat di negeri (Mekah) ini,
  3. dan demi (pertalian) bapak dan anaknya.
  4. Sungguh, Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.
  5. Apakah dia (manusia) itu mengira bahwa tidak ada sesuatu pun yang berkuasa atasnya?
  6. Dia mengatakan, “Aku telah menghabiskan harta yang banyak.”
  7. Apakah dia mengira bahwa tidak ada sesuatu pun yang melihatnya?
  8. Bukankah Kami telah menjadikan untuknya sepasang mata,
  9. dan lidah dan sepasang bibir?
  10. Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebajikan dan kejahatan),
  11. tetapi dia tidak menempuh jalan yang mendaki dan sukar?
  12. Dan tahukah kamu apakah jalan yang mendaki dan sukar itu?
  13. (yaitu) melepaskan perbudakan (hamba sahaya),
  14. atau memberi makan pada hari terjadi kelaparan,
  15. (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat,
  16. atau orang miskin yang sangat fakir.
  17. Kemudian dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang.
  18. Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan.
  19. Dan orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, mereka itu adalah golongan kiri.
  20. Mereka berada dalam neraka yang ditutup rapat.

Tafsir ayat 1 – 5

Ketika Allah Swt bersumpah dengan sesuatu, maka sesuatu itu mempunyai keistimewaan tersendiri. Dalam surat ini tidak disebutkan dengan jelas nama kota yang disumpah oleh Allah Swt. Namun, para ahli tafsir bersepakat bahwa yang dimaksud kota di sini adalah kota Mekah, karena surat ini turun di Mekkah dan juga karena Nabi Muhammad Saw bertempat tinggal di Mekah.

Fakhrul Razi berkata: “Ketahuilah bahwa kota Mekah yang terkenal itu mulia, karena Allah Swt menjadikannya sebagai tempat yang aman. Allah Swt berfirman tentang masjid yang ada di dalamnya, ‘Dan barang siapa memasukinya maka dia aman (Ali Imran: 97)’ serta ‘Dan ingatlah, Kami jadikan rumah itu sebagai tempat berlindung dan aman bagi manusia (al Baqarah 125).’”

Allah Swt sendiri menjelaskan bahwa sebab utama kemuliaan kota Mekkah adalah keberadaan Nabi Muhammad Saw di dalamnya. Penjelasan ini sekaligus membantah anggapan kaum musyrikin yang menyatakan bahwa kemuliaan kota Mekkah karena banyaknya patung di dalam dan sekitar Kabah (Tafsir al-Amtsal). Sebagian ahli tafsir menafsirkan ayat wa anta hillul bahwa Rasulullah Saw diperbolehkan melakukan apa pun di kota Mekah (al-Thabari dan al-Qurthubi).

Kemudian Allah Swt bersumpah dengan “seorang ayah dan yang dilahirkannya. Yang dimaksud dengan ayah dan anaknya, menurut Alamah Thabathabai adalah Nabi Ibrahim a.s. dan Ismail a.s. karena mereka berdualah yang membangun Kabah dan kota Mekkah: “Dan ingatlah, ketika Ibrahim dan Ismail meninggikan fondasi-fondasi rumah -baitullah- (QS. al-Baqarah: 127)” serta, “Dan ingatlah ketika Ibrahim berdoa, ‘Tuhanku, jadikan kola ini aman.’” (QS. Ibrahim: 35). Sedangkan menurut al-Qurthubi dan al-Thabari, adalah Nabi Adam dan keturunannya.

Setelah bersumpah, Allah Swt menegaskan bahwa penciptaan manusia penuh dengan kesusahan dan kesulitan. Dan itu adalah realitas yang tidak bisa dipungkiri oleh siapa pun. Sejak manusia lahir ke dunia sampai beranjak usia remaja dan dewasa, kemudian masuk usia senja dan akhirnya mati. Jenjang-jenjang yang dilalui manusia itu tidak lepas dari penderitaan dan kesulitan. Manusia tidak bisa menghindari satu kesulitan ketika kesulitan itu menghampirinya. Yang dapat dan harus manusia lakukan adalah mengatasi kesulitan.

Jika demikian keadaannya, Masihkah manusia, meski dia hebat dan kuat, menyangka tiada yang dapat menguasai dan mengalahkannya? Sejarah merupakan bukti yang nyata, betapa banyak penguasa yang kuat hancur dan binasa. Tidak ada seorang pun di dunia yang tidak pernah terkalahkan.

Tafsir Ayat 6 – 10

Sebab turunnya ayat ini menurut sebagian ahli tafsir, mengisyaratkan pada orang-orang yang dimintai infak, namun mereka tidak mau berinfak dengan alasan mereka telah banyak mengeluarkan uang untuk amal kebaikan. (Tafsir al-Amtsal)

Menurut sebagian yang lain, ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang yang telah mengeluarkan harta yang banyak dalam rangka menentang dakwah Rasulullah Saw dan mereka bangga dengan itu (al-Thabari dan al Fakhrul Razi). Pendapat ini diperkuat dengan perkataan Amr bin Abdi Wud dalam perang Khandaq. Dia berkata kepada Imam Ali bin Abi Thalib a.s., “Maka mana harta yang banyak yang telah aku keluarkan untuk menentang kalian.”

Menurut sebagian yang lain lagi, bahwa ayat ini berkenaan dengan pribadi al Harits bin Amir. Dia pernah melakukan sebuah dosa lalu meminta fatwa dari Rasulullah Saw. Lalu beliau menyuruhnya untuk melakukan kaffarah (mengeluarkan uang). Kemudian dia berkata: “Sungguh telah habis uangku karena kaffarah dan infak sejak aku masuk agama Muhammad.” (al-Qurthubi).

Pesan ayat ini jelas, meskipun terdapat perbedaan tentang sebab turunnya, yaitu adanya anggapan yang keliru bahwa seseorang merasa telah banyak berinfak dalam kebaikan sehingga tidak merasa harus berinfak lagi. Kecuali itu, dia juga keliru karena menganggap Allah Swt tidak memperhatikannya. Padahal Allah Swt mengetahui apa yang dia infakkan, dan mengetahui pula apa yang dia simpan dalam hatinya.

Kemudian Allah Swt menyebutkan beberapa karunia yang diberikan kepada manusia; mata, mulut, dan akal. Tiga karunia ini mempunyai fungsi yang signifikan bagi manusia, dan melalui tiga karunia ini manusia bisa melakukan berbagai kebaikan dan juga kejahatan. Untuk itu, Allah Swt menunjukkan kepada manusia dua jalan; jalan yang benar dan jalan yang sesat.

Al-Amtsal menjelaskan, Allah sebagai Tuhan Yang Mahabijaksana telah membimbing manusia, baik yang berkaitan dengan kehidupan materi maupun kehidupan spiritual. Manusia dengan instingnya dapat mempertahankan kehidupannya dan melangsungkan keturunannya di dunia, sama halnya dengan binatang. Kelebihan manusia atas binatang terletak pada kehidupan dan nilai-nilai spiritualnya. Untuk itu, Allah Swt memberikan kepada manusia akal.

Dengan akalnya, manusia dapat mengetahui jalan yang benar dan jalan yang salah, dan juga akalnya selalu mendorongnya untuk melakukan kebaikan dan mencegahnya dari berbuat kejahatan. Selain dengan akal, Allah juga membimbing manusia dengan diutusnya para nabi dan diturunkannya kitab-kitab samawi. Dengan semua itu, maka sempurnalah hujah Allah Swt atas manusia sehingga manusia tidak punya alasan untuk tidak mengikuti kebenaran dan melakukan kebaikan.

Tafsir Ayat 11 – 16

Ayat-ayat ini menimpali anggapan orang yang mengatakan: “Aku telah menghabiskan harta yang banyak”, bahwa sebenarnya dia itu belum melakukan apa-apa selagi belum menempuh jalan aqabah. Apakah aqabah itu?

Secara bahasa aqabah berarti tanjakan yang sulit dan terjal. Tetapi yang dimaksud dalam surat ini adalah perbuatan yang membutuhkan keimanan yang tinggi sehingga mengalahkan hawa nafsu dan kecintaan terhadap dunia. Dalam surat ini diberikan beberapa contoh dari perbuatan-perbuatan itu;

  1. Membebaskan budak. Pada zaman dahulu, budak adalah harta yang sangat berharga sehingga tidak mudah seseorang membebaskannya. Pada dasarnya, Islam tidak menyetujui perbudakan, bahkan memerintahkan atau menganjurkan untuk membebaskan budak dengan berbagai cara, seperti kaffarah puasa, kaffarah haji, dan lainnya. Oleh karena itu, membebaskan budak dianggap sebagai perbuatan yang sangat baik dan terpuji.
  2. Memberi makan kepada yang kelaparan, baik anak yatim maupun orang miskin. Ini adalah salah satu bentuk ibadah sosial yang sangat ditekankan dalam Islam. Perintah dan anjuran menyantuni orang-orang lemah dan tidak berdaya menjadi bagian yang terpenting dari ajaran Islam.

Tafsir Ayat 17 – 20

Mereka yang berhasil menembus jalan yang sulit itu adalah orang-orang yang beriman, yang saling berpesan sesama mereka untuk bersabar dalam menjalankan ketaatan, menjauhi keburukan dan menghadapi tantangan hidup, dan juga yang saling berpesan untuk berkasih sayang terhadap makhluk-makhluk Allah Swt.

Dalam banyak ayat-ayat Alquran sering digandengkan antara iman dan berbuat kebaikan, seperti dalam ayat-ayat ini, karena antara dua hal ini terdapat hubungan yang sangat erat sekali. Dalam hal ini, keimanan berkedudukan sebagai sebab sedangkan berbuat kebaikan berkedudukan sebagai akibat. Pada umumnya, akibat lebih luas dari sebab. Oleh karena itu, mungkin saja seseorang melakukan kebaikan, tapi ia tidak beriman. Tetapi orang yang benar-benar beriman pasti melakukan kebaikan. Orang yang beriman, namun tidak melakukan kebaikan, pada hakikatnya, ia tidak beriman atau imannya sangat lemah. Dalam sebuah hadis Rasulullah Saw bersabda: “Tidaklah seseorang berzina, dan pada saat berzina itu dia beriman.”

Iman di samping berperan sebagai sebab dan penggerak untuk melakukan kebaikan, juga berperan sebagai pengarah tujuan dari melakukan kebaikan. Orang yang beriman melakukan kebaikan karena Allah Swt dan untuk mendapatkan rida-Nya. Dia mengerahkan seluruh perbuatannya semata-mata untuk Allah Swt. Tujuan seperti itulah yang membedakan orang-orang yang beriman dari orang-orang yang tidak beriman, meskipun kedua kelompok ini melakukan kebaikan.

Kata “maymanah” seperti yang dijelaskan dalam al-Amtsal, jika diambil dari kata “yamin” yang berarti kanan, maka maksudnya mereka pada hari kiamat nanti akan menerima buku catatan perbuatannya dengan tangan kanan, sehingga dengan demikian mereka menjadi penghuni surga. Tetapi jika kata itu diambil dari kata “yumn” yang berarti berkah dan keberuntungan, maka maksudnya, mereka adalah orang-orang yang beruntung pada hari akhirat nanti.

Sedangkan orang-orang yang menolak dan mengingkari kebenaran Alquran, maka mereka adalah golongan “masy’amah”. Kata ini diambil dari kata “syu’um” yang berarti kesialan. Mereka adalah orang-orang yang sial dan rugi di akhirat, karena akan menjadi penghuni neraka yang tertutup rapat. Dalam ayat ini digambarkan bahwa mereka seakan-akan berada di sebuah kotak api yang panas dan tertutup sehingga tidak bisa keluar. Tentang Ashhab Maymanah dan Ashhb Masy’amah ini dijelaskan dengan rinci dalam surat al-Waqi’ah.

*Disadur dari Tafsir Juz Amma karya Ustaz Husain Alkaff

No comments

LEAVE A COMMENT