Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Takut Kepada Allah (4)

Kisah Tragis Algojo Hamid bin Qahtabah

Ubaidillah al-Bazzaz al-Nisaburi, seorang lelaki tua, mengutarakan kisah manusia kejam dan sadis Hamid bin Qahtabah, antek penguasa Harun al-Rasyid, kurang lebih sebagai berikut;

“Antara aku dan Hamid bin Qahtabah terdapat suatu transaksi. Suatu hari aku mengadakan perjalanan dari Nisabur ke Tus (dekat kota Masyhad, Iran). Ketika Hamid bin Qahtabah mendengar kedatanganku ke sana dia memintaku datang kepadanya. Tengah hari bulan Ramadhan aku mendatangi rumahnya. Aku mengucapkan salam kepadanya dan melihatnya duduk dalam rumah. Dia membawakan air kepadaku dan akupun mencuci tangan. Dia menyajikan santapan istimewa dan akupun lupa sedang berada di bulan Ramadhan. Saya berhenti makan setelah ingat puasaku.

“Hamid bertanya; ‘Mengapa kamu berhenti makan?’ Aku menjawab, ‘Wahai Amir, ini bulan puasa, aku sedang sehat dan berpuasa, sedangkan Amir mungkin berhalangan sehingga tidak dapat berpuasa.’ Hamid menjawab, ‘Tak ada sebab apapun, aku juga sehat dan tak berhalangan.’ Setelah mengucapkan kalimat ini dia tiba-tiba berderai air mata. Setelah dia selesai makan aku bertanya kepadanya, ‘Apa yang terjadi? Apa sebabnya?’

“Dia menjawab, ‘Sebabnya ialah ketika Harun al-Rasyid berada di Tus dia mencari dan memanggilku. Ketika aku mendatanginya di malam hari aku melihatnya duduk dengan lilin menyala di sebelahnya. Dia meletakkan pedang dia depannya sementara seorang pelayan berdiri di dekatnya. Harun mendongakkan wajahnya ketika melihatku. Dia berucap, ‘Bagaimana ketaatanmu kepada Amirul Mukmin (Harun mengaku sebagai Amirul Mukminin)?’Aku menjawab, ‘Saya siap menjalankan perintahmu dengan harta dan jiwaku.’ Dia kemudian menundukkan wajahnya dan membiarkan aku pergi pulang. Di rumah ketika aku sedang beristirahat tiba-tiba datang lagi utusan Harun dan berkata, ‘Amir memanggilmu.’

“Kali ini aku tercekam rasa takut dan berkata dalam hati, ‘Inna lillahi wa inna ilahi raji’un. Kali pertama dia memanggilku untuk membunuhku tapi kemudian segan setelah melihatku. Tapi kali ini dia pasti akan memerintahkan eksekusi terhadapku.’ Tiba di hadapannya dia kembali menunjukkan perilaku seperti pada kali pertama. Dia mendongak ketika melihat kedatanganku lalu berkata, ‘Seperti apa kepatuhanmu kepada Amirul Mukminin?’

“Aku menjawab, ‘(Siap berkorban) dengan jiwa, harta, keluarga serta anak dan isteriku.” Dia tersenyum dan menundukkan wajah lalu menyilakan aku pergi. Tiba di rumah, belum sempat duduk tenang tiba-tiba datang lagi utusan Harun sembari berkata, ‘Amir memanggilmu.’ Dia membawaku menghadap Harun. Setiba di hadapannya dia melontarkan lagi perkataan sebelumnya. Kali ini saya menjawab, ‘Aku siap menjalankan titah Yang Mulia dengan mengorban jiwa, harta, keluarga, agama dan kehormatanku.’

“Mendengar jawabanku Harun tertawa dan berkata kepadaku, ‘Raihlah pedang ini dan patuhilah segala yang diperintahkan oleh pelayanku ini.’ Pelayan meraih pedang dan menyerahkannya kepadaku. Dia membawaku ke sebuah rumah yang pintunya terkunci rapat lalu diapun membukanya. Di situ saya melihat lubang sumur di tengah halaman dan sekitarnya terdapat tiga bilik yang juga terkunci rapat. Pelayan membuka satu bilik dan di situ saya melihat 20 orang yang terdiri dari orang-orang tua dan anak-anaku muda berambut panjang (saat itu rambut panjang merupakan salah satu tanda keturunan Imam Ali as) dalam keadaan terbelenggu. Pelayan berkata kepadaku, ‘Amirul Mukminin menyuruhmu membunuh mereka.’ Mereka semua adalah kalangan Alawi keturunan pasangan Ali dan Fatimah. Pelayan mengeluarkan mereka satu persatu, dan akupun memenggal kepala mereka semua lalu pelaran mencampakkan jenazah dan kepala mereka ke dalam sumur.

“Pelayan kemudian membuka bilik lain dan ternyata di dalamnya juga terdapat 20 orang Alawi keturunan Fatimah dan Ali dalam keadaan terbelenggu. Pelayan berkata lagi kepadaku, ‘Amirul Mukimin menyuruhmu membunuh mereka.’ Dia mengeluarkan mereka satu persatu sehingga aku menebas lehernya lalu mencampakkan mereka semua ke dalam sumur.  Pelayan melanjutkan dengan membuka bilik ketiga yang di dalamnya juga terdapat 20 orang berambut panjang keturunan Ali dan Fatimah dalam kondisi terbelenggu. Pelayan berkata, ‘Amirul Mukminin juga menyuruhmu membunuh mereka.’ Dia mengeluarkan mereka satu persatu lalu aku juga menebas batang leher mereka dan pelayan mencampakkan jenazah mereka ke dalam sumur. Setelah sampai 19 orang dan tersisa satu orang tua di antara mereka yang juga berambut panjang. Orang tua itu berkata kepadaku, ‘Celakalah kamu wahai manusia sial, apa yang dapat kamu katakan pada hari kiamat kelak di hadapan kakek kami, Rasulullah, sementara kamu telah membunuh 60 orang keturunannya yang berasal dari Ali dan Fatimah?’

“Tanganku lantas gemetaran. Melihat kondisiku ini pelayan marah dan membentakku sehingga aku lantas mendatangi dan membunuh pula lelaki tua itu, dan pelayanpun mencampakkannya ke sumur. Jadi aku telah membunuh 60 orang keturunan Rasulullah, lantas apa gunanya aku berpuasa dan bersembahyang? Dan aku tidak ragu bahwa aku akan kekal di dalam neraka.”[1]

(Bersambung)

[1] Bihar al-Anwar, jilid 48, hal. 176 – 178.

Post Tags
Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT