Patut diketahui bahwa bentuk dan tatacara shalat telah ditentukan dan diatur sedemikian rupa sehingga sangat menunjang kehadiran kalbu di hadapan Allah SWT. Setiap tahapan dalam shalat menginspirasi kita untuk mengingat Allah SWT dan mendorong kita agar terhindar dari perbuatan nista dan mungkar.
Berikut ini adalah penjelasan untuk beberapa contoh di antaranya;
Pertama, Menghadap Kiblat
Pada prinsipnya Allah SWT adalah Zat yang ada dan hadir di mana saja, baik di arah kiblat maupun di arah sebaliknya, sebagaimana ditegaskan dalam firmanNya;
وَلِلّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللّهِ
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.”[1]
Betapapun demikian, Islam menghendaki manusia menghadap pada arah tertentu yang terinderakan ketika mereka hendak menghadap kepada Allah, sebab manusia adalah makhluk yang lebih terbiasa dengan aspek inderawi daripada aspek rasional. Karena itu Islam menjadikan Kaabah sebagai simbol rumah Allah dan menyuruh kita agar menghadap Masjid al-Haram, sebagaimana disebutkan dalam firmanNya;
وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
“Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.”[2]
Jika dalam shalat kita diwajibkan menghadapkan raga kita kepada apa yang telah dijadikan sebagai simbol rumah Allah maka tentunya dalam ibadah ini kita juga diwajibkan menghadapkan ruh kita kepada Allah, karena dengan cara inilah ibadah menjadi bermakna dan memiliki spirit. (Baca: Jangan Didustakan!)
Kedua, Takbir
Dengan bertakbir kita menegaskan keimanan kita kepada kemaha besaran Allah dan menghendaki makna sejati takbir. Dengan bertakbir kita berkeyakinan bahwa Allah Maha Besar dibanding apapun. Karena itu, jelas kontradiktif dan tidaklah masuk akal apabila kita berkeyakinan demikian namun dalam praktiknya kita masih berkonsentrasi kepada tujuan-tujuan lain yang semuanya sama sekali tak dapat dibandingkan dengan kemaha besaran Allah SWT.
Ketiga, Bacaan al-Fatihah
Surat al-Fatihah bukanlah surat al-Quran yang pertama kali diturunkan. Anehnya, surat ini menjadi pembukaan kitab suci al-Quran sehingga menunjukkan betapa agungnya surat ini. Allah SWT berfirman;
وَلَقَدْ آتَيْنَاكَ سَبْعاً مِّنَ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنَ الْعَظِيمَ
“Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan Al-Quran yang agung.” [3]
Para ahli tafsir menyebutkan bahwa tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang ini adalah surat al-Fatihah, dan dalam ayat ini terlihat betapa tujuh ayat ini disandingkan dengan keseluruhan al-Quran yang agung. (Baca: Ta’qibat Umum Shalat)
Imam Ali as berkata;
سمعت رسول الله (ص)يقول: إنّ الله ـ تعالى ـ قال لي: يا محمّد ﴿وَلَقَدْ آتَيْنَاكَ سَبْعاً مِّنَ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنَ الْعَظِيمَ﴾، فأفرد الامتنان عليَّ بفاتحة الكتاب، وجعلها بإزاء القرآن العظيم. وإنّ فاتحة الكتاب أشرف ما في كنوز العرش.
“Aku mendengar Rasulullah saw bersabda; ‘Sesungguhnya Allah SWT berfirman kepadaku; Wahai Muhammad, dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan Al-Quran yang agung, maka sendirikanlah kebersyukuran kepadaku dengan Fatihah al-Kitab (surat pembuka kitab suci) dan jadikanlah ia sebanding dengan Al-Quran yang agung. Sesungguhnya Fatihah al-Kitab adalah yang paling mulia di antara perbedaharaan di arsy.’”[4]
Surat al-Fatihah memiliki suatu keistimewaan yang tak ada pada surat Al-Quran lainnya. Semua surat lain merupakan rangkaian kalimat yang ditujukan Allah SWT kepada manusia, sedangkan surat al-Fatihah sejak awal hingga akhirnya adalah untaian kalimat yang ditujukan oleh hamba kepadaNya,[5] sehingga bisa jadi inilah sebab mengapa shalat tidaklah lepas dari bacaan surat al-Fatihah, dan tidaklah sah shalat tanpa pembacaan surat ini.[6] Dan bisa jadi ini pula sebab atau salah satu sebab surat al-Fatihah dijadikan sebagai surat pertama walaupun surat ini bukanlah surat yang pertama kali turun. (Baca: Mengapa Alquran Turun dengan Bahasa Arab? Dan Mengapa Lebih Baik Dibaca dengannya?)
Orang yang memulai bacaan dalam shalat dengan memohon pertolongan kepada Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, dan mengakui bahwa Dialah Penguasa di hari pembalasan dan bahwa ibadah dan permohonan pertolongan hanyalah kepada Allah SWT semata tentunya tidak mungkin bertuhan kepada hawa nafsunya dan menjadikan anugerah nikmat Allah SWT sebagai bekal untuk bermaksiat dan durhaka kepadaNya. (mz)
Bersambung…
[1] QS. Al-Baqarah [2]: 115.
[2] QS. Al-Baqarah [2]: 144 dan 150.
[3] QS. Al-Hijr [15]: 87.
[4] Tafsir al-Burhan, jilid 1, hal. 41.
[5] Lihat Tafsir Namuneh, jilid 16, hal. 289.
[6] Lihat al-Wasa’il, jilid 6, hal. 37 – 39, Bab 1 di antara bab-bab al-Qira’ah fi al-Shalat (Bacaan Dalam Shalat).
Baca Selanjutnya: “Tazkiyah di Balik Bentuk dan Tatacara Shalat (2)“