Keempat, Ruku’ dan Sujud
Ruku dan sujud disebut-sebut sebagai “ibadah dzatiyyah”, yakni sesuatu yang dengan sendirinya merupakan ibadah atau penyembahan dan penghambaan. Artinya, jika setiap bangsa dan bahasa memiliki kosakata dan istilahnya masing-masing untuk menyebut perbuatan dan proses penyembahan, maka meruduk dalam bentuk ruku’ dan sujud merupakan bahasa tubuh yang dimengerti oleh semua orang dari semua suku, bangsa dan bahasa apapun di muka bumi sebagai ekspresi penyembahan.
Merunduk di hadapan Allah merupakan perbuatan yang dilakukan manusia dengan ikhtiarnya sendiri tanpa ada paksaan dari siapapun, sebagaimana digambarkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib as;
اليوم عمل ولا حساب وغداً حساب ولا عمل.
“Hari ini adalah amalan tanpa perhitungan, sedangkan hari esok adalah perhitungan tanpa amalan.”[1]
Orang yang merunduk dan menyebah Allah SWT berdasarkan ikhtiarnya sendiri tentu aneh dan tak wajar jika setelah itu dia justru mudah bersimbah dosa dan maksiat kepadaNya. (Baca: SafinahQuote: Dosa)
Di rubrik ini sudah pernah dibahas pengertian firman Allah SWT dalam surat al-Ankabut [29]: 45 yang menyebutkan bahwa shalat mencegah penunainya dari perbuatan keji dan mungkar. Kali ini, tak ada salahnya untuk dibahas sekilas kelanjutan ayat ini, yaitu, kalimat;
وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ …
“Dan sesungguhnya dzikir Allah adalah lebih besar…”
Ada dua asumsi dalam penafsiran firman ilahi ini;
Pertama, yang dimaksud dari kata “dzikir” ialah ingatan hamba kepada Allah SWT. Asumsi ini didukung oleh riwayat bahwa dalam menafsirkan ayat ini Imam Ja’far al-Shadiq as berkata;
ذكر الله عندما أحلّ وحرّم.
“(Yaitu) mengingat Allah ketika Dia menghalalkan dan mengharamkan.”[2]
Berdasarkan asumsi ini, ayat tersebut tidak mengatakan bahwa mengingat Allah itu lebih besar keutamaannya daripada shalat, sebab sudah jelas bahwa shalat merupakan bentuk paling nyata dan sempurna dari perbuatan mengingat Allah SWT. Sebaliknya, ayat itu seakan menjelaskan sebab mengapa shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, yakni bahwa mengingat Allah lebih besar pengaruhnya dalam pencegahan dari perbuatan keji dan mungkar. Dengan kata lain, karena shalat merupakan bentuk paling nyata dan sempurna dari mengingat Allah maka ibadah ini praktis juga paling ampuh dalam pencegahan dari perbuatan itu. (Baca: Shalat Cegah Perbuatan Keji, Benarkah?)
Atau bisa juga ayat ini menjelaskan bahwa karena shalat merupakan bentuk paling nyata dan sempurna dalam mengingat Allah maka ibadah ini lebih besar daripada segala kenikmatan, termasuk kenikmatan mengikuti hawa nafsu yang notabene kenikmatan berbuat keji dan mungkar.
Kedua, dzikir Allah maksudnya ialah ingatan Allah kepada hambaNya sehingga artinya ialah: “Sesungguhnya ingatan Allah kepada hambaNya itu lebih besar daripada ingatan hamba kepada Allah.” Tentang ini Allah SWT berfirman;
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ ..
“Maka mengingatlah Aku niscaya Aku mengingat kamu…”[3]
Asumsi ini didukung oleh riwayat bahwa berkenaan dengan firman Allah “Dan sesungguhnya dzikir Allah adalah lebih besar…,” Imam Muhammad al-Baqir as berkata;
“Ingatan Allah kepada para pendiri shalat itu lebih besar daripada ingatan mereka kepadaNya. Bukankah kamu melihat Dia berfirman; “Maka mengingatlah Aku niscaya Aku mengingat kamu…”[4]
Penutupan
Pertama, khusyuk dalam shalat merupakan langkah awal dalam suluk atau dalam penitian jalan menuju Allah SWT. Tentang ini Allah SWT berfirman;
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ * الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاَتِهِمْ خَاشِعُونَ.
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam sembahyangnya.”[5]
Ayat ini menyebutkan bahwa khusyuk dalam shalat merupakan awal tanda keimanan. (Baca: Jangan Pernah Merasa Punya Jasa kepada Agama)
Allah SWT juga berfirman;
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إلاَّ عَلَى الْخَاشِعِين.
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk.”[6]
Ayat ini menjelaskan adanya rasa berat dalam diri orang yang mengerjakan shalat hanya sekedar untuk menggugurkan kewajiban, bukan dengan motivasi khusuk kepada Allah SWT. Karena merasa berat maka saat mengerjakan shalat dia ingin segera shalatnya selesai. Dia mirip dengan pasien yang terpaksa berobat dokter dan rela antri berjam-jam demi kesembuhan penyakitnya sembari tak sabar untuk segera selesai lalu kembali kepada rutinitasnya.
Orang yang demikian jauh berbeda dengan para hamba arif nan salih yang dengan senang hati dan bahkan sangat menikmati kehadiranNya selama berjam-jam di hadapan Allah SWT sehingga seolah waktu yang berlalu tak terasa oleh mereka. Mereka mendirikan bukan sebatas sah secara fikih, melainkan juga dengan merasa hadir dengan sepenuh jiwa dan raga di hadapan Sang Maha Kuasa. (MZ)
[1] Nahjul Balaghah, Khutbah 42.
[2] Tafsir Namuneh, jilid 16, hal. 289.
[3] QS. Al-Baqarah [2]: 152.
[4] Bihar al-Anwar, jilid 82, hal. 206.
[5] QS. Al-Mukminun [23]: 2.
[6] QS. Al-Baqarah [2]: 45.
Baca: “Mengapa Nama Imam Ali as dan Para Imam yang Lain Tidak Disebutkan di Dalam Al-Quran?“