Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Tujuan Pernikahan dalam Islam

Bagi manusia, pernikahan merupakan salah satu kebutuhan dasar yang mengandung banyak manfaat. Di antaranya yang terpenting adalah Membentuk keluarga dan melepaskan diri dari kebimbangan serta kehancuran hidup. Bagi laki-laki dan perempuan, hidup membujang tak ubahnya dengan nasib seekor burung yang tidak memiliki sangkar. Dengan menikah, seorang manusia akan memiliki sangkar tempat kembali; mendapatkan teman hidup yang menyenangkan hati, tempat menyimpan rahasia, sekaligus penolong dan pelipur laranya.

Kedua, menyalurkan dorongan seksual. Kebutuhan ini bagi manusia sangatlah krusial dan vital. Karena itu, seseorang pasti memerlukan suami atau istri sebagai pasangan hidupnya sehingga menjadikan dirinya aman dan nyaman. Dengan adanya pasangan diharapkan dapat menemani, menyayangi, dan menjadi saluran kebutuhan dirinya kapan pun dikehendaki. Kebutuhan seksual merupakan sesuatu yang bersifat alamiah. Karenanya, manusia harus segera menyalurkan keinginan ini. Kalau tidak, niscaya akan muncul berbagai penyakit jiwa, fisik, maupun sosial.

Ketiga, memperbanyak keturunan. Melalui pernikahan, seseorang dapat menghasilkan banyak keturunan yang merupakan salah satu tiang penyangga kehidupan rumah tangga, sekaligus akan menjaga ketenangan serta ketenteraman hubungan suami-istri. Allah Swt berfirman: “Dan di antara tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Rum: 21)

Baca: Pentingnya Menikah dalam Islam

Rasulullah Saw bersabda: “Tak ada bangunan yang lebih dicintai Allah Swt dibandingkan bangunan pemikahan.”

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s. juga berkata: “Menikahlah kalian karena pernikahan adalah sunnah Rasulullah. Sesungguhnya beliau bersabda, ‘Barang siapa yang ingin mengikuti sunnahku, maka sunnahku adalah menikah; dan berusahalah untuk mendapatkan anak, karena aku pada hari kiamat nanti akan berlomba, mana umat yang paling banyak.’”

Manusia diciptakan agar menggapai kesempurnaan dengan ilmu pengetahuan, amal perbuatan, dan akhlak yang baik. Dengan semua itu, ia diharapkan mampu meraih kedudukan yang sempurna (kamal), berjalan di atas jalan lurus kemanusiaan, untuk seterusnya terbang menuju kedudukan tinggi di sisi Allah Swt. Status sebagai maujud yang mulia akan dilekatkan apabila manusia mampu menggapai kedudukan yang tinggi. Yakni, ketika ia menyucikan dan membimbing jiwa tentang bagaimana menjauhkan maksiat, serta memfokuskan diri pada nilai-nilai akhlak yang luhur.

Manusia yang menginginkan kedudukan (ruhaniah) yang tinggi dan senantiasa bersusah payah menjauhkan diri dari pelbagai kekeliruan dan kemaksiatan hidup, seyogyanya menambatkan dirinya di pelabuhan hati seorang suami atau isteri yang salih. Itulah prasyarat mutlak agar dirinya mampu menggapai tujuan yang tinggi nan mulia. Dua orang mukmin dapat membangun keluarga baik­baik dengan cara menikah. Dengan begitu, keduanya akan dapat saling mengasihi dan menyayangi satu sama lain, sekaligus mendapatkan segenap kelezatan hidup yang dihalalkan Allah, baik yang bersifat mubah maupun sunnah.

Secara pasti, mereka akan jauh (atau dijauhkan) dari segenap kenikmatan yang ilegal (diharamkan syariat) dan dari pusat-pusat maksiat yang dapat menjebak seseorang ke dalam kebiasaan untuk melakukan segenap hal yang dibenci-Nya. Karenanya, nabi dan para imam suci acapkali menegaskan akan pentingnya lembaga pernikahan. Tanpanya (ikatan suci pernikahan), manusia pasti akan terjerumus dalam lembah kebejatan. Rasulullah saw bersabda: “Jika seorang hamba menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya dan jagalah separuhnya yang tersisa.”

Bahkan Imam Ja’far Shadiq a.s. berkata: “Salat dua rakaat yang dikerjakan orang yang telah menikah lebih baik dibandingkan 70 rakaat yang dikerjakan orang yang belum menikah.”

Baca: Restu Nikah dari Orang tua

Seseorang tentu mampu memainkan peran sebagai suami atau istri yang baik dan benar apabila memang memiliki perhatian yang sungguh-sungguh terhadap agamanya. Kalau seorang suami atau istri melakukan tugasnya masing-masing dan meninggalkan berbagai hal yang haram dan makruh serta berakhlak baik, niscaya dirinya akan sanggup menunaikan perintah Allah. Inilah kunci kebenaran. Kalau saja suami atau istri kukuh dalam agamanya dan mengarungi hidupnya dalam terang pendidikan yang diajarkan Allah dalam kitab­Nya, maka salah satu dari mereka akan menolong yang lain. Lebih dari itu, ia akan senantiasa mendukung terlaksananya segenap apa yang diinginkan Allah Swt dalam kehidupan.

Allah Swt memerintahkan seluruh laki-laki maupun perempuan, tanpa kecuali, untuk menjadikan agama, akhlak, dan keimanan sebagai prasyarat utama bagi dibangunnya hubungan suami-istri dalam suatu mahligai pernikahan. Dalam hadis Qudsi yang diriwayatkan Imam Shadiq a.s., Allah Swt berfirman: “Kalau Aku ingin mengumpulkan kebaikan dunia dan akhirat bagi seorang Muslim, maka Aku jadikan hatinya khusyu, lisannya selalu berzikir, jiwanya tabah menghadapi musibah, serta istri mukminah yang membuatnya senang ketika memandangnya, dan kalau dirinya pergi, sang istri akan menjaga kehormatan dan hartanya.”

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s. merupakan insan mulia yang telah memiliki tujuan mulia ini dalam genggaman tangannya. Sejarah telah merekamnya dengan baik. Setelah melewati malam pertamanya dengan Sayyidah Fathimah a.s., Rasulullah mengunjungi rumahnya dan bertanya kepada Imam Ali, “Bagaimana engkau dapatkan keluargamu (istrimu)?”

Imam Ali menjawab: “Sebaik-baiknya penolong untuk taat kepada Allah.”

Kemudian Rasul bertanya kepada Sayyidah Fathimah dengan pertanyaan sama yang kemudian dijawab, “Adalah suami yang baik”. Lalu Rasul berdoa: “Ya Allah, satukanlah mereka. Satukanlah hati mereka, dan jadikanlah mereka berdua serta keturunan mereka orang-orang yang mendapatkan surga. Anugerahkanlah mereka keturunan yang suci, bersih, dan bertabur berkah. Dan jadikanlah keturunan mereka aimmah (pemimpin) yang mengantarkan kepada kepada-Mu.”

Baca: Pernikahan Beda Mazhab

Dalam hal ini, Amirul Mukminin menyebut Sayyidah Fathimah sebagai istri yang baik serta berkepribadian agung. Semua itu disampaikan seraya menjelaskan tentang tujuan utama pernikahan melalui sebuah ungkapan yang pendek namun padat dan gamblang.

*Disadur dari buku Hak-hak Suami dan Istri – Ayatullah Ibrahim Amini


No comments

LEAVE A COMMENT