Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Menghadirkan Allah Swt dalam Salat

Termasuk dalam amalan yang bisa menghasilkan kehadiran hati dan konsentrasi adalah hendaklah beberapa saat sebelum menjalankan salat, seseorang duduk di masjid atau di tempat salat, lalu berfikir dan mengonsentrasikan diri hanya kepada Allah Swt, serta mengosongkan dirinya dari selain-Nya. Kosongkan hati kita dari pikiran, khayalan, dan ingatan. Ini dilakukan dengan mengonsentrasikan indra kita, juga melupakan semua kecenderungan duniawi dan berusahalah menghadirkan hati. Dengan bertafakur dan penyesalan lantaran kehilangan nilai-nilai maknawi dari salat, serta memperbaiki kerugian dan kekurangan yang telah lalu, maka hal tersebut akan dapat diraih.

Sebelum melakukan salat, sebaiknya seseorang mengontrol pikirannya dan sebisa mungkin konsentrasinya terpusat pada salat, tempat salat, dan tempat sujud. Atau, jika ia melakukan salat di tempat sepi dan tidak seorang pun yang melihatnya, hendaklah ia duduk santai sehingga tidak ada beban lagi di badannya. Setelah mengonsentrasikan indranya, sebisa mungkin ia merasakan kehadiran Allah Swt serta membawa dirinya berada di hadapan Allah Yang Maha Tinggi.

Kita sering mengklaim berada di haribaan Allah Swt begitu juga dengan alam ini. Akan tetapi ini hanya di mulut belaka, sementara hati kita belum bisa meyakininya. Ketika kita sedang sendirian berada di kamar dan jauh dari pandangan orang lain, kita akan berbuat sesuatu perbuatan tertentu. Ketika sadar ada orang lain, atau keluarga memerhatikan kita, maka kita akan mengubah perbuatan kita. Ketika manusia menjaga perbuatannya di hadapan orang lain, kita akan selalu hati-hati dalam berbuat. Maka, jika betul-betul meyakini bahwa kita berada di hadapan Allah Swt serta tahu bahwa Dia melihat perbuatan kita, tentu kita akan menjaga hati agar tidak mengarah ke sana-sini.

Baca: Keharusan Memperhatikan Salat dan Merasakan Kehadiran Allah

Jika manusia tahu bahwa ia berada di hadapan orang lain, maka hatinya tidak akan merasa bebas untuk berbuat ini dan itu. Terutama ketika ia merasa bahwa ia berada di hadapan Allah Swt, serta merasakan kehadiran-Nya, maka ia akan lebih mengontrol hatinya serta akan betul-betul merasakan kehadirannya. Atau, ketika dalam salat ia mengucapkan Allahu Akbar dan ia meyakini bahwa Allah adalah Maha Besar dari segala sesuatu: kebesaran-Nya tidak terbatas, maka sedetik pun ia tidak lalai akan kehadiran-Nya.

Pada langkah pertama, kita belum bisa merasakan kebesaran Allah Swt. Kita hanya melafazkan ucapan ini dan tidak bisa menggambarkan kebesaran dan keagungan-Nya. Apa itu kebesaran Allah Swt, atau sebesar apa kebesaran-Nya sehingga Dia lebih besar dari manusia dan seluruh makhluk. Akal dan pikiran kita sama sekali tidak bisa menampung kebesaran Allah Swt, walaupun dengan merenungi karya-karya Allah Swt, atau usaha keras dalam rangka meniti tahapan-tahapan, sampai akhirnya kita bisa merasakan kebesaran Allah Swt.

Dinukil dari Imam Ja’far Shadiq a.s. sebuah riwayat yang terperinci bahwa seorang perempuan penjual minyak wangi bernama Zainab datang ke rumah Nabi Saw. Ia menanyakan tentang kebesaran Allah Swt, maka Nabi Saw menjawab pertanyaannya dengan memberikan perbandingan alam-alam, tujuh langit dan bintang-bintang, di mana yang satu lebih kecil dibanding yang lain. Di antaranya, beliau bersabda: “Bumi ini dengan apa yang ada di dalam dan di atasnya dibandingkan dengan langit pertama ibarat sebuah cincin yang berada di padang pasir yang terhampar luas.” (Bihar Al-Anwar, jld. 60, hlm. 83-85)

Maka, ketika manusia memerhatikan kebesaran ciptaan, sampai batas tertentu, ia mengetahui kebesaran Allah swt. Sepantasnya ketika ia melakukan salat, hendaklah sadar di depan siapa ia sedang berdiri.

Apakah pantas ketika berdiri di depan-Nya, pikiran kita tertuju pada nasi, air, pakaian, rumah, atau peralatan yang lain? Seberapa nilai seluruh wujud, manusia, bumi, lautan, dan gunung-gunung dibandingkan dengan wujud Allah Swt, sehingga manusia mau melepaskan Allah Swt demi mencari isi perut, pakaian, wanita, anak-anak atau dunia? Apakah manusia yang berakal akan berbuat demikian?

Baca: Wasiat Jibril tentang Salat Malam

Oleh karenanya, salah satu perkara yang mengakibatkan munculnya kehadiran hati dalam diri manusia adalah, hendaklah ia sebelum salat, merenungkan keagungan Allah Swt, serta betul-betul menyadari di depan siapa ia berdiri. Atau hendaklah ia membaca doa-doa, baik sebelum ataupun sesudah salat.

Selayaknya manusia melakukan salat dengan penuh konsentrasi. Jika sebelumnya dalam satu menit ia menyelesaikan satu rakaat, hendaklah sekarang selesaikan dalam dua menit. Walaupun sebenarnya ini sangat sebentar bagi orang yang hendak menghadap ke haribaan Ilahi. Lama kelamaan, konsentrasi pada makna-makna bacaan salat akan menjadi karakter (malakah) baginya.

Imam Sajjad a.s. berkata: “…dan ketika engkau menjalankan salat, anggaplah bahwa ini adalah salat terakhirmu.” (Bihar Al-Anwar, jld. 69, hlm. 408)

Ketika melakukan salat, kita tidak tahu apakah ini salat terakhir bagi kita ataukah bukan. Sebab itu, Imam Sajjad berkata demikian. Jika manusia mengetahui bahwa umurnya tidak tersisa kecuali sebanyak waktu dua rakaat salat, maka ia akan betul-betul mengonsentrasikan dirinya serta berusaha untuk melakukan salat sebaik mungkin dan sekhusyuk mungkin.

Sementara ini, kita tidak tahu kapan akan berakhir umur kita. Maka sebaiknya kita selalu menganggap bahwa salat yang kita lakukan adalah salat terakhir. Anggapan ini akan membuat kita selalu bertahan kokoh di hadapan setan dan berusaha mengeluarkannya dari dalam diri kita, juga akan memanfaatkan kesempatan dan detik-detik dari salat yang kita lakukan. Tidak diragukan bahwa keadaan seperti ini akan sangat berpengaruh pada kita untuk menghadirkan hati.

Baca: Hal-hal yang Harus Dilakukan Muslim Syiah Saat Diminta Menjadi Imam Salat Bagi Muslim Sunni

Hendaknya setelah melakukan salat, kita membaca doa yang panjang, baik untuk diri sendiri atau pun untuk orang lain. Dalam sebuah riwayat Nabi Saw menukilkan bahwa Allah Swt berfirman: “Barang siapa yang tertimpa hadas dan ia tidak melakukan wudu sesungguhnya ia telah berpaling (menjauh) dari-Ku. Barang siapa yang terkena hadas lalu ia berwudu akan tetapi tidak melakukan salat dua rakaat sungguh ia telah berpaling dari-Ku. Dan barang siapa yang terkena hadas lalu ia berwudu lalu ia melakukan salat dua rakaat dan berdoa, maka seandainya Aku tidak menjawab permohonannya dari-Ku tentang urusan agama dan dunianya, sungguh Aku telah menjauh darinya dan Aku bukanlah tuhan yang menjauh [dari hamba-Nya].(Bihar Al-Anwar, jld. 80, hlm. 308)

Maka, salah satu perkara yang menyebabkan perhatian kepada Allah Swt dan menarik karunia-Nya adalah kondisi yang selalu dalam keadaan wudu. Terlebih lagi jika setelah melakukan wudu, ia menjalankan salat dua rakaat. Setelah itu, ia berdoa dan memohon kepada-Nya agar untuk beberapa saat ia bisa bersama-Nya, juga berharap selalu mendapat taufik serta kebaikan-Nya.

*Dikutip dari buku Karya Ayatullah Taqi Mizbah Yazdi – Menjadi Manusia Ilahi


No comments

LEAVE A COMMENT