Setiap doa harus keluar dari lubuk hati sanubari yang paling dalam, tidak hanya sekadar ucapan yang keluar dari lidah. Dengan kata lain, semua wujud manusia menghadap dan memohon kepada Allah Swt. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah Swt, “Atau siapakah yang memperkenankan doa orang yang dalam kesulitan apabila dia berdoa kepada-Nya….” (Q.S. 27:62).
Orang yang dalam kesulitan sering kali memanjatkan doanya dengan seluruh wujudnya, di samping itu doanya keluar dari lubuk hatinya yang dalam.
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka jawablah bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS. al-Baqarah: 186)
Ungkapan “apabila dia berdoa kepada-Ku” adalah panggilan yang sebenarnya sebagaimana dikatakan oleh para ahli tafsir. Seperti ucapan kita: “Muliakan orang yang berilmu bila ia berilmu.” Artinya, apabila betul-betul ia berilmu. Banyak juga riwayat yang mengisyaratkan mengenai realitas seperti itu.
Baca: Bagaimana Kedudukan Hamba disisi Allah Swt?
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Imam Ja’far Shadiq a.s. dikatakan: “Sesungguhnya Allah tidak mengabulkan doa yang berasal dari luar hati orang yang lalai. Jika kamu berdoa hadapkan seluruh hatimu, kemudian yakinkan bahwa doamu akan diterima.” (Bihar Al-Anwar, 93/305)
“Jika kamu berdoa maka hadapkan seluruh hatimu, dan dugalah bahwa hajatmu telah berada di pintu gerbangnya.” (Bihar Al-Anwar, 93/312)
Imam Ja’far a.s. mengungkapkan makna yang sama dengan doa tersebut: “Jika salah seorang di antara kamu ingin memohon sesuatu kepada Tuhannya dan Dia mengabulkannya, maka hendaklah dia berputus asa untuk meminta kepada semua manusia, karena dia tidak memiliki harapan kecuali dari sisi Allah. Dan jika dia mengetahui bahwa hal itu keluar dari hatinya, maka dia tidak memanjatkan doa kecuali Allah akan mengabulkannya.” (‘Uddah Ad-Da’iy, hal. 97)
Jika seseorang yakin bahwa sebuah urusan bisa diselesaikan bila urusan itu dikerjakan, maka dia tidak boleh hanya mencukupkan dengan doa. Karena sesungguhnya doa tidak bisa menggantikan kedudukan kerja. Kita tidak bisa hanya duduk-duduk sambil memanjatkan doa, kemudian berharap bahwa Allah akan mengabulkan doa kita.
Rasulullah saw yang mulia bersabda: “Orang yang berdoa tanpa kerja adalah bagaikan orang yang melempar tanpa batu.” (Bihar Al-Anwar, 93/312)
Sebabnya, adalah bahwasanya Allah Swt menghendaki agar semua urusan berjalan sesuai dengan sebab-musababnya, dan kita boleh mengangan-angankan sesuatu dengan doa yang kita panjatkan karena tidak sesuai dengan hukum alam yang berlaku. Kita mesti berbuat terlebih dahulu, kemudian berdoa. Kita harus membajak tanah dahulu, menabur benih, menyiraminya, dan setelah itu baru berdoa.
Sirah Rasulullah dan para wali Allah yang saleh mengajarkan kepada kita bahwa doa tidak dapat dipisahkan dari amal perbuatan kita. Rasulullah Saw sendiri dalam peperangan yang diikutinya selalu bertindak sebagai panglima perang yang handal, dalam mengorganisasikan kekuatan, memilih tempat dan waktu yang tepat untuk melakukan peperangan, serta mempersiapkan personil yang handal pula. Semua itu dilakukan oleh Rasulullah, kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sambil merendahkan diri kepada Allah Swt agar kaum Muslim diberi kemenangan oleh-Nya.
Islam juga mengajarkan kepada kita untuk berdoa kepada Allah sambil pertama kali mengakui dosa-dosa kita, kemudian kita meminta ampunan, beristighfar kepada-Nya, dan memohon kepada-Nya agar Dia memberi maaf atas dosa-dosa kita, baru setelah itu kita memohonkan hajat keperluan kita.
Ada seseorang datang kepada Imam Ja’far dan berkata kepadanya: “Terdapat dua ayat kitab Allah yang tidak kuketahui takwilnya.”
Imam: “Apakah dua ayat itu?”
Orang itu menjawab: “‘Berdoalah kepada-Ku niscaya akan Kuperkenankan bagimu.‘ Aku berdoa tetapi tidak pernah melihat doaku diperkenankan oleh-Nya.”
Imam: “Apakah kamu berpandangan bahwa Allah Swt tidak menepati janji-Nya?”
Dia menjawab: “Tidak.”
Imam: “Lalu ayat yang lain?”
Dia menjawab: “Yaitu firman Allah, ‘…dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya, dan Dialah pemberi rizki sebaik-baiknya….’ Aku telah menafkahkan hartaku tetapi aku belum melihat ganti yang dijanjikan.”
Imam: “Apakah engkau berpandangan bahwa Allah mengingkari janji-Nya?”
Dia menjawab: “Tidak.”
Imam: “Lalu mengapa?”
Dia menjawab: “Aku tak tahu.”
Imam Ja’far Shadiq a.s. berkata: “Akan tetapi aku akan memberitahukan kepadamu insyaAllah. Jika kamu taat kepada-Nya dan mematuhi perintahnya, kemudian kamu berdoa kepada-Nya, niscaya Dia akan memperkenankan doamu. Tetapi jika kamu menentang dan melakukan maksiat kepada-Nya, maka Dia tidak akan mengabulkan doa kamu. Ada pun yang berkenaan dengan ucapanmu bahwa kamu menafkahkan harta tetapi tidak melihat gantinya, maka dapat kuberitahukan bahwa jika kamu mencari harta yang halal kemudian kamu nafkahkan pada jalannya, tiada seorang pun yang menafkahkan hartanya meskipun hanya satu dirham, tiada lain kecuali Allah akan menggantinya. Dan jika kamu berdoa sesuai arah doanya maka Dia akan mengabulkan doamu meskipun kamu melakukan maksiat.”
Orang itu bertanya: “Apa yang dimaksud dengan arah doa itu?”
Imam menjawab: “Hendaknya kamu menunaikan kewajiban, memuji dan mengagungkan Allah, memuji-Nya dengan segenap kemampuan dan membaca salawat kepada Nabi Saw. Dalam menyampaikan salawat itu, hendaknya kamu juga bersungguh-sungguh menyampaikan salawat kepadanya, serta memberikan kesaksian baginya sebagai pembawa risalah dan menyampaikan salawat kepada para imam a.s. yang memberikan petunjuk. Kemudian kamu menyebutkan suka dan duka yang menimpamu, setelah menyampaikan pujian dan tahmid, dan setelah menyampaikan salawat kepada Nabi Saw.
Setelah itu kamu sebut berbagai nikmat yang kamu nikmati dan yang tidak dinikmati, dan apa yang telah terjadi dengan dirimu, kemudian Anda memuji-Nya, dan bersyukur atas nikmat itu, kemudian kamu mengakui dosa-dosa yang telah dilakukan, kamu sebutkan apa yang tersembunyi dalam dirimu lalu bertobatlah kepada Allah dari semua maksiat yang telah dilakukan. Di samping itu, niatlah dengan sungguh-sungguh, penuh ketakutan, dan harapan, untuk tidak mengulangi lagi kemaksiatan itu, serta menyesalinya, dan ucapkan:
‘Ya Allah, aku mohon maaf kepadamu dari segala dosa-dosaku. Aku mohon ampunan-Mu dan aku bertobat kepada-Mu. Bantulah aku untuk menaati-Mu, berilah taufik atas apa yang telah Engkau perkenankan untukku dari setiap hal yang membuat-Mu rela. Sungguh aku tidak melihat seorang pun yang dapat mencapai ketaatan kepada-Mu kecuali dengan nikmat-Mu atasnya sebelum dia menaati-Mu. Berikanlah nikmat kepadaku, nikmat yang mengantarkan diriku memperoleh rida-Mu dan surga.’
Baca: Cara Allah Menghapus Dosa Orang Mukmin
Kemudian, mohonkanlah keperluanmu. Dengan begitu, aku berharap insya Allah Dia tidak akan mengecewakanmu.” (Falah Al-Sa’il, hal. 38-39)
Dari kisah di atas dapat kita pahami bahwa salah satu sebab pencegah terkabulkannya doa ialah dosa. Dari Imam Ali bin HusaIn as-Sajjad a.s. diriwayatkan bahwa beliau mengatakan: “Dosa yang menolak doa adalah niat yang buruk, hati yang kotor, pengkhianatan kepada kawan, dan meninggalkan janji yang telah disepakati, mengakhirkan waktu salat sampai habis waktunya, meninggalkan taqarrub kepada Allah dengan tidak melakukan kebaikan dan sedekah, berkata kotor dan keji.” (Ma’ani AI-Akhbar, hlm. 271)
Semua dosa, pada umumnya berpengaruh terhadap ketidakterkabulan doa seperti yang disebutkan dalam riwayat-riwayat di atas.
*Disarikan dari buku Akibat Dosa – Hasyim Mahallati