Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Dewan Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Dalil-dalil Kepastian Hari Pembalasan

Dalam setiap diri manusia tersimpan naluri untuk mengetahui akhir dari segala sesuatu. Sejak awal peradaban, manusia selalu bertanya: Ke mana akhirnya perjalanan hidup ini? Apakah setelah mati semuanya berakhir, ataukah ada kehidupan lain yang menanti? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak hanya menjadi renungan filosofis, tetapi juga kegelisahan eksistensial yang membentuk arah pemikiran dan keyakinan manusia.

Islam, sebagai agama wahyu yang terakhir dan sempurna, memberikan jawaban yang tegas dan rasional terhadap pertanyaan mendasar itu. Al-Qur’an menyatakan dengan kejelasan yang tidak terbantahkan: “Kepada Tuhanmulah segala sesuatu akan kembali.” (QS. An-Najm [53]: 42).

Ayat ini menjadi fondasi bagi seluruh pandangan tentang masa depan manusia: bahwa kehidupan di dunia hanyalah satu tahap dari perjalanan panjang menuju kesempurnaan ruhani.

Sebaliknya, pandangan materialistik beranggapan bahwa hidup berakhir di liang kubur. Segala sesuatu hanyalah rangkaian kebetulan tanpa tujuan, dan kematian adalah kebinasaan mutlak. Pandangan ini, meski sering dikemas dalam bahasa ilmiah, sebenarnya rapuh dan menyedihkan. Al-Qur’an menegur keras mereka yang berpikir demikian: “Dan mereka berkata: ‘Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja. Kita mati dan hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain waktu.’ Padahal mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang itu; mereka tidak lain hanyalah menduga-duga.” (QS. Al-Jatsiyah [45]: 24).

Namun menariknya, bahkan mereka yang menolak Hari Pembalasan secara lisan, di kedalaman hati mereka masih menyimpan keyakinan samar tentang keabadian jiwa. Bukti-buktinya dapat kita lihat dalam berbagai perilaku manusia di seluruh kebudayaan. Mereka membangun makam megah bagi para leluhur, memberi nama anak-anak mereka dengan nama orang yang telah meninggal, menabur bunga di pusara, atau mengabadikan nama pahlawan di jalan dan gedung. Semua itu mencerminkan keyakinan bawah sadar bahwa manusia tidak sepenuhnya binasa; bahwa ada sesuatu dari dirinya yang terus hidup, entah dalam ingatan, nama, atau sesuatu yang lebih abadi.

Imam Ali as pernah menjelaskan hakikat ini dengan indah: “Allah Yang Maha Pengasih mengutus Muhammad saw untuk mengeluarkan manusia dari penyembahan berhala menuju penyembahan kepada Allah, dari kegelapan menuju cahaya.” Dalam diri manusia memang ada dorongan untuk mengabdi, untuk mencari sesuatu yang lebih besar dari dirinya. Jika dorongan ini tidak diarahkan kepada Allah, ia akan menjelma dalam bentuk penyembahan terhadap materi, kekuasaan, atau hawa nafsu. Maka, tugas para nabi adalah mengembalikan arah fitrah manusia agar tidak tersesat dalam penyembahan palsu.

Al-Qur’an menegaskan bahwa kehidupan bukanlah permainan tanpa tujuan: “Apakah kamu mengira bahwa Kami menciptakan kamu secara main-main, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al-Mu’minun [23]: 115).

Setiap amal manusia, sekecil apa pun, akan mendapat balasan. “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya ia akan melihatnya; dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, niscaya ia akan melihatnya pula.” (QS. Az-Zalzalah [99]: 7–8).

Dari sini, jelas bahwa Hari Pembalasan bukan sekadar konsep teologis, melainkan konsekuensi logis dari keadilan Tuhan. Jika tidak ada hari perhitungan, maka seluruh sistem moral akan kehilangan makna. Kehidupan orang baik dan jahat akan berakhir sama, tanpa perbedaan, dan itu mustahil bagi keadilan Ilahi.

Sebagian orang beranggapan bahwa kebangkitan jasmani mustahil, karena tubuh telah hancur dan menjadi debu. Tetapi Al-Qur’an menjawab dengan logika yang sederhana: jika Allah mampu menciptakan manusia dari tiada, mengapa Ia tidak mampu menghidupkannya kembali setelah mati? Menciptakan sesuatu dari ketiadaan jauh lebih sulit daripada menyusunnya kembali dari bagian-bagian yang pernah ada. “Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya pertama kali, dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk.” (QS. Yasin [36]: 79).

Imam Muhammad al-Jawad as berkata: “Tidur dan bangun adalah dua contoh paling jelas tentang mati dan hidup kembali. Kematian tidak lebih dari tidur yang panjang.” Setiap hari, kita menyaksikan kebangkitan dalam bentuk lain: bumi yang gersang menjadi hijau setelah hujan, pepohonan yang mati di musim dingin kembali hidup di musim semi. Semua itu adalah perumpamaan yang nyata tentang kehidupan setelah mati. “Kami hidupkan dengan air itu tanah yang mati; seperti itulah terjadinya kebangkitan.” (QS. Qaf [50]: 11).

Al-Qur’an juga mengisahkan peristiwa menakjubkan sebagai bukti konkret akan kekuasaan Allah. Ketika seorang lelaki membawa tulang yang hancur dan bertanya dengan nada menantang kepada Nabi: “Siapa yang dapat menghidupkan tulang yang telah hancur ini?” Allah menurunkan wahyu: “Katakanlah, ‘Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya pertama kali.’” (QS. Yasin [36]: 78–79). Jawaban ini bukan hanya retoris, tetapi filosofis. Karena mencipta dari tiada adalah pekerjaan yang lebih agung daripada mengembalikan sesuatu yang sudah ada.

Kisah lain datang dari Nabi Uzair as yang pernah bertanya-tanya bagaimana Allah akan menghidupkan kembali manusia setelah berabad-abad. Allah membuatnya mati selama seratus tahun, lalu menghidupkannya kembali, memperlihatkan bagaimana keledainya yang telah menjadi debu dihidupkan lagi di depan matanya. Nabi Uzair pun berkata dengan penuh keinsafan: “Aku yakin, Allah berkuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 259).

Begitu pula Nabi Ibrahim as, yang memohon kepada Allah agar diperlihatkan bagaimana kebangkitan terjadi. Allah memerintahkannya menyembelih empat jenis burung, mencincangnya, dan meletakkan bagian-bagian tubuh itu di atas gunung yang berbeda. Setelah dipanggil, setiap burung hidup kembali dengan bentuk semula. (QS. Al-Baqarah [2]: 260). Pengalaman ini bukanlah karena keraguan, tetapi karena keinginan untuk meneguhkan keyakinan melalui penyaksian langsung.

Kebangkitan bukanlah hal yang sulit dipahami jika manusia mau merenung. Dari sepotong roti yang dimakan, tubuh membentuk darah dan tulang. Dari tanah tumbuh pohon, dari rumput lahir susu di perut sapi. Semua ini adalah proses transformasi yang menunjukkan betapa mudahnya Allah mengatur kehidupan dari unsur yang tampak tak bernyawa. Maka menghidupkan kembali manusia yang telah mati bukanlah sesuatu yang mustahil bagi-Nya. “Dan Dia-lah yang memulai penciptaan, kemudian mengulanginya kembali; itu mudah bagi-Nya.” (QS. Ar-Rum [30]: 27).

Faktanya, seluruh alam semesta berbicara tentang daur hidup yang berulang. Malam berganti siang, musim berganti musim, kematian disusul oleh kelahiran. Semua menandakan satu hukum yang universal: tidak ada kebinasaan yang mutlak, hanya perubahan bentuk dari satu keadaan menuju keadaan lain.

Karenanya, keimanan kepada Hari Pembalasan bukan sekadar dogma, melainkan kesadaran akan keteraturan semesta. Ia meneguhkan moral manusia, menumbuhkan tanggung jawab, dan mengingatkan bahwa setiap amal akan berbuah, baik di dunia maupun di akhirat. Bagi seorang mukmin, kesadaran ini melahirkan ketenangan; sementara bagi yang lalai, ia menjadi peringatan yang menggugah.

Mereka yang menolak kebangkitan sebenarnya menolak makna dari keberadaan itu sendiri. Sebab jika manusia hidup hanya untuk mati, maka seluruh nilai, keadilan, dan pengorbanan kehilangan arah. Tetapi jika manusia hidup untuk kembali kepada Tuhan, maka setiap air mata dan perjuangan menjadi bermakna abadi.

Al-Qur’an menutup perenungan ini dengan seruan yang dalam: “Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja? Bukankah ia dahulu setetes mani yang ditumpahkan, lalu menjadi segumpal darah, kemudian Allah menciptakannya dan menyempurnakannya? Bukankah Dia berkuasa untuk menghidupkan orang mati?” (QS. Al-Qiyamah [75]: 36–40).

Demikianlah, keyakinan akan Hari Pembalasan bukan sekadar doktrin eskatologis, melainkan denyut nadi kehidupan spiritual. Ia mengingatkan bahwa dunia ini hanyalah ladang amal, bukan tempat tinggal abadi. Dan pada akhirnya, sebagaimana firman-Nya yang agung: “Sebagaimana Kami menciptakan kamu pertama kali, kamu pun akan kembali.” (QS. Al-A‘raf [7]: 29).


Disadur dari buku karya Ayatullah Mukḥsin Qara’ati – Misteri Hari Pembalasan: Dalil Al-Qur’an dan Argumen Akal

Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT