Orang-orang yang mabuk oleh keangkuhan kekuasaan sering kali melupakan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam buaian kenikmatan dan rasa aman yang palsu, mereka terlelap di bawah bayangan kesombongan. Namun, kehidupan memiliki caranya sendiri untuk membangunkan manusia dari kelalaiannya. Peristiwa-peristiwa yang tak menyenangkan, musibah, dan penderitaan yang mengguncang sering kali menjadi titik balik kesadaran. Dari sanalah manusia mulai membuka mata terhadap hakikat hidup dan menapaki jalan menuju perubahan yang lebih mendasar.
Setiap kejadian yang pahit mengandung rahasia tersendiri. Dalam keburukan yang tampak, tersimpan benih kebaikan yang tersembunyi. Sering kali, kemalangan justru melahirkan kebesaran, dan kegagalan menumbuhkan kebijaksanaan. Orang yang sebelumnya tertutup oleh rasa cukup dan sombong, tiba-tiba disadarkan oleh derita yang menimpanya. Dari situ, tabir kelalaian tersingkap, dan kesadaran baru pun lahir—kesadaran yang mengantarkan manusia kepada tingkat kesempurnaan moral dan spiritual yang lebih tinggi.
Dengan memandang akibat yang merugikan dari sifat lalai dan mabuk keangkuhan di satu sisi, serta pelajaran moral yang disampaikan oleh kemalangan di sisi lain, dapat dikatakan bahwa penderitaan bukanlah kutukan. Ia adalah ujian yang mengandung berkah besar. Di dalamnya terdapat kekuatan yang membangun kehendak, menajamkan akal, dan memperluas kesadaran manusia. Penderitaan, dari yang paling sederhana sampai yang paling berat, mempersiapkan manusia bagi imbalan dan kedewasaan rohani yang menantinya. Dalam cara seseorang menanggapi penderitaan, tampaklah sejauh mana ia mencapai keikhlasan dan ketaatan yang sejati.
Al-Qur’an berbicara dengan bahasa yang sangat jernih: “Sungguh akan Kami uji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu mereka yang apabila ditimpa musibah berkata: Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji‘uun. Mereka itulah yang mendapat keberkahan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS al-Baqarah [2]: 155–157).
Ujian adalah bagian dari kasih sayang Tuhan, bukan bentuk kekejaman. Sebab hanya melalui ujian manusia dapat menyingkap lapisan terdalam dari dirinya sendiri. Allah bisa saja menciptakan dunia tanpa penderitaan, tanpa kesusahan, tanpa ujian. Namun, dunia semacam itu akan menghapus kebebasan manusia, menjadikannya makhluk tanpa kehendak, tanpa pilihan moral. Manusia akan kehilangan peran dan kemuliaannya. Sebab kemanusiaan justru lahir dari kebebasan untuk memilih antara kebaikan dan keburukan, antara cahaya dan kegelapan. Tanpa adanya risiko penderitaan, manusia hanyalah makhluk tanpa jiwa, sekadar bayangan tanpa makna.
Allah menempatkan dalam diri manusia kemungkinan untuk berbuat baik dan jahat, dan meski Ia tidak memaksa manusia memilih salah satunya, Allah menghendaki manusia agar memilih jalan kebaikan. Ia tidak meridhai kejahatan, tetapi tidak pula meniadakan kemungkinan itu, agar manusia dapat bertanggung jawab atas pilihannya. Bila manusia tersesat, pintu kembali kepada-Nya selalu terbuka. Rahmat-Nya tidak pernah tertutup bagi yang ingin menyesali dosa dan kembali ke jalan suci. Dalam hal ini, kemurahan dan keadilan Allah tampak dengan jelas; bahwa sekalipun manusia jatuh dalam kesalahan, ia tetap memiliki jalan untuk bangkit, memohon ampun, dan memperbaiki diri.
Apabila kebaikan selalu dibalas segera dan kejahatan langsung mendapatkan hukuman di dunia, maka kehidupan ini akan kehilangan ruang bagi kebebasan dan pertumbuhan. Dunia bukan tempat balasan akhir, tetapi medan ujian. Jika keburukan tidak mungkin terjadi, maka kebajikan pun tidak akan memiliki nilai. Tanpa kejahatan, tidak ada keberanian; tanpa kesulitan, tidak ada keteguhan. Prinsip kontradiksi inilah yang menjadi dasar keberlangsungan dunia. Dari ketegangan antara dua kutub inilah kehidupan bergerak, berubah, dan berkembang. Dunia yang sepenuhnya stabil, tanpa perbedaan dan pergulatan, bagaikan air yang diam: tenang tapi membusuk. Justru karena perubahan dan tantangan, kehidupan memiliki makna dan kemajuan menjadi mungkin.
Namun, pertanyaan yang mendalam sering muncul: apakah kejahatan itu sungguh-sungguh ada? Bila kita memperhatikan dengan cermat, keburukan tidaklah sesuatu yang memiliki wujud sejati. Ia adalah ketiadaan dari kebaikan, sebagaimana gelap adalah ketiadaan cahaya. Kemiskinan bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi ketiadaan harta; kejahilan adalah ketiadaan ilmu; penyakit adalah hilangnya kesehatan. Maka, keburukan bersifat nisbi. Ia bukan ciptaan, tetapi kekosongan dari kebaikan yang seharusnya ada.
Bayangkan matahari yang bersinar terang dan tubuh yang berdiri di bawahnya. Dari pertemuan keduanya muncullah bayangan. Apakah bayangan itu ciptaan tersendiri? Tidak. Bayangan hanyalah akibat dari tertahannya cahaya oleh benda. Demikian pula keburukan. Ia tidak memiliki sumber mandiri, melainkan sekadar ketiadaan kebaikan di suatu tempat. Maka, semua yang sungguh-sungguh “ada” pada hakikatnya baik, dan segala keburukan hanyalah ketiadaan dari kebaikan itu sendiri.
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as pernah menggambarkan dunia ini sebagai tempat perlindungan bagi penderitaan. Namun, meski penuh duka, dunia tetap menjadi tempat yang baik bagi orang yang mengenalnya dengan benar. Beliau sendiri melewati hidup yang penuh kesengsaraan, namun tidak pernah berhenti memandang keadilan Allah sebagai sesuatu yang mutlak dan penuh hikmah. Dalam pandangan beliau, segala sesuatu yang ada di dunia adalah baik pada hakikatnya. Keburukan tidak memiliki keberadaan sendiri; ia hanyalah bayangan dari ketiadaan.
Karena itu, kita tidak boleh membayangkan bahwa kemiskinan, kejahilan, atau penyakit adalah kenyataan yang berdiri sejajar dengan kekayaan, ilmu, atau kesehatan. Kemiskinan hanyalah ketiadaan harta; kejahilan hanyalah ketiadaan ilmu; sakit hanyalah hilangnya kesehatan. Segala sesuatu yang ada memiliki asal dari Sang Pencipta, sedangkan yang tidak ada hanyalah kekosongan yang muncul ketika kebaikan dihambat atau terhalang.
Dengan cara pandang ini, dunia dipahami sebagai satu kesatuan yang menyeluruh, di mana setiap bagian memiliki peran dalam keutuhan ciptaan. Seekor nyamuk, yang bagi manusia tampak mengganggu, pada hakikatnya adalah bagian dari keseimbangan ekosistem yang diciptakan Allah. Ia tidak buruk pada dirinya; ia hanya tampak buruk karena bertentangan dengan kepentingan manusia. Maka, keberadaan yang nisbi tidak dapat dipisahkan dari keberadaan yang sejati. Dunia tanpa perbedaan antara baik dan buruk, tanpa hukum sebab-akibat, tanpa dinamika, adalah dunia yang mustahil dan khayali.
Allah, yang Maha Suci dari segala kebutuhan, menciptakan dunia ini bukan karena kekurangan, melainkan karena kemurahan. Ia memberi wujud kepada segala sesuatu sebagaimana seorang dermawan memberi tanpa pamrih, atau sebagaimana seorang seniman yang tidak pernah berhenti mencipta bentuk-bentuk baru dari keindahan dan hikmah. Kedermawanan dan kreativitas yang melimpah inilah yang menjadi tanda dari keesaan dan kebesaran-Nya. Dalam setiap fenomena, baik dalam suka maupun duka, dalam kemakmuran maupun penderitaan, terpancar tanda-tanda kebijaksanaan Ilahi yang mengajarkan manusia untuk mengenal Tuhannya melalui pengalaman hidup.
Penderitaan, pada akhirnya, bukanlah musuh manusia, melainkan cermin tempat ia melihat dirinya sendiri. Ia menyingkapkan batas kekuatan dan kedalaman iman. Ia menakar sejauh mana manusia mencintai Tuhannya, bukan hanya dalam nikmat, tetapi juga dalam kehilangan. Dalam pandangan para Imam Ahlulbait as, penderitaan adalah jalan ma’rifah—jalan menuju pengenalan yang sejati terhadap Allah. Melalui derita, manusia belajar melihat rahmat di balik musibah, menemukan makna di balik luka, dan merasakan kehadiran Tuhan di balik segala kehilangan.
Seperti api yang memurnikan emas, penderitaan memurnikan jiwa. Ia membakar ego dan kesombongan, meninggalkan hanya ketulusan dan kesadaran yang jernih. Dari sanalah manusia menemukan kedamaian sejati—kedamaian yang lahir bukan dari bebasnya hidup dari penderitaan, tetapi dari kemampuan menemukan makna Ilahi di dalamnya. Dalam kesabaran dan kepasrahan kepada kehendak Allah, manusia akhirnya menyadari bahwa tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang benar-benar buruk. Semua adalah bagian dari rencana kebijaksanaan yang sempurna.
Penderitaan, dengan demikian, bukan akhir dari segalanya, melainkan pintu yang menuntun manusia kembali kepada Sang Pencipta. Ia adalah sebab kesadaran, sekaligus tanda cinta Tuhan kepada hamba-Nya. Barang siapa mengenal hakikatnya, niscaya akan menemukan ketenangan di tengah gelombang kehidupan—karena di balik setiap luka, Allah menulis rahmat-Nya dengan tinta yang tak kasat mata.
Disarikan dari buku karya Mujtaba Musawi Lari – Keadilan Allah Qada dan Qadar Manusia