Allah SWT berfirman;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحاً عَسَى رَبُّكُمْ أَن يُكَفِّرَ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّات تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الاَْنْهَارُ يَوْمَ لاَ يُخْزِي اللَّهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْء قَدِيرٌ.
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat nasuha. Mudah-mudahan Tuhanmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: ‘Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.’”[1] (Baca: Rukun dan Syarat Taubat – 1)
Dalam bacaan doa munajat disebutkan;
الهي أنت الذي فتحت لعبادك باباً إلى عفوك سمّيته التوبة، فقلت: توبوا إلى الله توبة نصوحاً فما عُذرُ من أغفل دخول الباب بعد فتحه.
“Ya Tuhanku, Engkaulah yang telah membuka untuk hamba-hambaMu pintu maafMu yang Engkau beri nama taubat, lalu Engkau berfirman; ‘bertaubatlah kepada Allah dengan taubat nasuha.’ Lantas apa alasan orang yang lalai dari masuk ke pintu itu setelah Engkau membukanya.”[2]
Mengenai arti taubat nasuha, dalam beberapa riwayat terdapat tiga tafsiran sebagai berikut;
Pertama, taubat dari dosa lalu tidak mengulanginya lagi, sebagaimana disebutkan antara lain dalam riwayat sahih dari Abu Basir bahwa di hadapan Imam Ja’far al-Shadiq as dia membacakan firman Allah “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat nasuha.” Imam lantas berkata;
هو الذنب الذي لا يعود فيه أبداً.
“Yaitu (taubat dari) dosa yang tidak diulangi lagi untuk selamanya.” (Infografis: Dosa)
Abu Basir berkata; “Mana ada antara kami orang yang tidak mengulangi (dosa)?”
Imam berkata;
يا أبا محمّد إنّ الله يحبّ من عباده المفتن التوّاب.
“Wahai Abu Muhammad, sesungguhnya Allah mencintai hamba-hambaNya yang diuji lagi banyak bertaubat.”[3]
Kedua, batin orang yang bertaubat sama dengan lahirnya atau lebih baik lagi, sebagaimana disebutkan antara lain dalam riwayat dari Abdullah bin Sannan bahwa Imam Ja’far al-Shadiq as berkata;
التوبة النصوح أن يكون باطن الرجل كظاهره وأفضل.
“Taubat nasuha ialah batin seseorang haruslah seperti lahirnya dan lebih baik.”[4]
Ketiga, taubat yang dimulai dengan berpuasa pada hari Rabu, Kamis dan Jumat sebagaimana disebutkan dalam riwayat dari Abu Basir bahwa berkenaan dengan firman Allah “bertaubatlah kepada Allah dengan taubat nasuha” Imam Jakfar al-Shadiq as berkata;
هو صوم يوم الأربعاء والخميس والجمعة.
“Yaitu berpuasa pada hari Rabu, Kamis dan Jumat.”[5]
Arti yang ketiga ini merupakan tafsiran bagi tafsiran-tafsiran sebelumnya atau pendahuluan untuk taubat sejati, karena itu bisa saja kita sisihkan sehingga yang tersisa adalah dua tafsiran sebelumnya. Dan dua tafsiran sebelumnyapun dapat dikembalikan pada satu arti. Tafsiran taubat nasuha bahwa seorang hamba hendaknya tidak mengulangi dosa yang telah diperbuatnya artinya ialah taubat yang menciptakan perubahan dalam diri sehingga tidak berkeinginan lagi untuk melakukan dosa itu, dan inilah tentunya apa yang disebut “batinnya seperti atau lebih baik daripada lahirnya.” (Baca: Munajat Taubat)
Kata “nasuha” merupakan sifat kesejatian untuk “nasih” yang berarti sesuatu yang sempurna, jernih, solid, tulus, dan lain sebagainya. Tanda taubat nasuha antara lain keengganan untuk kembali berbuat dosa, dan tampilan lahirnya sama atau lebih baik daripada kondisi batinnya, sedangkan pendahuluan taubat nasuha antara lain berpuasa pada tiga hari tersebut. (Bersambung)
Catatan:
[1] QS. Al-Tahrim [66]: 8.
[2] Mafatih al-Jinan, Munajat al-Ta’ibin (Munajat Orang-Orang Yang Bertaubat), munajata pertama di antara lima munajat yang terkenal.
[3] Al-Wasa’il, jilid 16, hal. 72, Bab 86 Jihad al-Nafs, hadis 3, hal. 80, dan hadis 4 pada Bab 89.
[4] Ibid, hal. 77, Bab 87 Jihad al-Nafs, hadis 2.
[5] Ibid, hal. 78 – 79, Bab 81 Jihad al-Nafs, hadis 1.
Baca selanjutnya: Taubat Nasuha (2/5)