Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)

Kedua, kisah yang dikutip secara ringkas dalam Tafsir Namuneh [1]  dari Tafsir Abu al-Fatuh al-Razi jilid 9, hal. 412 bahwa seorang pemuda datang menghadap kepada Rasulullah saw sembari menangis. Dia berkata, “Aku takut kepada murka Allah.” Rasulullah saw bertanya, “Apakah kamu berbuat syirik?” Dia menjawab, “Tidak.” Beliau bertanya, “Apakah kamu telah membunuh seseorang tanpa alasan yang benar?” Dia menjawab, “Tidak.” Beliau bersabda, “Allah mengampuni dosa-dosamu sebanyak apapun.” (Baca sebelumnya: Taubat Nasuha-4)

Pemuda itu berkata, “Dosaku sungguh lebih besar daripada langit, bumi, arasy, dan kursi.” Beliau bertanya, “Apakah dosamu lebih besar daripada Allah?” Dia menjawab, “Tidak, Allah Maha Besar atas segala sesuatu.” Beliau bersabda, “Bertaubatlah, sesungguhnya Tuhan Yang Maha Besar mengampuni dosa besar.”  Beliau kemudian bersabda lagi, “Sebutkan dosamu kepadaku.” Dia berkata, “Aku malu kepadamu menyebutkan dosaku itu.” Beliau bersabda, “Sebutkan kepada kami agar kami mengetahui apakah dosamu ini?”

Pemuda itu lantas bercerita, “Aku pernah menggali kubur selama tujuh tahun untuk mencuri kain kafan orang yang mati, sampai akhirnya aku menggali kubur jenazah seorang perempuan Ansar. Setelah mengambil kain kafannya, hawa nafsuku menggodaku…” Dia menyebutkan betapa dia telah melampiaskan birahinya terhadap jenazah perempuan itu.

Rasulullah saw marah mendengar cerita ini sehingga berseru kepada orang-orang di sekitarnya, “Keluarkan orang fasik ini dariku.” Beliau juga berkata kepada pemuda itu,”Betapa dekatnya kamu dengan neraka.” (Baca: Keharusan Bertaubat-1)

Pemuda itu lantas keluar sembari menangis tersedu, kemudian pergi menyendiri ke gurun, dan berkata lirih, “Wahai Tuhan Muhammad, jika Engkau menerima taubatku maka beritahukan ini kepada utusanMu itu. Jika tidak maka kirimlah halilintar dari langit, bakarlah aku dengannya, dan selamatkanlah aku ini dari azab neraka dengan (hukuman) ini.” Kemudian turunlah ayat; Katakanlah: Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.…”

Kisah ini juga disebutkan secara detail oleh Syeikh al-Majlisi dalam Bihar al-Anwar[2], tapi ayat yang turun berkenaan dengan kisah ini bukan ayat tadi, melainkan ayat;

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إلاَّ اللّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ * أُوْلَـئِكَ جَزَآؤُهُم مَّغْفِرَةٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَجَنَّاتٌ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَنِعْمَ أَجْرُ الْعَامِلِينَ.

Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik pahala orang-orang yang beramal.[3]

Ketiga, apa yang juga disebutkan oleh Fakhrur Razi dalam tafsirnya[4] sebagai salah satu sebab turunnya ayat :Katakanlah: Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas..’”. Dia menyebutkan bahwa ada pula yang mengatakan bahwa ayat ini berkenaan dengan kaum musyrik Mekkah yang mengira Rasulullah saw tidak mungkin memaafkan orang yang telah menyembah berhala dan membunuh orang lain yang tak berdosa. Ayat ini lantas turun sebagai penegasan bahwa taubat mereka akan diterima. (Baca: Taubat, Sejak Kapan?-1)

Semua kisah dan kasus yang telah disebutkan tadi memperlihatkan betapa luasnya pintu ampunan Allah SWT. Manusia yang tidak sampai berbuat dosa sedemikian besar tentu lebih luas luas lagi pintu ampunan terbuka baginya, apalagi jika beristighfar di tengah keheningan malam menjelang fajar, sebagaimana difirmankan Allah SWT dalam menyifati orang-orang yang bertakwa;

كَانُوا قَلِيلاً مِّنَ الَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ * وَبِالاْسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ.

Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam. Dan selalu memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar.[5]

الصَّابِرِينَ وَالصَّادِقِينَ وَالْقَانِتِينَ وَالْمُنفِقِينَ وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالأَسْحَارِ.

(yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun di waktu sahur.”[6]

Sebagaimana juga disebutkan dalam Firman Allah SWT yang mengabadikan percakapan antara Nabi Ya’kub as dan anak-anaknya;

قَالُوا يَا أَبَانَا اسْتَغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا إِنَّا كُنَّا خَاطِئِينَ * قَالَ سَوْفَ أَسْتَغْفِرُ لَكُمْ رَبِّي إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ.

Mereka berkata: Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa). Ya’kub berkata: Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’”

Penangguhan dari Nabi Ya’kub as ini ditafsirkan sebagai penantian waktu dini hari menjelang fajar untuk beristighfar.[7]

(Selesai)

[1] Tafsir Namuneh, jilid 19, hal. 507 – 508.

[2] Bihar al-Anwar, jilid 6, hal. 23 – 26.

[3] QS. Ali Imran [3]: 135 – 136.

[4] Tafsir al-Kabir, Fakhrur Razi, jilid 27, hal. 4.

[5] QS. Al-Dzariyat [51]: 17 – 18.

[6] QS. Ali Imran [3]: 17.

[7] Lihat Ushul al-Kafi, jilid 2, hal. 477, Kitab Doa, pada bab mengenai waktu dan keadaan yang mustajab, hadis 6.

Baca: Pendahuluan Taubat (1/4)

 

Post Tags
Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT