Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)

Patut pula disebutkan dalam artikel mengenai taubat nasuha ini bahwa jika seseorang bertaubat tapi kemudian berkhianat kepada dirinya dengan melanggar taubat itu dan tidak menjadikan taubatnya sebagai taubat yang nasuha dalam arti tidak mengulangi dosanya lagi maka hal ini tidak lantas membuatnya harus berputus asa untuk mendapatkan manfaat taubat. (Baca sebelumnya: Taubat Nasuha-2)

Di bagian pertama artikel ini telah disebutkan riwayat bahwa ketika Imam Jakfar al-Shadiq as berkata bahwa taubat nasuha adalah taubat dari dosa dengan iktikad untuk tidak mengulanginya lagi, Abu Bashir lantas berkata; “Mana ada di antara kami orang yang tidak mengulangi (dosa)?” Imam as menjawab; “Wahai Abu Muhammad, sesungguhnya Allah mencintai hamba-hambaNya yang diuji lagi banyak bertaubat.”[1]

Sebelum bertazkiyah, manusia memang tak jarang melanggar taubat dan kembali berbuat dosa. Manusia mirip dengan anak kecil yang berjanji kepada orang tuanya untuk tidak berbuat nakal  lagi tapi ternyata masih saja nakal. Hal ini tidak mesti membuat anak itu diabaikan oleh orang tuanya. (Baca: Bagaimana Menghadapi Anak Balita yang Sering Mengamuk?)

Ada satu hikayat yang relevan dan mengharukan tentang ini[2]. Dikisahkan bahwa seorang kakek yang melintas di sebuah jalan melihat anak kecil duduk menangis sehingga dia bertanya kepadanya, “Mengapa kamu menangis?” Anak itu menjawab, “Ibuku mengusirku dari rumah, tak ada pintu yang dibuka setiap kali aku mau berlindung di rumah lain.” Kekek itu kemudian ikut duduk dan menangis, lalu berucap lirih, “Jika anak kecil saja yang dihardik oleh ibunya dan diusir dari rumahnya ternyata tak ada pintu yang dibukakan untuknya lantas ke mana manusia hendak pergi apabila dihardik oleh Allah, dan bagaimana mungkin akan ada pintu lain terbuka untuknya?”

Kakek itu kemudian berjalan lagi dengan menggandeng anak itu. Anak itu meminta kakek supaya membantunya membujuk ibunya, dan kakek itupun bersedia lalu membawanya ke ibunya. Ibunya menangis mendengar cerita si kakek, dan berkata kepadanya, “Wahai kakek, sungguh engkau adalah sebaik-baik penolong, dan sebelum itupun dia sudah ditolong oleh prinsip ‘anak kita adalah jantung hati kita.’ Tapi, wahai kakek, setiap kali aku melarangnya bermain dia tak menggubris.”

Singkat cerita, meski tadi terharu, ibu itu tetap kesal sehingga dia memutuskan untuk kembali mengusir anaknya jika kembali nakal dengan keluar bermain tanpa seizinnya, dan kakek itupun menyilakannya. Si anak ternyata nakal lagi sehingga terusir lagi dan tak ada tetangga yang berkenan menampungnya meski dia sudah mengetuk pintu demi pintu rumah mereka. (Baca: Peran Orangtua Mencegah Perundungan Anak)

Si anak lantas kembali ke rumah ibunya dengan mencoba mengetuk pintu berulang kali namun pintu tetap tertutup rapat. Sembari menangis anak itu berucap, “Ibu, tak ada tetangga yang mau membuka pintu untukku sehingga aku datang lagi kemari, tapi kalau pintu ini tetap tak dibukakan untukku maka tidak mungkin aku bisa mendatangi pintu orang lain.”

Si anak tersedu hingga tertidur di atas tanah, sementara si ibu mengamatinya dari atas atap rumah. Melihat anaknya tertidur dengan kondisi menyedihkan itu, dia turun menghampiri, dan membersihkan tanah dari wajah anaknya yang masih tertidur. Anak itu kemudian terbangun dan memandang wajah ibunya sembari berucap, “Ibu, tak mengapa jika engkau tidak mau lagi memberiku air dan roti, tak mengapa jika engkau menjewer telingaku karena aku memang dilayak dihukum demikian. Aku masih tahan jika kamu membiarkan aku menangis. Tapi yang aku minta ialah jangan sampai engkau mengeluarkan aku dari pintu rumahmu untuk pergi ke pintu rumah orang lain.”

Di kemudian hari kakek tadi mendengar kisah anak ini, sehingga kemudian berkata, “Ada dua hal yang menampak padaku pada kejadian ini; Pertama, tak ada pintu bagi hamba kecuali pintu Allah Azza wa Jalla; kedua, ikatan cinta tak akan terpudarkan oleh apapun.” (Baca: Pendidikan Agama Anak di Keluarga Menurut AlQuran-1)

Hal pertama sesuai dengan ungkapan yang tertera dalam Doa Abu Hamzah al-Thumali[3];

إلى من يذهب العبد إلاّ إلى مولاه، وإلى من يلتجئ المخلوق إلاّ إلى خالقه…

“Kepada siapa hamba pergi kalau bukan kepada Maula-nya, dan kepada siapa makhluk berlindung kalau bukan kepada Penciptanya..”

Sedangkan hal kedua senada dengan ungkapan dalam Doa Kumail Ibnu Ziyad;

هيهات أنت أكرم من أن تضيّع من ربّيته، أو تبعّد من أدنيته، أو تشرّد من آويته، أو تسلّم إلى البلاء من كفيته ورحمته.

“Tidak, Engkau terlalu mulia untuk mencampakkan orang yang Kau ayomi, atau menjauhkan orang yang Engkau dekatkan, atau menyisihkan  orang yang Engkau naungi, atau menjatuhkan pada bencana orang yang Engkau cukupi dan Engkau sayangi.”[4]

Jika seorang saja ibu saja bergembira ketika anaknya pulang dan meminta maaf, maka bagaimana mana mungkin Allah Sang Maha Penyayang yang telah menanamkan rasa belas kasih ke dalam hati ibu ternyata tetap murka dan enggan menerima taubat hambaNya?

(Bersambung)

[1] Al-Wasa’il, jilid 16, hal. 72, Bab 86 Jihad al-Nafs, hadis 3, hal. 80, dan hadis 4 pada Bab 89.

[2] Hikayat ini dimuat dalam kitab Khazinat al-Jawahir fi Zinat al-Manabir, hal. 179 – 180.

[3] Mafatih al-Jinan.

[4] Ibid.

Baca selanjutnya: Taubat Nasuha (4/5)

 

No comments

LEAVE A COMMENT