Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)

Kaum muslimin sangat akrab dengan doa “rabbanâ âtina fid dunya hasanah… yang merupakan ayat Alquran (QS: al-Baqarah 201). Kata Rabbanâ” yang berarti “Tuhan kami”, yakni kita memanggil, memohon dan berdoa kepada-Nya, sebagaimana terkadang kita berucap Yâ Rabb.. (Wahai Tuhanku). Kata rabb” itu sendiri, apakah hanya berarti Tuhan, ataukah ada makna-makna lainnya?
Syaikh Jafar Subhani di satu makalahnya menjelaskan, bahwa Rabb adalah salah satu ism (nama) Allah. Kata ini tidak biasa- digunakan dalam bentuk tunggal, yakni “rabb” saja -tanpa tambahan kata sesudahnya. Tetapi digunakan dalam bentuk majemuk, seperti kalimat “Rabbunâ, Rabbukum, “Rabbul arsyi, Rabbus samâwâti wal ardh, Rabbul falaq, “Rabbunnâs, dan lain sebagainya. Namun demikian kita dapat mengkaji mengenai kata rabb ini secara terpisah.
Ibnu Faris menerangkan: “Rabb artinya pemilik, pencipta, shâhib (tuan dalam arti pemilik sesuatu) dan mushlih (yang memperbaiki).” Makna lainnya disampaikan oleh Fairuz Abadi ialah mustahiq (yang berhak).

Makna Rabb dalam Alquran
Di dalam Alquran, rabb bermakna seperti yang terdapat di dalam bahasa arab berikut ini:
1-Pembimbing atau pengasuh, misal dikatakan rabbul waladi rabbâhu (Ia membimbing anak itu).
2-Pengawas dan yang membenahi kondisi, misal dikatakan rabba dhaiatahu (Ia melakukan pembenahan ladangnya).
3-Memerintah dan mengatur, seperti dikatakan rabba fulan qaumahu (Ia memerintah kaumnya dan membuat mereka patuh kepadanya).
4-Pemilik; terdapat di dalam hadis Nabi saw: A rabbu ghanam am rabbu ibil? (Apakah kamu pemilik kambing ataukah pemilik onta?)
5-Tuan rumah; terdapat di dalam Alquran: Fal yabudû rabba hâdzal bait” (QS: Quraisy 3); Maka hendaklah mereka menyembah Tuan Rumah ini (Pemilik Kabah).
Syaikh Subhani lalu mengatakan: “Jika diteliti, kata rabb tak lebih dari satu makna. Yaitu, yang memiliki kehendak bebas (ikhtiar) dan hak penggunaan dalam urusan-urusan terkait dengan sesuatu. Oleh karena itu, jika tuan atau pemilik ladang dikatakan rabbu adh-dhaiah, karena perbaikan dan pembinaannya bersangkutan dengan dia.
Kalau yang memerintah dikatakan rabb, dikarenakan urusan negara dan rakyat diserahkan kepadanya. Tuan rumah atau pemilik sesuatu dikatakan rabb juga, dikarenakan pengendalian dan pengunaannya adalah urusan dia. Maka jelas bahwa pembimbing, yang memperbaiki dan pemilik merupakan sisi-sisi yang berbeda bagi satu realitas, dan bukan berarti beragam makna.
Kata kerja rabba; رب” asalnya “rababa; ربب”, bukan “rabbâ; ربى” yang berarti seseorang mengatur, menghendaki dan memanfaatkan sesuatu adalah hak dia.
Di dalam Alquran, nabi Yusuf as menyebut Aziz Mesir “rabb” ketika ia tinggal di dalam rumahnya; إِنَّهُ رَبِّي أَحْسَنَ مَثْوايَ ; “sungguh tuanku telah memperlakukanku dengan baik.” (QS: Yusuf 23). Dia (Aziz) adalah tuanku yang menjagaku.
Yusuf as pun menyebut pemerintah Mesir “rabb” ketika mentakbir mimpi; أَمَّا أَحَدُكُما فَيَسْقي‏ رَبَّهُ خَمْراً; “adapun salah seorang di antara kamu berdua, maka ia akan memberi minuman khamar kepada tuannya.” (QS: Yusuf 41)
Alquran dalam mencela kaum Yahudi dan Nasrani, menyebut para tokoh agama mereka dengan “arbâb” (kata jamak dari rabb):
اتَّخَذُوا أَحْبارَهُمْ وَ رُهْبانَهُمْ أَرْباباً مِنْ دُونِ اللهِ
“Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah.” (QS: at-Taubah 31)
Poin yang dapat dipetik dari ayat ini ialah bahwa kendali perundang-undangan, hukum halal dan haram di tangan dua kaum ini, dalam arti mereka mengharamkan apa yang dihalalkan Tuhan dan menghalalkan apa yang diharamkan oleh-Nya.
Allah swt menyebut Diri-Nya Rabbul bait, karena kehendak terhadap Rumah (Kabah) ini dalam segala hal bersangkutan dengan Dia, dan tak seorangpun yang mempunyai hak terhadapnya. Demikian halnya ketika Allah menyebut Diri-Nya Rabbus samâwâti wal ardh dan Rabbu asy-syirâ”; وَ أَنَّهُ هُوَ رَبُّ الشِّعْرى‏; “Dan bahwa Dia-lah Tuhan (yang memiliki) bintang Syi‘râ” (QS: an-Najm 48), dikarenakan Allah pemelihara dan pengatur alam ciptaan, salah satunya adalah bintang Syi’ra, dan urusan alam semesta ini di tangan-Nya.
Syaikh Subhani setelah penjelasan di atas menyimpulkan: Dapat dikatakan, rabb tak memiliki lebih dari satu makna, dan semua makna yang ada adalah ragam sisi bagi satu realitas. Satu makna yang terdapat di dalam semua makna itu, yaitu yang memiliki kehendak yang bebas (ikhtiar).”

Rububiyah dan Khaliqiyah
Satu poin tak keluar dari masalah ini ialah bahwa kaum wahabi membagi tauhid pada dua macam:
1-Tauhid rububi; yang mereka maknakan dengan khaliqiyah (kepenciptaan), bahwa tiada pencipta lebih dari satu -atau hanya satu pencipta- di alam semesta ini.
2-Tauhid uluhi; yang mereka maknakan dengan tauhid dalam ibadah, yang harus diyakini bahwa hanya satu yang disembah secara haq.
Mereka keliru dalam dua istilah tersebut, bahwa rububiyah bukanlah (bermakna) khaliqiyah. Tetapi, rububiyah ialah bermakna pemeliharaan. Syaikh Subhani mengungkapkan: Bisa saja ada yang mengatakan, alam semesta ini hanya memiliki satu pencipta, tetapi Tuhan menyerahkan pemeliharaan alam kepada maujud-maujud langit atau ruh-ruh tertentu. Sebagaimana halnya di masa nabi Ibrahim, penduduk Babylon meyakini satu pencipta, tetapi pada saat yang sama memandang adanya berbagai pemelihara bagi alam, seperti matahari, bulan dan bintang.”
Jadi, secara konseptual pemeliharaan (rububiyah) berbeda dengan kepenciptaan (khaliqiyah), dan pada dasarnya pemeliharaan alam semesta sangat terkait dengan khaliqiyah. Tetapi ekstensi keduanya di luar adalah satu, Allah swt.

Referensi:
-Banke Maqalate Ayatullah al-Uzhma Syaikh Jafar Subhani

Post Tags
Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT