Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Allah Maha Mengetahui

Apa yang tak terlihat oleh mata kasat, bukan berarti gaib. Atom misalnya, dengan bantuan alat pembesar dapat dilihat wujudnya. Ia sebuah materi yang berpotensi inderawi atau terinderakan. Dalam hal kepekaan secara inderawi, sebagian binatang memiliki indera yang lebih tajam dari indera manusia, mampu mendengar gelombang-gelombang yang tak terdengar oleh kita. Tetapi sensifitas ini tetaplah bersifat inderawi, material dan terkait dengan obyek material.

Semua ini adalah bagian dari alam nyata (syahâdah), kebalikan dari alam ghaib. Sosok gaib seperti malaikat, keghaibannya takkan terjangkau oleh indera kita. Terlebih Tuhan, yang Dia adalah ghaib mutlak. maka untuk selamanya tak terinderakan oleh kita, di manapun dan kapanpun, di dunia maupun di akhirat atau di dalam surga. Sebagaimana diterangkan dalam riwayat: Dia tak terjangkau penglihatan, tetapi Dia menjangkau semua penglihatan.

Gaib, kendati tak terinderakan namun diyakini keberadaannya dengan pembutian rasional dan petunjuk seorang yang terhubung dengan alam gaib, yakni utusan Allah swt.

Jangkauan Inderawi Berbatas dan Bersyarat

Konsepsi kita tentang alam ghaib walaupun realitasnya tak tergapai- mirip dengan serangkaian konsep dan gambaran-gambaran ilmiah. Almarhum Syaikh Ibrahim Amini dalam bukunya Barresi-e Kulli-e Imamat mengungkapkan: Bukan karena maujud yang gaib itu tersembunyi secara eksistensial, tetapi dikarenakan indera atau sarana-sarana pengetahuan kita yang terbatas. Nyatanya, kita sekarang berada di luar realitas alam itu bukan lantaran maujud tersebut gaib.” (Baca: Terhubung dengan Alam Ghaib)

Jadi, keterbatasan dan potensi terkait dengan diri kita terhadap yang gaib itu. Sedangkan yang nyata atau segala yang material dapat kita jangkau. Sebab, materi memiliki keseragaman eksistensial dengan indera kita, bahwa posisi materi terjangkau oleh indera kita. Kendati tak secara mutlak, tetapi pada ruang yang terbatas dan dalam kondisi tertentu. Buktinya, kita bisa menjangkau fenomena material yang semasa dengan kita, tetapi kita takkan mampu mengetahui fenomena masa seribu tahun yang lalu atau masa seribu tahun yang akan datang. Bahkan, dalam jarak tertentu mata tak melihat sebagian materi yang berbeda-beda dalam hal besar dan kecilnya.

Jarak antara subyek (yakni kita) dan obyek (yakni materi) menentukan jangkauan kita terhadapnya, dan jika di luar jangkauan kita memerlukan media atau alat yang memudahkan indera kita bisa menjangkau obyek. Jadi, daya jangkau indera kita tidaklah mutlak, tetapi berbatas dan bersyarat.

Kegaiban dan Ke-nyata-an dalam Alquran

Akan tetapi, bagi Allah semua fenomena di luar jangkauan indera makhluk tampak dan diketahui. Sebab, eksistensi Dzat-Nya mutlak dan tanpa batas. Dia meliputi segenap alam wujud, ruang dan waktu. Kapan dan di mana tidaklah berarti bagi Tuhan, dan tiada satupun penghalang pun bagi pengetahuan-Nya. Oleh karena itu, semua peristiwa yang telah terjadi, misalnya di masa nabi Nuh as yang tak hadir di hadapan kita, adalah nyata bagi Allah. (Baca: Bagaimana Alquran Mengajarkan Manajemen Stres? – 1)

Kisah Ashabul Kahfi yang gaib (tak nyata) bagi kita dan di luar dunia kita, adalah nyata bagi Allah. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa awal dan akhir, kiamat, surga dan neraka adalah gaib bagi kita, tetapi tidak bagi Allah.

Syaikh Ibrahim menyimpulkan bahwa: Pengetahuan yang diperoleh melalui panca indera, atau semua pengetahuan inderawi bukanlah ilmu ghaib. Sedangkan ilmu yang non inderawi, yakni yang didapat tanpa melalui indera merupakan ghaib, seperti ilmu Allah swt.”

Beliau menambahkan: Argumen-argumen rasional menunjukkan bahwa semua fenomena alam material terjadi dan berasal dari alam lain yang lebih tinggi dari alam duniawi. Di alam gaib, semua itu memiliki realitas yang lebih sempurna dan lebih tinggi.”

Jadi, kita dengan panca indera mendapati sebuah fenomena, atau ketika ingin dan berusaha untuk mengetahui sesuatu yang merupakan alam nyata, ilmu yang kita peroleh ini bukan ilmu gaib. Berbeda dengan menyaksikan hakikat sesuatu dengan mata batin, atau ingin menyingkap fenomena-fenomena dengan batinnya dan melewati tangga kesempurnaan eksistensial tanpa intervensi indera, maka pengetahuan macam ini adalah ilmu gaib. (Baca: Doa Ma’rifat Imam Mahdi pada Zaman Kegaiban)

Di dalam Alqur`an terdapat ayat-ayat yang menyebutkan bahwa alam gaib adalah kebalikan alam syahâdah, kasat dan nyata:

Dia mengetahui yang gaib dan yang tampak dan Dialah Yang Maha bijaksana lagi Maha mengetahui. QS: Al-Anam 73

Kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang mengetahui yang gaib dan yang nyata. Lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. QS: Al-Jumuah 8

Bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi. QS: Al-Baqarah 33

Yang demikian itu adalah sebagian dari berita-berita gaib yang Kami wahyukan kepada kamu (ya Muhammad). QS: Al Imran 44

Demikian itu (adalah) di antara berita-berita yang gaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad). QS: Yusuf 102

Itulah di antara berita-berita penting tentang yang gaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad). QS: Hud 49

Kalau sekiranya mereka mengetahui yang gaib tentulah mereka tidak akan tetap dalam siksa yang menghinakan. QS: As-Saba` 14

Ayat-ayat tersebut jika diperhatikan, selain menerangkan kemahatahuan Allah yang mutlak dan tak terbatas, juga menyinggung makrifat lainnya tentang kenabian dan hari kebangkitan yang merupakan dasar-dasar agama samawi (ushuluddin). Sebagaimana QS: Al Imran 44, bahwa eksistensi seorang nabi, yakni Rasulullah saw menjadi penghubung antara kita yang berada di alam nyata ini, dan Yang Mahagaib, Allah swt, serta mengabarkan kepada kita sebagai umat beliau tentang adanya balasan amal di akhirat kelak.[*]

Baca: Makna Alhamdulillah Lebih dari Sekedar Pujian bagi-Nya

 

No comments

LEAVE A COMMENT