Pelaku Maksiat tak akan Mengenal Allah
Fondasi pertama dan paling utama bagi keberagamaan seseorang adalah ma’rifatullah (mengenal Allah). Tanpa melewati tahapan ini, seseorang mustahil bisa beragama secara benar. Akan tetapi, agar bisa meraih derajat yang sangat penting ini, seseorang harus melewati halangan dan rintangan. Salah satu halangan tersebut adalah persoalan bermaksiat kepada Allah. Jika seseorang masih suka bermaksiat kepada Allah, bisa dipastikan bahwa dia tidak akan meraih ma’rifatullah.
Imam Baqir as berkata:
Tak akan pernah mengenal Allah, orang yang bermaksiat kepada-Nya. (Tuhaf Al-‘Uqul, h. 294)
Karena itu, jauhilah bermaksiat kepada-Nya, agar kita bisa meraih jenjang spiritual sebagaimana yang kita inginkan. (Baca: 3 Karakter untuk Sempurna Amal)
Menikmati Maksiat akan Berujung Kehinaan
Perbuatan dosa adalah jebakan setan. Kita tahu bahwa setan adalah musuh kita. Dia menghendaki kita menjadi temannya di neraka. Agar manusia masuk neraka, setan mengajak manusia untuk berbuat dosa. Agar manusia berbuat dosa, setan menawarkan kenikmatan.
Seperti layaknya sebuah jebakan, manusia diiming-imingi kenikmatan lewat perbuatan dosa. Persis seperti orang yang menjebak burung. Orang itu meletakkan makanan kesukaan burung di suatu tempat. Manakala ada burung memakan makanan itu, ada sangkar yang kemudian memerangkap burung itu.
Umumnya, burung tersadarkan manakala ia tahu bahwa ia telah terjebak. Ia akan berusaha terbang lagi, meskipun usahanya itu bisa jadi sia-sia. Begitu juga manusia. Umumnya, manusia menyesali perbuatan dosa yang dilakukannya begitu ia menyadarinya. Akanlah aneh jika manusia malah terus menikmati perbuatan dosanya itu. Bukankah aneh jika ada burung yang terus mematuk-matuk makanan meskipun ia sudah menyadari bahwa dirinya terperangkap? (Baca: Kisah-kisah Imam Ali Zainal Abidin a.s.: Burung Pipit dan Serigala)
Tapi, memang ada manusia yang tetap berkubang dengan dosa dan menikmatinya, meskipun ia sudah menyadari bahwa itu adalah perbuatan yang buruk. Maka, orang seperti ini pastilah orang yang hina.
Imam Ali as berkata:
Siapa saja yang merasakan kenikmatan dengan perbuatan maksiat kepada Allah, dia akan dilemparkan Allah kepada kehinaan. (Ghurar Al-Hikam, h. 186, hadis 3.565)
Menjauhnya Harapan, Datangnya yang Ditakutkan
Harapan dan ketakutan adalah dua hal yang tidak lepas dari kehidupan manusia. Harapan adalah sesuatu yang akan diperjuangkan, dan ketakutan pastilah akan dihindari. Sayangnya, ada manusia yang berusaha menggapai harapan-harapannya dengan cara maksiat. Jika ini yang dipilih, ketahuilah bahwa apa yang diharapkan itu justru akan menjauh. Adapun yang datang mendekat justru hal-hal yang sebelumnya ia khawatirkan.
Imam Husein as berkata:
Siapa saja yang ingin mencapai sesuatu lewat cara maksiat, dia justru lebih lambat mencapai apa yang ia kehendaki; malah dia akan cepat mendapati apa yang ia khawatirkan (Tuhaf Al-‘Uqul, h. 248)
Pelaku Maksiat tidak Diakui sebagai Umat Rasulullah
Tak ada kebanggaan yang lebih tinggi yang ingin diraih oleh seorang Muslim kecuali kebanggaan sebagai umat Nabi SAW dan menjadi hamba Allah yang baik. Hanya saja, ada beberapa perilaku manusia yang justru akan membuat Rasulullah kecewa dan akan membuatnya “dikeluarkan” dari barisan umat Nabi Muhammad SAW. Salah satu perbuatan tersebut adalah maksiat kepada Allah. (Baca: Perpecahan di Tengah Umat Islam; Sebuah Telaah)
Rasulullah SAW bersabda:
Ada tiga hal yang jika ketiganya tidak ada pada seseorang, orang tersebut bukan termasuk umatku, dan juga bukan dari (hamba) Allah. (Ketiga hal tersebut adalah: pertama) kelembutan, yang dengannya tertolak kebodohan orang yang tak berilmu. (Kedua) akhlak yang baik, yang dengannya seseorang bisa hidup di lingkungannya. (Adapun yang ketiga adalah) sikap wara yang dengannya ia bisa menghindari maksiat kepada Allah. (Wasail Asy-Syi’ah, j. 20, h. 359, dan Bihar Al-Anwar, j. 66, h. 386)
Dikutip dari rubrik Tuntunan, Buletin Al-Wilayah edisi 04 September 2016/Dzulhijjah 1437.
[*]
Baca: Latihan Menghindari Maksiat