Amar makruf nahi munkar adalah salah satu kewajiban di dalam Islam. Allah Swt berfirman: “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh pada yang makruf dan mencegah dari yang munkar.” (QS. Ali Imran: 110)
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh perbuatan makruf dan mencegah dari perbuatan munkar.” (QS. at-Taubah: 71)
Di dalam Nahj al-Balaghah, Amirul Mukminin a.s. berkata: “Apabila amar makruf nahi munkar ditinggalkan maka Allah membuat orang-orang jahat di antara mereka menguasai mereka, lalu orang-orang baik di antara mereka berdoa, tetapi doa mereka tidak dikabulkan.”
Di dalam beberapa riwayat kita membaca bahwa hal-hal yang menghalangi terkabulnya doa adalah ditinggalkannya amar makruf nahi munkar. Kemudian Alquran menyatakan: Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran. (QS. al-‘Ashr: 1-3)
Baca: Peran Agama dalam Mengatasi Krisis Kejiwaan Manusia
Surah yang penuh berkah ini adalah surah yang menakjubkan. Surah yang mulia ini menyatakan bahwa untuk meraih kebahagiaan, manusia memerlukan asas yang dinamakan keimanan dan dua sayap untuk terbang dan membumbung, yaitu amal dan amar makruf nahi munkar. Selama hal itu belum terpenuhi, maka ia seperti burung yang tidak bersayap, yang dengan mudah diburu kucing dan dimakannya. Bahkan, kalau pun ia memiliki satu sayap, ia kehilangan satu sayap sehingga ia tidak dapat meraih kebahagiaan.
Amar makruf nahi munkar memiliki beberapa tingkatan. Tingkatannya yang terpenting adalah aspek positif dari perintah ini. Yaitu, kalau seseorang melihat orang lain melalaikan kewajiban, ia harus menasihatinya. Jika ia melihat seseorang berbuat dosa, ia harus mencegah dengan lisannya dan dengan kata-kata yang lembut.
“Pergilah kamu berdua kepada Firaun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka, berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. Thaha: 43-44)
Ayat ini mengatakan bahwa amal makruf hendaklah dilakukan ketika manusia dapat menguasai emosinya dan mengatakan perkataan yang lembut. Dengan harapan, mudah-mudahan yang mendengar dakwah tersebut menjadi sadar dan merasa takut. Allah menyukai kalau Firaun mendapat hidayah. Dia memerintahkan Nabi Musa a.s. untuk memberinya petunjuk dengan mengatakan kepadanya kata-kata yang lembut.
Para orang tua hendaknya agar melakukan amar makruf nahi munkar di dalam rumah, tetapi hendaklah mereka tetap menguasai emosi dan menggunakan kata-kata yang lemah lembut, terutama kepada anak-anak muda. Bicaralah kepada mereka dan sampaikanlah kepada mereka dalil-dalilnya. Debat kusir dan egoisme biasanya menghasilkan akibat yang sebaliknya.
Alquran mengajarkan kepada kita dan mengatakan: “Dan [ingatlah] Luqman berkata kepada anaknya ketika ia memberikan pelajaran kepadanya, “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah. Sesungguhnya mempersekutukan [Allah] adalah benar-benar kelaliman yang besar.” (QS. Luqman: 13)
Di dalam ayat ini terdapat argumentasi, kelembutan, kasih sayang, dan etika berbicara dengan cara yang bijaksana serta nasihat yang baik.
Tingkatan kedua amar makruf nahi munkar adalah dengan sikap negatif, ketika sikap positif tidak bermanfaat lagi. Maka, putuskanlah pergaulan dengan orang yang tidak mau mendengar nasihat. Memutuskan pergaulan, tidak membantu orang seperti itu, dan tidak mempedulikannya kadang-kadang malah memberikan pengaruh.
Ketika orang-orang mundur dari medan perang Tabuk, Rasulullah Saw pergi ke medan perang itu. Ketika beliau kembali, mereka datang untuk menemuinya tanpa rasa malu. Sebelum mereka sampai, Rasulullah Saw memerintahkan para sahabatnya agar tidak berbicara kepada mereka. Mereka datang dan memberikan salam. Rasulullah saw menjawab salam mereka, tetapi beliau dan kaum Muslim tidak berbicara kepada mereka. Mereka kembali ke rumah mereka dan memberitahukan kepada istri mereka bahwa Rasulullah saw telah memerintahkan kaum Muslim agar jangan bergaul dengan mereka. Kemudian, istri dan anak-anak mereka pun tidak mau bergaul dengan mereka. Oleh karena itu, kehidupan telah menjadi sempit bagi mereka. Akhirnya, mereka pergi ke tengah sahara dan mulai menangis merendahkan hati sehingga tobat mereka diterima.
Rasulullah Saw mengutus utusan untuk menyusul mereka. Ketika mereka datang, turunlah ayat ini: “Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan [penerimaan tobat] mereka hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi ini luas, dan jiwa mereka pun telah sempit [pula terasa] oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari [siksa] Allah, melainkan kepada-Nya.” (QS. at-Taubah: 118)
Ayat ini mengatakan bahwa sikap negatif merupakan keharusan. Dalam beberapa riwayat disebutkan: “Janganlah kalian menikah dengan pemuda peminum khamar dan janganlah juga menikahkannya.” Atau, “Janganlah kalian bergaul dengan pemakan riba dan orang fasik.”
Baca: Cobaan dan Kesulitan sebagai Media Pembelajaran Manusia
Misalnya, kalau masyarakat memutuskan pergaulan dengan pemakan riba, tidak membeli sesuatu dari toko miliknya, dan tidak menjual sesuatu kepadanya, maka ia akan menutup tokonya. Jika masyarakat meninggalkan pergaulan dengan pelaku kejahatan maka ia akan bertobat. Oleh karena itu, Nabi Syuaib a.s. diseru,: “Wahai Syuaib, seratus ribu orang dari kaummu akan mati. Empat puluh ribu orang di antara mereka adalah orang-orang jahat dan enam puluh orang di antara mereka adalah orang-orang baik.”
Syu’aib bertanya: “Wahai Tuhanku, Engkau membinasakan orang berdosa karena dosanya. Akan tetapi, apakah dosa orang-orang baik?”
Allah menjawab: “Disebabkan mereka diam dan tidak peduli ketika orang jahat berbuat dosa.”
Tingkatan terpenting dari amar makruf nahi munkar ada dua hal. Kalau kita dapat mewujudkan kedua hal ini maka manusia akan konsekuen dan disiplin. Imam ash-Shadiq a.s. berwasiat kepada para sahabatnya: “Jadilah dai-dai kepada manusia tidak dengan lisan kalian. Jika suami memelihara sopan santun di rumahnya maka istri akan bersikap rendah hati kepada suaminya. Hal itu akan berpengaruh terhadap anak-anak. Perbuatan orang tua, gerak dan diamnya, akan berpengaruh besar terhadap anak-anaknya.”
*Disarikan dari buku Mengendalikan Hawa Nafsu – Ayatullah Husain Mazahiri