Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Antara Tazkiyah dan Aktivitas Sosial (1)

aktivitas-sosialBerkecimpung di tengah masyarakat dan terlibat dalam aktivitas sosial bukanlah sesuatu yang terpuji di mata sebagian besar kalangan sufi. Karena itu banyak peminat sufi cenderung menjauh dari roda kehidupan politik dan sosial. Ada yang mengklaim bahwa penyucian jiwa atau tazkiyah nasf memerlukan kesunyian, kesendirian, dan keterkucilan dari kecamuk dan deru kehidupan sosial.

Tak dapat dipungkiri bahwa pembinaan jiwa memang memerlukan sebentuk keheningan dan kesendirian di hadapan Allah, dan juga dianjurkan oleh syariat. Hanya saja, syariat juga menyatakan bahwa tidak dalam semua waktu manusia harus menyendiri dalam keheningan, melainkan harus ada pembagian waktu, dan momen yang terbaik adalah tengah malam, sebagaimana diisyaratkan dalam firman Allah SWT;

إِنَّ نَاشِئَةَ الَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْأً وَأَقْوَمُ قِيلاً * إِنَّ لَكَ فِي النَّهَارِ سَبْحاً طَوِيلاً.

Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak).”[1]

Ayat ini mengisyaratkan bahwa siang hari merupakan waktu yang layak untuk beraktivitas di tengah masyarakat, walaupun di siang hari juga terdapat momen-momen untuk beribadah, dan bahwa malam hari adalah momen yang layak untuk berkhalwat (menyendiri) menghadap Allah SWT. Dan inilah makna anjuran pembagian waktu berkhalwat setiap hari sepanjang umur tanpa perlu putus kontak dari aktivitas kehidupan bermasyarakat.

Islam tidak menganjurkan orang untuk berkhalwat dan mengucilkan diri dari kehidupan bermasyarakat sepanjang umur dengan dalih apapun, termasuk dalih demi penyucian jiwa, karena tindakan demikian menyalahi kedudukan manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi, sebagaimana disebutkan dalam firmanNya;

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً ..

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi.’”[2]

Khalifah yang dimaksud dalam ayat ini ialah khalifah Allah, bukan khalifah (penerus, wakil dan pengganti) manusia terdahulu, karena jika seandainya bukan khalifah Allah maka Dia sebagai penyampai firman itu seharus menyebutkan siapa yang dikhalifahi atau diwakili.

Kemudian, khalifah yang dimaksud adalah manusia sebagai entitas, bukan Nabi Adam as secara pribadi, karena dalam kelanjutan ayat ini terlihat bahwa entitas manusialah yang mengundang kekuatiran para malaikat;

قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ …

“Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’”

Sedangkan Nabi Adam as secara pribadi jelas tidak dikuatirkan oleh para malaikat, dan sujud para malaikat kepada Adam, meskipun secara khusus ditujukan kepada Nabi Adam as atau kepada insan-insan maksum yang ada dalam sulbinya, namun secara umum juga kepada insaniah. Allah SWT berfirman;

وَلَقَدْ خَلَقْنَاكُم ثُمَّ صَوَّرْنَاكُم ثُمَّ قُلْنَا لِلْمَلآئِكَةِ اسْجُدُوا لآدَمَ

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada para malaikat: ‘Bersujudlah kamu kepada Adam.’”[3]

Bagian akhir ayat ini menerangkan perintah sujud tertentu kepada Nabi Adam as atau kepada insan-insan maksum, karena beliau atau mereka adalah sosok yang sempurna dalam berperan sebagai khalifah. Tentang ini diriwayatkan bahwa Imam Ali al-Ridha as berkata;

كان سجودهم لله ـ تعالى ـ عبوديّة، ولآدم إكراماً وطاعة لكوننا في صلبه

“Sujud mereka kepada Allah adalah untuk ibadah, sedangkan kepada Adam adalah sebagai bentuk penghormatan dan ketaatan karena kami ada dalam sulbinya.”[4]

Sedangkan bagian depan ayat mengisyaratkan sujud secara umum, karena menyebutkan proses penciptaan Nabi Adam as sehingga seakan Allah SWT berfirman, “Wahai manusia, sesungguhnya penciptaan Adam ini adalah penciptaan kalian, dan pembentukannyapun adalah pembentukan kalian sehingga sujud kepadanya adalah sujud kepada kalian.”

Sujud para malaikat kepada insaniah merupakan pertanda keagungan yang terkandung dalam keistimewaan manusia dibanding malaikat. Keistimewaan itu adalah status manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi dengan pengertian bahwa setiap manusia harus berperan di muka bumi dan memakmurkan bumi sesuai dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing. (mz)

Bersambung

[1] QS. Al-Muzzammil [73]: 6 – 7.

[2] QS. Al-Baqarah [2]: 30.

[3] QS. Al-A’raf [7]: 11.

[4] Tafsir Namuneh, jilid 1, hal. 183.

No comments

LEAVE A COMMENT