Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Membaca Narasi Tabuik Pariaman (1)

Sebagaimana tercatat dalam berbagai referensi, Tabuik tak lain adalah salah satu bentuk tradisi peringatan Asyura. Dengan dilaksanakannya tabuik setiap tahun, perjuangan Al Husain alaihi salam melawan penguasa Yazid yang zalim tidak asing lagi bagi masyarakat setempat. Kisahnya disampaikan dalam elaborasi mitos, seni dan teatrikal yang dipertunjukkan dalam ritual tabuik sejak tanggal 1 hingga 10 Muharram.

Menurut catatan Siregar (1995) hingga tahun 1980 tidak dijumpai narasi tabuik di Pariaman. Narasi ditemui dalam “Resume Kisah Tabuik Pariaman oleh Datuk R Tongga, tahun 1981 dan “Brosur Tabuik Piaman 1985” yang dibuat panitia pelaksanaan Tabuik. Narasi yang ditemui umumnya fragmentaris. Oleh peneliti, temuan ini kemudian dikonsultasikan bersama beberapa tokoh masyarakat setempat. Inilah narasi tersebut:

“Di kalangan masyarakat Minangkabau, dikenal kisah tabut seperti berisi berikut ini. Konon, (konon menurut pengikut Ali) orang yang menerima wasiat sebagai khalifah pengganti Rasulullah bilamana Nabi Saw telah tiada, ialah Ali (bin Abi Thalib). Kejadiannya dikisahkan begini: “Pada suatu hari, Rasulullah berjalan menuju Madinah dan tatkala beliau sampai di suatu tempat dekat Juhfah, tepatnya di Khadir Khum, bertepatan pada malam 18 Zulhijah, beliau berpidato. Pada satu kesempatan dalam pidatonya itu, Rasulullah mengangkat tangan Ali seraya berkata, “Apakah aku tidak berhak kepada orang mukmin dari diri mereka?” Lalu orang-orang yang menyaksikannya menjawab, “Ya, hai Rasul Allah!” Lalu Rasul meneruskan perkataannya, “Barang siapa yang menganggap aku pemimpinnya, maka Ali juga pemimpinnya” Pada suatu hari pada masa kemudian, Rasulullah meneuskan maksud beliau dengan menyampaikan perkataan seperti, “Sesungguhnya ajalku sudah dekat dan aku sudah dipanggil oleh Allah, dan aku akan memenuhi panggilan itu”. Kemudian beliau mengatakan bahwa beliau akan meninggalkan kepada Ali dua hal penting yaitu kitab Allah dan ahli bait rumah beliau.

Akan tetapi, sepeninggalan Nabi Muhammad Saw, Ali tidak dengan segera dapat menerima wasiat seperti yang dipersaksikannya bersama para pengikutnya. Abu Bakar, kemudian Umar, lalu Usman terlebih dahulu menjabat sebelum Ali berhasil menduduki jabatan sebagai khalifah. Begitupun, untuk menegakkan kepemimpinannya, Ali senantiasa mendapatkan perlawanan-perlawanan yang tidak mudah dihadapinya. Satu tantangan yang amat berat yang dihadapinya datang dari pengikut Mu’awiyah (bin Abi Sofyan) yang berkedudukan di Irak. Muawiyah menuntut kebijaksanaan Ali untuk mengusut kematian pamannya, Usman, tatkala menjabat sebagai khalifah. Suatu perang dahsyat antara kedua pasukan Ali dan Mu’awiyah pun kemudian  harinya tak dapat dielakkan. Perang itu terjadi pada suatu tempat yang berada di sekitar Irak bernama Siffin, sehingga perang itu disebut Perang Siffin. Perang dahsyat yang berkobar antara kedua belah pihak mengakibatkan banyak korban berjatuhan. Pasukan Ali gugur laki-laki sebanyak 25.000 orang dan dari pihak pasukan Mu’awiyah gugur laki-laki sebanyak 45.000 orang. Begitulah dikisahkan, jalannya peperangan menguntungkan Saidina Ali dan seluruhnya pasukan Mu’awiyah lari kucar-kacir sambil mengusulkan penghentian tembak –menambak. Psukan Muawiyah mengikatkan kitab suci Al-Quran di ujung tombak-tombak seraya mengancung-ancungkannya ke atas dan menyerukan agar berhukum kepada Al-Quran.

Pada mulanya Ali tidak mengambil sikap tidak menerima ajakan ini, sebab beliau meragukan bahwa hal itu hanyalah siasat dari orang-orang yang hampir kalah, sementara itu mereka akan memiliki kesempatan untuk menyusun kekuatannya kembali. Mendengar seruan Muawiyah untuk berhukum kepada Al-Quran, sebagian pengikutnya mendesak Ali agar seruan tersebut diterima. Mereka mendesak dengan mengatakan, “Mengapa kita tidak mau berhukum kepada Al-Quran?” Akan tetapi sebagian lainnya menolak menerima seruan tersebut, karena mereka menganggap hal itu merupakan suatu tipuan. Tetapi akhirnya demi suatu perdamaian di kalangan  umat, Ali memutuskan menerima seruan penghentian tembak-menembak antara kedua belah pihak. Perang pun berakhir, pasukan Ali pulang ke Baghdad dan pasukan Muawiyah pulang ke Damaskus.

Untuk menyelesaikan pertikaian perbedaan pendapat mengenai siapa yang akan menduduki jabatan khalifah, maka kedua belah pihak sepakat melakukan untuk melakukan perundingan damai (tahkim). Untuk menghadiri perundingan, dari kedua belah pihak diutus Ali dan Muawiyah diutus delegasi yang masing-masing beranggotakan 100 orang. Setiap delegasi dipimpin satu orang ketua, delegasi Ali dimpimpin oleh Abu Musa, dan delegasi Muawiyah dipimpin oleh Amru (bin Ash). Lalu saat perundingan yang dinanti-nantikan oleh ribuan orang dari kedua belah pihak pun tiba. Pada awal perundingan Amru mengajukan suatu usul yang berisikan bahwa demi kelancaran perjanjian maka jabatan kepemimpinan yang dipangku oleh kedua pempimpin, Ali dan Mu’awiyah, dicabut dan diberhentikan dahulu dari jabatannya. Tanpa terjadi suatu perbedaan pendapat, usul Amru diterima secara damai oleh ketua delegasi Ali. Kemudian dalam rapat akbar yang juga dihadiri ribuan umat di Raudatul Jandal itu, dirundingkan siapa yang lebih dahulu menyampaikan pidato. Disepakati Abu Musa menjadi orang yang pertama berpidato, karena beliau orang yang lebih tua dari ketua delegasi lainnya.

Tatakala Abu Musa menyampaikan pidatonya, pendapat yang dikemukan adalah bahwa Ali telah diberhentikan oleh majelis dari jabatannya sebagai khalifah. Mendengar pidato pemberhentian Ali, para pengikut Ali yang mengikuti perundingan di luar ruangan merasa amat kecewa, sedangkan pengikut Mu’awiyah bertepuk tangan menyatakan suka ria hati mereka. Pada giliran berikutnya, tiba giliran Amru (bin Ash) mengucapkan  pidatonya. Dalam pidatonya, beliau menyerukan, “Hai seluruh umat Islam, Saudara-saudara tadi telah mendengar berita bahwa Saidina Ali telah diberhentikan dari jabatannya oleh utusannya sendiri, maka sekarang khalifah yang tinggal hanya satu Muawiyah. Oleh karena itu, marilah kita taati bersama-sama”. Menyambut isi pidato ini, pengikut Muawiyah semakin riuh bersorak-sorai menyatakan suka hari mereka. Sementara rasa kecewa dan kemarahan pengikut Ali bangkit karena mereka merasa tertipu. Hasil perundinganpun menjadi sebab timbulnya permusuhan-permusuhan dan perpecahan antara pihak yang berunding.

Bersambung…

No comments

LEAVE A COMMENT