Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)

Apa yang Dimaksud dengan Taqarrub Ilallah?

Kita sering menggunakan istilah-istilah yang relatif dan berkembang di masyarakat. Namun, penggunaan ini sering kali membingungkan dan salah dalam pemahaman, terutama terkait dengan ilmu pengetahuan Islam. Sebagai contoh, ketika kita bicara tentang “kedekatan” (qurb), ada perbedaan antara makna sebenarnya dan makna yang terinterpretasi.

Misalnya, ketika kita katakan bahwa ada mata air dekat gunung, kita maksudkan jarak yang sebenarnya berkurang secara fisik. Namun, ketika kita bicara tentang seseorang yang mendekati kedudukan atau hati seseorang, ini lebih pada hubungan emosional dan pengaruh, bukan tentang jarak fisik yang berkurang.

Jadi, ketika kita bicara tentang seseorang yang mendekati kedudukan seseorang, ini lebih pada pengaruh emosional dan hubungan antara mereka, bukan tentang jarak fisik yang semakin dekat. Ini adalah penggunaan istilah secara kiasan (majazi), bukan makna sebenarnya. Dalam konteks ini, “kedekatan” (qurb) digunakan secara kiasan untuk menyampaikan hubungan emosional dan pengaruh, bukan tentang jarak fisik yang berkurang.

Bagaimana kita mendekati Zat Allah? Apakah ini benar-benar mendekat secara fisik atau hanya dalam makna kiasan? Apakah orang yang beribadah dan taat benar-benar mendekat pada-Nya?

Pertanyaan ini membuka diskusi tentang apakah kedekatan dengan Allah itu nyata atau hanya simbolis. Apakah orang yang beribadah dan taat benar-benar mendekat pada-Nya secara fisik? Atau apakah ini lebih tentang hubungan spiritual dan pengaruh yang dirasakan, bukan tentang jarak fisik yang semakin dekat?

Sebagian berpendapat bahwa ungkapan tentang “pertemuan dengan Tuhan” adalah metafora, bukan peristiwa fisik yang sebenarnya. Jadi, apakah ada jarak fisik yang semakin berkurang antara kita dan Allah?

Dalam Islam, konsep tentang kedekatan dengan Allah tidak sama dengan kedekatan dengan tokoh atau pemimpin dunia. Ini lebih tentang hubungan spiritual dan pengaruh yang dirasakan. Allah tidak terbatas oleh jarak fisik dan tidak memiliki perasaan seperti manusia. Kedekatan dengan Allah lebih tentang pengaruh ibadah dan kepatuhan kita terhadap-Nya, bukan tentang membuat-Nya “senang” atau “bahagia” seperti yang kita alami dalam hubungan manusiawi. Allah memberikan perhatian dan karunia-Nya tidak karena Dia merasa senang, tetapi karena sifat-Nya yang penuh kasih dan penuh kebaikan. Jadi, dalam hal ini, kedekatan dengan Allah tidak dapat dibandingkan dengan kedekatan kepada manusia.

Pertanyaan yang muncul adalah apa yang dimaksud dengan Allah merasa senang dan bahagia? Karena Allah adalah Zat yang tidak terpengaruh dan tidak mengalami perubahan, konsep senang dan tidak senang terhadap manusia tidak berlaku pada-Nya. Oleh karena itu, kita harus memahami bahwa istilah senang dan tidak senang di sini bersifat kiasan. Ini berarti bahwa ketika seseorang beribadah dan bertakwa, dia akan mendapatkan perhatian kasih sayang dan karunia Allah, bukan karena perasaan senang atau tidak senang, tetapi karena kepatuhan dan ketaatan.

Lalu, apa yang dimaksud dengan perhatian dan karunia Allah? Ada berbagai pandangan mengenai hal ini. Beberapa berpendapat bahwa rahmat Allah bersifat umum, baik secara spiritual maupun materi, dengan rahmat maknawi mengacu pada pengetahuan spiritual dan kenikmatan yang diperoleh dari kedekatan dengan-Nya, sementara rahmat materi berkaitan dengan surga, kebun, dan kenikmatan duniawi lainnya.

Namun, ada juga yang tidak mengakui adanya rahmat maknawi dan hanya memandang rahmat dalam konteks duniawi seperti surga dan kenikmatan materi. Pandangan semacam ini menyebabkan pemahaman bahwa mendekatkan diri kepada Allah hanya untuk memperoleh kenikmatan duniawi seperti surga, istana, dan bidadari. Pemahaman seperti ini menyebabkan kesalahan dalam pandangan tentang hubungan antara manusia dan Allah. Ini merupakan kesalahan pemikiran yang bersifat materialistis tentang hubungan antara manusia dan Tuhan, serta penolakan terhadap dimensi spiritual yang esensial dalam eksistensi manusia.

Firman Allah Swt “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya roh-Ku.” (QS. al-Hijr: 29), mengindikasikan bahwa manusia diciptakan dengan kesempurnaan oleh Allah. Pengertian kata “min ruhi” (dari roh-Ku) juga diartikan secara majazi (kiasan), menunjukkan bahwa tidak ada hubungan fisik antara Allah dan manusia.

Berbagai makhluk yang ada dalam hukum penciptaan, tatkala keberadaannya semakin sempurna, yakni semakin memanfaatkan keberadaan yang lebih kuat, dan lebih tegar, maka mereka akan semakin dekat dengan Zat Ilahi yang merupakan keberadaan murni dan kesempurnaan murni. Jelas, para malaikat jauh lebih dekat dengan Allah dibandingkan tumbuhan dan benda-benda padat, dikarenakan inilah maka ada sebagian malaikat lebih dekat dengan Allah dibandingkan malaikat yang lain; sebagian menjadi kepala dan membawahi yang lain, dan jelas perbedaan kedudukan ini berkaitan dengan dasar penciptaan yang menurut istilah ‘irfan disebut berhubungan dengan qaus nuzuli (kurva menurun).

Berbagai makhluk, khususnya manusia, berdasarkan pada ketentuan, “Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya kami akan kembali.” (QS. al-Baqarah: 156) Akan kembali kepada Allah, manusia berdasarkan pada peringkat keberadaannya, kembali ini harus dalam bentuk ketaatan dan amal saleh yang berdasarkan pada kehendak dan kebebasan diri sendiri, dan menjalankan tugas berdasarkan pada pilihan dan kebebasan. Manusia dengan melintasi jalan ketaatan kepada Allah, pada dasarnya ia benar-benar tengah mendaki peringkat dan derajat menuju kedekatan dengan Allah. Yakni melintasi dari peringkat binatang sampai peringkat di atas malaikat.

Qaus shu’udi (kurva menaik) ini, bukan merupakan suatu perjalanan yang sifatnya bermegah-megahan dan birokratis dan bukan pula relatif, sebagaimana kenaikan pangkat seseorang; yang semula memiliki peringkat rendah lalu menjadi kepala bagian atau direktur, atau seseorang yang semula menjadi anggota partai lalu menjadi ketua partai. Akan tetapi perjalanan naik melalui anak tangga keberadaan (wujud); kuat dan sempurnanya wujud, di mana sama dengan bertambah dan semakin sempurnanya dalam ilmu, qudrah, hayat (hidup), kehendak (iradah), dan bertambah luasnya lingkup pengaruh dan penguasaannya. Mendekatkan diri kepada Allah, ialah benar-benar melintasi berbagai peringkat wujud, dan mendekatkan kepada wujud yang tidak terbatas.

Oleh karena itu, mustahil seorang manusia dikarenakan ketaatan dan penghambaan dan melintasi jalan peribadatan tidak mencapai maqam malaikat, ataupun naik lebih tinggi dari malaikat, dan minimal berada di peringkat malaikat. Al-Qur’an demi menetapkan peringkat (maqam) kemanusiaan, mengatakan, Sesungguhnya kami adalah untuk Allah dan kepada-Nya kami akan kembali (Inna lillahi wa inna ilaihi raji ‘un). Dalam hal ini, benar-benar harus dikatakan bahwa yang mengingkari kedudukan dan peringkat (maqam) manusia, siapa pun orangnya ia adalah iblis.

*Disarikan dari buku Kumpulan Artikel Pilihan – Syahid Muthahhari

Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT