Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Arafah, Hijrah dari Keegoisan Menuju Allah

Ketika orang-orang bertanya kepada Imam Ali bin Abi Thalib -pribadi agung yang dilahirkan dalam Kabah tentang mengapa wukuf di luar Masjidil Haram hukumnya wajib, beliau berkata: “Haji memiliki rahasia-rahasia. Para pendosa dan pelaku maksiat harus berdiri di luar pintu dan meratap. Ketika mereka telah suci, maka mereka layak memasuki Masjidil Haram. Apabila Allah hendak menyambut tamu-tamu di rumah yang pernah didatangi para nabi dengan kesucian mereka, maka Dia harus menyucikan dan membersihkan tamu-tamu tersebut.”

Allah Swt berfirman kepada Nabi Ibrahim dan Ismail a.s.: “Dan telah kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail, bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang iktikaf, yang rukuk, dan yang sujud.” (QS. al-Baqarah: 125)

Karena rumah Allah suci, maka Dia hanya menerima tamu-tamu yang suci. Masy’ar merupakan bagian Masjidil Haram. Jamaah haji, selama masih di Arafah, berarti masih berada di luar pintu masuk. Ia harus meratap, sehingga pintu itu terbuka baginya. Seberapa dalam ia harus meratap? Bagaimana cara ia meratap? Untuk siapa ia meratap? Tapi, selama ia mampu meratap, maka pintu menuju Masjidil Haram akan terbuka baginya. Mungkin saja seseorang bisa masuk ke Masjidil Haram, namun Allah tidak akan sudi menerimanya (sebagai tamu) dan tidak akan memberinya perkenan.

Baca: Keagungan Ibadah Haji dalam Perspektif Mazhab Syiah

Pada hari kesembilan bulan Zulhijjah, tanah suci Arafah adalah tanah suci doa. Doa adalah satu-satunya hal yang Allah berikan kepada manusia. Imam Amirul Mukminin a.s. berkata: “Hamba tidak memiliki apa-apa, kecuali hanya doa.”

Ya, manusia tidak memiliki apa-apa selain doa. Manusia bukan pemilik harta, bahkan bukan pemilik anggota tubuhnya sendiri. Alquran al-Karim menyebutkan: “Atau siapakah yang kuasa menciptakan pendengaran dan penglihatan…” (QS. Yunus: 31)

Maksudnya, pemilik mata dan telinga adalah Allah. Anggota tubuh kita adalah amanat Allah. Karena kita telah berbaiat kepada Allah, maka kita telah menjual jiwa, anggota tubuh, dan hati kita kepada-Nya. Apabila Allah memandang tidak maslahat, maka Dia tidak akan memberikan kesempatan menutup mata. Jadi, mata dan telinga kita adalah milik Allah. Hanya penampakan kelemahan di hadapan Allah sajalah yang merupakan milik kita. Kita tidak memiliki apa-apa selain tunduk di hadapan-Nya. Di hadapan musuh dalam diri (internal), kita tidak memiliki senjata apa pun kecuali ratapan.

Antara hamba sahaya (manusia) dan majikan (Allah) tidak ada penghalang. “Dan sesungguhnya Engkau tidak terhalangi dari makhluk-Mu. Hanya saja, amal perbuatan (buruk) lah yang menghalangi antara mereka dengan Engkau.” (Petikan doa Abu Hamzah ats-Tsumali)

Maksudnya, “Wahai Tuhanku! Antara Engkau dan hamba-Mu tidak terdapat penghalang, selain amal perbuatan hamba itu sendiri.” Sebab, di antara benda-benda materi terdapat benda-benda yang dihalangi dan yang menghalangi. Namun, di alam non-materi tidak ada benda yang menghalangi atau yang dihalangi. Sebab, benda itu sendiri (materi) adalah sesuatu yang dihalangi. Penghalangnya juga adalah sesuatu yang dihalangi itu sendiri. Antara makhluk (ciptaan) dan Khalik (Pencipta) tidak terdapat penghalang, selain diri makhluk itu sendiri.

Imam Khomaini berpesan: “Apabila seseorang tidak melakukan perjalanan meninggalkan diri(nya) sendiri, mungkin saja kematian akan menjauhkan dirinya dari neraka Jahanam dan menghantarkannya ke surga. Namun, ia tidak akan pernah menemukan jalan menuju surga perjumpaan dengan Allah. Apabila seseorang mampu menyelamatkan dirinya dari keangkuhan, maka penyaksian rahasia-rahasia Ilahi akan terbuka baginya.”

Di hari kesembilan bulan Zulhijjah, (kehadiran di) tanah suci Arafah merupakan kesempatan dan waktu paling baik untuk melepaskan diri dari keangkuhan dan hijrah meninggalkan rumah hawa nafsu: “Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah…” (QS. an-Nisa: 100)

Alquran menjelaskan (makna) hijrah ini dalam ayat: “Dan perbuatan dosa tinggalkanlah.” (QS. al-Muddatsir: 5)

Maksudnya, tinggalkanlah segala perbuatan dosa dan maksiat. Hijrah ke suatu tempat tidaklah begitu penting, namun yang penting adalah hijrah menuju ketinggian spiritual. Alquran, saat menjelaskan keuntungan yang didapat oleh orang-orang yang berhijrah, menjelaskan pula tentang hakikat hijrah. Apabila seseorang berhijrah meninggalkan dosa-dosa, maka kematian tidak akan mendatanginya dan Allah berjanji akan menetapkan pahala baginya. Allah berfirman: “Maka sesungguhnya telah tetap pahalanya di sisi Allah.” (QS. an-Nisa: 100)

Dalam doa Arafah, Imam Husain bin Ali bin Abi Thalib berkata: “Ya Allah! Dalam Alquran, Engkau (telah) berfirman bahwa seluruh alam semesta adalah tanda-tanda keesaan-Mu. Di antara tanda-tanda kebesaran-Mu terdapat tanda-tanda di segenap penjuru dan pada diri manusia sendiri. Ya Allah, jika Engkau palingkan kami dari (melihat) tanda-tanda kebesaran-Mu, maka perjalanan kami akan menjadi panjang. Apabila aku ingin sampai pada Pemilik tanda-tanda kebesaran (itu) melalui tanda-tanda (juga), maka (itu) akan memakan waktu yang panjang.

Tunjukkanlah diri-Mu kepadaku. Tanda-tanda itu tidak memiliki kemampuan untuk itu, di mana mereka menuntunku kepada-Mu secara sempurna, meskipun tanda-tanda itu berbentuk tanah suci Mekah, Arafah, dan Masy’ar. Padahal, Engkau berfirman: ‘Di dalamnya terdapat tanda-tanda kebesaran yang menjelaskan’. Semua itu tidak memiliki penampakan, sehingga menunjukkan keberadaan-Mu. Apakah selain diri-Mu memiliki penampakan, hingga ia menjadi sesuatu yang menampakkan keberadaan-Mu?

Ya Allah, Engkau adalah cahaya langit dan bumi, Engkau lebih dekat kepadaku ketimbang tanda-tanda itu. Engkau lebih nyata dari(pada) tanda-tanda kebesaran-Mu, mengapa Engkau kembalikan aku pada tanda-tanda itu? Kapankah Engkau menjadi tersembunyi, sehingga (aku) membutuhkan bukti untuk mengetahui keberadaan-Mu?

Baca: Alasan Disyariatkannya Ibadah Haji

Bukti dibutuhkan untuk mengetahui sesuatu yang tersembunyi, sementara Engkau tidak pernah tersembunyi. Engkau tidak membutuhkan tanda atau bukti agar aku bisa mengenal keberadaan-Mu. Bukankah Engkau pernah berfirman: ‘Dan apakah tidak cukup bagi kamu bahwa sesungguhnya Tuhanmu menyaksikan segala sesuatu?’ (Fushshilat: 53). Ya Allah, tunjukkanlah diri-Mu sehingga aku mampu melihat-Mu tanpa melalui perantara.”

Benar, masalah ini tidak hanya khusus bagi para imam suci. Setiap manusia memiliki jalan tertentu. Antara manusia dengan Tuhannya tidak ada jarak pemisah. Hanya saja, jalannyalah yang berbeda-beda. Sebagian jalan sangat luas dan terang dan sebagian lagi samar-samar. Jadi, terdapat ikatan khusus antara manusia dengan Allah, di mana, di jalan tersebut, tidak ada yang menembus dan bergabung selain Allah.

*Disarikan dari buku Makna dan Hikmah Haji – Ayatullah Jawadi Amuli

No comments

LEAVE A COMMENT