Momen Arbain Imam Husain as. baru saja kita lewati. Bagi mereka yang mendapatkan ‘kemewahan ilahi’ berupa kesempatan hadir di Karbala, Arbain adalah sebuah momen yang tak akan terlupakan. Karbala, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, menjadi ajang terbesar perkumpulan umat manusia. Jutaan manusia dari berbagai penjuru dunia tumpah ruah menyesaki kota tempat peristirahatan terakhir cucu Rasulullah saw ini.
Yang menarik perhatian adalah, jutaan orang ini datang ke Karbala di tengah ancaman sebuah kelompok haus darah; kelompok yang telah bersumpah untuk menebar rasa takut di hati para peziarah Husain as, sebagaimana yang dahulu dilakukan para penguasa Bani Umayah dan Abbasiyah.
Namun, ISIS harus gigit jari. Ibarat pungguk merindukan bulan, angan-angan mereka tak tergapai. Alih-alih gentar terhadap ancaman bom, para pecinta Imam Husain as. justru datang berduyun-duyun ke Karbala. Bak laron-laron yang siap terbakar lilin, mereka meneriakkan “labbaika ya Husain,” seolah ‘mempersilakan’ gerombolan barbar itu memetik nyawa mereka.
Rasionalkah tindakan mereka? Logiskah long march yang mereka lakukan; menempuh jarak puluhan kilometer untuk tiba di makam putra Fatimah as? Nalar macam apa yang membuat mereka rela berjalan kaki dalam keadaan terpapar risiko terkena bom atau rudal teroris? Apa landasan semua ini?
Cinta.
Ya, ini bukan ranah akal dan nalar. Ini adalah wilayah cinta, dan akal adalah pihak asing di ranah ini. Andai akal yang berkuasa, tak ada yang bersedia menanggung risiko kehilangan nyawa, apalagi dengan cara dibom. Andai bukan karena cinta, tak satu pun rela berhutang dan datang dari tempat nan jauh demi bersimpuh di pusara Husain as.
Yang menakjubkan, Imam Husain as. tak hanya memikat hati para penganut agama datuknya. Para pemeluk agama lain pun jatuh hati kepadanya. Gandhi, Charles Dickens, Antoine Bara, dan Washington Irving adalah sebagian nonmuslim yang terpukau oleh daya tarik Pemuka Syuhada ini. Bahkan, pernyataan-pernyataan mereka tentang Imam Husain as. kadang melebihi ungkapan kekaguman muslimin sendiri.
Kenapa Imam Husain as. begitu dicintai?
Pertanyaan ini bisa jadi memiliki banyak jawaban. Salah satu jawabannya, dalam hemat saya, adalah karena nilai-nilai yang diperjuangkan Imam Husain as. berlandaskan fitrah insani.
Siapakah manusia yang tak mencintai keadilan? Adakah orang yang tak mengapresiasi pengorbanan seseorang bagi sesama manusia? Bukankah semua manusia membenci penindasan dan pelakunya?
Keadilan, pengorbanan, dan perlawanan terhadap penindasan adalah norma-norma yang dijunjung Imam Husain as. Semua norma ini berakar pada fitrah insan, sehingga semua manusia niscaya menghargai dan mencintai norma-norma ini.
Orang-orang yang percaya bahwa nilai-nilai ini mesti diterapkan, namun mungkin ‘takut’ melakukannya, maka perjuangan Imam Husain as. menebalkan kepercayaan mereka; membuat mereka yakin bahwa tak ada yang perlu ditakutkan untuk menerapkan nilai-nilai insani ini.
Mereka yang dahulu bersikap skeptis dan mungkin menganggap nilai-nilai ini adalah bagian dari idealisme yang sulit direalisasikan di dunia nyata, menyaksikan Imam Husain as. mewujudkannya secara riil, bahkan dalam tingkat tertinggi. Beliau menyadarkan mereka bahwa “ya, ini bukan hanya mungkin, tapi memang mesti diwujudkan.”
Kefitrian nilai-nilai yang dijunjung Imam Husain as. pula yang menjadikan beliau tetap dan akan terus dicintai. Sebagaimana fitrah tak akan berubah atau punah tergerus zaman, cinta manusia kepada beliau pun tak akan lekang oleh waktu.
Selain itu, kita juga jangan melupakan Imam Husain as yang selalu berporos pada Allah dalam diam dan geraknya. Tiap detik dari hidup beliau tak pernah jauh dari Sang Khalik. Terlebih dalam revolusinya, baik sejak keluar dari Madinah hingga saat terakhirnya di Karbala, Imam Husain as selalu mengingat-Nya. Sebagaimana Alquran menegaskan bahwa semua akan binasa, kecuali ‘wajah’ Allah yang akan tetap kekal, maka semua perjuangan tulus Imam Husain as. akan terus diingat dan dicintai umat manusia, sebab semua beliau lakukan demi rida-Nya.
Dari sinilah kita bisa memahami sabda datuk beliau, Rasulullah saw.,“Sungguh, terbunuhnya Husain adalah bara di hati orang mukmin yang tak akan pernah padam.”