Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Dasar Keadilan dalam Mazhab Syiah

Apakah konsep keadilan dalam Islam yang menekankan pembangunan hubungan antar masyarakat berdasarkan prinsip keadilan dan penghormatan terhadap hak-hak individu, memiliki dasar yang kuat? Apakah hak-hak masyarakat sebenarnya sudah ada, dan Islam hanya mengklarifikasi hak-hak tersebut sambil menjaga keadilannya? Atau, apakah hak-hak dan keadilan hanya tergantung pada perintah agama dan tidak memiliki substansi sendiri?

Dalam pandangan beberapa orang di kalangan Muslim, hukum Allah Swt, baik dalam penciptaan maupun dalam penetapan hukum, dianggap sebagai manifestasi keadilan. Mereka berpendapat bahwa perintah Allah Swt tidak harus diukur dengan standar keadilan manusia, karena apa pun yang Allah lakukan dan perintahkan adalah keadilan dan kebenaran itu sendiri.

Namun, pandangan ini telah menimbulkan kontroversi, karena tampaknya berimplikasi bahwa agama tidak terikat oleh norma akal dan bahwa semua perbuatan Allah adalah bentuk keadilan. Sebagai akibatnya, beberapa orang menganggap bahwa tidak masalah jika seseorang yang saleh masuk neraka atau seorang yang berbuat maksiat masuk surga, atau jika sekelompok orang mendapatkan semua kenikmatan di dunia sementara yang lain tidak mendapatkan apa-apa. Pandangan ini, meskipun diterima oleh beberapa pihak, telah membawa dampak negatif pada dunia Islam, menciptakan ketidaksepakatan dan konflik dalam pemahaman tentang konsep keadilan dalam agama.

Baca: Keadilan dalam Pandangan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s.

Terdapat dua pandangan yang perlu diperhatikan mengenai keadilan. Pertama, pandangan yang menyatakan bahwa hukum Islam mengikuti realitas kebaikan dan keburukan yang sebenarnya, serta mengakui keduanya. Dalam pandangan ini, kita dapat menyusun dasar-dasar filosofi sosial Islam dan hak-hak yang ditegakkan oleh agama ini. Dengan demikian, kita dapat memahami dasar-dasar hak yang dimiliki oleh Islam, yang menjadi dasar pembuatan hukum. Pandangan ini memberikan petunjuk yang berharga dalam berbagai aspek kehidupan.

Kedua, ada pandangan yang mengatakan bahwa Islam tidak memiliki filsafat sosial dan tidak memiliki dasar-dasar hak. Bahkan, Islam dianggap tidak mengakui dasar-dasar hak, melainkan hanya menekankan pada ketaatan semata sebagai prinsip utama.

Dalam Mazhab Syiah, dasar keadilan adalah konsep yang sangat penting. Sebagai orang Syiah, kita tidak perlu membuktikan keberadaan dasar keadilan, karena keadilan sendiri adalah salah satu dasar utama dalam ajaran Syiah. Terdapat ungkapan yang sudah lama dikenal dalam tradisi Syiah, yaitu “Keadilan dan tauhid adalah Alawi (dasar ajaran para pengikut Ali), sementara Jabr dan Tasybih adalah Umawi (dasar ajaran para Bani Umayyah).”

Dalam konteks ini, keadilan merujuk pada prinsip keadilan sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Sementara itu, tauhid mengacu pada keyakinan bahwa Allah Swt bebas dari sifat-sifat jasadi dan tidak terikat oleh zat dan sifat. Jabr, pada sisi lain, mengacu pada pandangan bahwa manusia terpaksa (tidak memiliki kebebasan) dalam tindakan mereka. Hal ini karena kebebasan merupakan salah satu aspek penting dari keadilan, sedangkan keterpaksaan adalah bentuk pengingkaran terhadap keadilan. Tasybih (penyerupaan) dalam konteks ini merujuk pada upaya untuk menyamakan Allah Swt dengan makhluk dan menganggap bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang serupa dengan makhluk.

Dalam ajaran ‘adliyyah, yang termasuk dalam tradisi Syiah, Islam memiliki serangkaian dasar-dasar hak yang digunakan sebagai dasar untuk menetapkan hukum-hukumnya. Keadilan, yang berarti memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya, adalah salah satu prinsip utama dalam menentukan hak-hak ini. Kita perlu memahami apa yang menjadi dasar-dasar pertama bagi hak-hak dalam Islam, bagaimana hubungan antara manusia dan hak-hak ini terbentuk, dan apa yang menyebabkan hubungan ini ada.

Dalam konteks ini, alam semesta diatur oleh sistem sebab-akibat. Ada dua jenis sebab dalam penciptaan hubungan: sebab pelaku dan sebab tujuan. Sebagai contoh, ketika seseorang berbicara, dia adalah pelaku yang membuat pembicaraan terjadi. Tanpa pelaku ini, tindakan berbicara tidak akan ada. Selain itu, tindakan berbicara tersebut memiliki tujuan tertentu, seperti memaksa orang lain, menyampaikan informasi, memicu pertanyaan, dan lain sebagainya. Tujuan tersebut menjadi alasan atau perantara bagi tindakan berbicara. Jika tujuan-tujuan ini tidak ada, maka tindakan berbicara juga tidak akan ada. Dengan demikian, baik pelaku maupun tujuan merupakan bagian dari penciptaan tindakan berbicara.

Dalam konteks hak dan pemilik hak, manusia meyakini bahwa dia memiliki serangkaian hak di alam ini. Kita perlu memahami dari mana asal hubungan khusus ini muncul dan jenis hubungan yang ada antara manusia dan hak-hak ini. Pertanyaan mendasarnya adalah apakah hubungan ini lebih mirip dengan hubungan antara perantara dengan tujuan atau antara perbuatan dengan pelaku.

Tidak diragukan bahwa keyakinan yang meresap ke dalam ajaran tertentu, seperti keyakinan tentang manusia, alam, hidup, dan wujud, akan mempengaruhi pandangan tentang jenis hubungan yang terjadi antara manusia dan seluruh aspek lainnya. Sebagai contoh, dalam pandangan filsafat materialisme, tidak ada ruang bagi gagasan “hubungan tujuan” antara manusia dan berbagai aspek alam. Mereka menolak gagasan ini karena hal itu akan mengimplikasikan adanya “kecerdasan universal” yang mengendalikan alam dan menciptakan satu entitas untuk yang lain. Dalam pandangan ini, segala sesuatu muncul tanpa ada hubungan sebab-akibat yang jelas. Mereka berpendapat bahwa gagasan tentang hubungan tujuan hanya merupakan kebetulan. Dalam konteks ini, kita akan memfokuskan pada pandangan universal yang terkandung dalam Islam.

Berdasarkan keyakinan-ajaran universal dan pandangan dunia Islam tentang manusia, alam, dan kehidupan, terdapat “hubungan tujuan” antara manusia dan anugerah-alam. Ini berarti ada hubungan khusus antara manusia dan anugerah-alam dalam ciptaan alam semesta ini. Al-Qur’an secara berulang-ulang menekankan bahwa alam ini diciptakan untuk manusia. Sebelum manusia mampu melakukan sesuatu apa pun, dan juga sebelum peraturan-peraturan agama diumumkan kepada manusia dengan perantaraan para nabi, manusia telah memiliki hubungan dengan alam ciptaan ini, dan alam ini dianggap sebagai milik dan hak manusia. “Dia-lah Allah, yang telah menjadikan segala sesuatu yang ada di bumi untuk kamu.” (QS. al-Baqarah: 29)

Al-Qur’an juga menegaskan bahwa hubungan ini didasarkan pada perintah penciptaan, dan alam ini diciptakan sesuai dengan kebutuhan manusia. Contohnya, Al-Qur’an menyatakan bahwa segala sesuatu di bumi diciptakan untuk manusia. Sebagai contoh lain, ketika menciptakan manusia, Allah memberikan manusia tempat tinggal dan sumber kehidupan di bumi. “Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi itu [sumber] penghidupan. Amat sedikit kamu bersyukur.” (QS. al-A’raf: 10)

Selain itu, pandangan Islam juga mencerminkan hubungan tujuan di antara berbagai unsur alam, manusia, dan makhluk lainnya. Misalnya, sistem pencernaan manusia yang cocok dengan makanan yang tersedia menunjukkan hubungan tujuan dalam penciptaan. Dalam pandangan Islam, penciptaan alam ciptaan dan perintah agama saling mendukung, bukan bertentangan.

Baca: Makna dan Macam-macam Keadilan Tuhan

Sebagai contoh lain, bayi yang baru lahir memiliki hubungan tujuan dengan payudara ibu yang menghasilkan susu. Ini menunjukkan bahwa susu tersebut adalah hak bayi, dan hubungan ini didasarkan pada hukum penciptaan.

Oleh karena itu, pandangan dunia Islam mengakui adanya hubungan tujuan di alam semesta ini, yang mencerminkan hubungan hak antara manusia dan alam ciptaan. Semua ini didasarkan pada hukum penciptaan dan perintah Allah Swt.

*Disarikan dari buku Kumpulan Ceramah Murthada Muthahhari

Share Post
No comments

LEAVE A COMMENT