Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Kemahabijaksanaan Allah di Balik Segala Kesulitan Manusia

Salah satu prinsip yang amat penting di balik kesulitan dan kesusahan yang ditanggung manusia ialah perkembangan bakat dan aktualisasi potensinya yang tersembunyi, supaya dengan demikian ia mencapai kesempurnaan yang pantas.

Misalnya, sebagaimana pertumbuhan dan kekuatan fisik terjadi dalam latihan-latihan berat, dan orang yang ingin mendapatkan kekuatan fisik yang lebih besar harus berlatih lebih banyak dan lebih keras, demikian pula pertumbuhan dan kesempurnaan rohani diperoleh dengan memasuki dan menanggung kesulitan dan kesukaran. Dengan sarana itu, bakat manusia yang dikaruniakan Tuhan berubah menjadi realitas. Dalam bahasa Alquran, mempersiapkan lahan bagi praktik kerohanian disebut “ujian”. Ibtila, imtihan, fitnah, dan ungkapan-ungkapan lain semacam itu yang telah ditunjukkan dalam Alquran menunjukkan bahwa peristiwa-peristiwa yang terjadi pada manusia adalah karena perencanaan dan takdir Ilahi.

Kenyataannya, apa yang disebut “ujian” dalam bahasa Alquran adalah juga pembinaan. Dalam hal ini, kita dapat menamakan dunia sebagai tempat pembinaan, di samping tempat pengujian. Karena, bakat-bakat manusia dibina di dunia ini dan kemampuan potensialnya diwujudkan. Dalam riwayat dikatakan bahwa Allah Yang Mahakuasa menguji kaum mukmin dengan kesukaran dan kesulitan, sebagaimana ibu membesarkan anaknya dengan menyusukannya.

Baca: Dunia dalam Pandangan Manusia Ilahi

Namun, di antara pengertian di atas, Alquran telah menunjukkan suatu fakta lain sehubungan dengan ujian Ilahi ini, yakni bahwa apabila seseorang melewati ujiannya dengan baik dan terbina dengan pantas di tempat pembinaan ini serta beroleh angka-angka prestasi yang baik, maka selain mencapai tingkat kesempurnaan dan pertumbuhan rohani tertentu, ia juga menjadi model bagi orang lain dan mencapai kedudukan kepemimpinan dan imamah. Jadi, salah satu tujuan di balik ujian-ujian yang berupa kesukaran dan kesulitan itu ialah supaya di antara manusia muncul individu­individu yang akan menjadi teladan bagi orang lain.

Tujuan Ilahi dalam mengajukan kesukaran dan menguji manusia itu dapat digambarkan dalam tiga bentuk. Pertama, agar orang yang menonjol tumbuh dalam masyarakat dan mendapatkan kedudukan tinggi, dan orang lain mengikutinya. Menjadi teladan ini mempunyai banyak tingkatan. Tingkatnya yang lebih tinggi adalah tingkat kemuliaan para nabi a.s. dan para imam suci, tingkat yang telah dianugerahkan Allah Yang Mahakuasa kepada Nabi Ibrahim a.s., seperti disebutkan pada ayat berikut:

“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan) lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman, ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.” (QS. al-Baqarah: 124)

Allah Yang Mahakuasa, setelah mengaruniakan kedudukan nubuwwah (kenabian), risalah (kerasulan), dan khullat (menjadi sahabat [khalil] Allah) kepada Nabi Ibrahim a.s., ketika hendak menganugerahkan kedudukan yang lebih tinggi lagi kepadanya, mengujinya dahulu. Mula-mula, Ibrahim ditimpai dengan api oleh orang-orang Namrud. Ini adalah satu tahap ujian. Setelah lulus dari itu dengan hasil baik, ia mencapai kesiapan untuk menerima kedudukan imamah.

Pada tahap selanjutnya, Ibrahim a.s. disuruh Allah untuk membawa istrinya Hajar dan putranya yang tercinta Ismail a.s. ke gurun gersang di padang pasir Hijaz, di Mekah. Sesuai dengan perintah Allah itu, Ibrahim pun membawa keluarganya berpindah ke tanah itu, meninggalkan mereka di sana, dan menanggung pahitnya perpisahan dengan tabah demi keridaan Allah Yang Mahakuasa.

Baca: Mampukah Materi Mewujudkan Kebahagiaan Manusia?

Ujian ketiga, yang tersukar dari semuanya, ialah ujian yang diterima Ibrahim a.s. ketika ia telah lemah di hari tua-saat kemampuan fisiknya telah merosot, Allah Yang  Mahakuasa mengaruniainya seorang putra, yakni Ismail; tentulah beliau sangat senang akan anak itu. Beliau menemaninya dan bermain dengannya. Ibrahim diperintah Allah Yang Mahakuasa untuk menyembelih dengan tangannya sendiri putranya yang sangat cakap, sempurna, dan amat berarti itu. Ini ujian yang sangat sukar dan sangat berat. Tetapi, tanpa ragu, Ibrahim memberitahukan kepada putranya tentang perintah itu.

Di sinilah orang yang telah menanggung kesukaran dengan sabar dan menyerahkan semua yang dipunyainya pada  jalan Allah harus menjadi imam dan teladan bagi orang lain. Seperti itu pula, beberapa nabi besar lain, setelah menanggung kesulitan tertentu, mencapai kedudukan imamah, yang telah ditunjukkan secara singkat pada ayat berikut:

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu para imam yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar….” (QS. as-Sajdah: 24)

Juga, kadang-kadang suatu kelompok masyarakat menjadi teladan bagi kelompok lain. Apabila dalam suatu masyarakat ada suatu kelompok yang berhiaskan kebajikan, kebaikan moral, dan takwa, dan menanggung secara suka rela kesulitan dan kesukaran, memberikan dengan senang hati kelapangan dan kemakmuran hidup, dan mengarahkan usaha mereka untuk melayani hamba-hamba Allah, maka kelompok ini mendapatkan kedudukan pemimpin dan menjadi teladan bagi yang lain.

Bagaimanapun, di atas semua ini, bilamana umat Islam menjadi model bagi umat lain; apabila suatu kaum secara kolektif mencapai kebaikannya dan berhasil lulus dari ujiannya, maka seluruh kaum ini menjadi teladan bagi kaum lain. Dan, sebagaimana telah ditetapkan oleh kehendak Ilahi atas setiap kaum bahwa seorang individu yang menonjol, atau kelompok yang menonjol darinya akan memegang kepemimpinan atas yang lain, maka demikian pula telah ditetapkan oleh kehendak Ilahi bahwa di antara semua masyarakat manusia ada suatu masyarakat yang akan menjadi model bagi semua.

Hikmah lain di balik adanya kesukaran dan kesusahan ialah agar manusia dapat melihat kenyataan bahwa kehidupan duniawi bukanlah kehidupan yang ideal dan bahwa ideal batin manusia, yakni kesempurnaan dan kebahagiaan yang kekal, tak mungkin tercapai di dunia ini. Mata manusia, karena daya kenalnya yang lemah, terutama pada tahap awal kehidupan dan sebelum terbimbing oleh para nabi Allah dan para wali, terpusat pada kesenangan material dan kenikmatan duniawi. Yang utama dimengertinya dan dikenalnya adalah kesenangan-kesenangan fana kehidupan duniawi ini, dan tak ada yang lain. Padahal, apabila kehidupan ini sepenuhnya untuk kesenangan, hal itu akan mengantarkan manusia kepada kesesatan.

Maka, berdasarkan kebijaksanaan Allah, harus ada kesulitan di dunia ini untuk mengingatkan manusia bahwa apa yang sesungguhnya dicarinya dan yang merupakan hasrat batin yang terbawa sejak lahir, yakni kebahagiaan yang kekal, tak mungkin tercapai di dunia ini. Oleh karena itu, adanya bencana dan permasalahan dalam kehidupan dunia ini adalah agar manusia mengambil pelajaran, agar ia tidak tergila-gila pada dunia ini, tidak terjebak oleh kesenangan-kesenangan dan kemewahannya, dan mengetahui bahwa hidup ini adalah suatu sarana untuk ujian, sebuah jembatan yang harus dilalui untuk sampai pada kehidupan yang abadi.

Hikmah lain yang ditunjukkan dalam Alquran ialah kenyataan bahwa bilamana manusia sibuk dalam kenikmatan dan kesenangan, dan semua yang diinginkannya tersedia baginya, ia tidak akan melihat kelemahannya dan keadaannya yang membutuhkan. Sebagai akibatnya, benih pemberontakan dan pendurhakaan terhadap perintah Allah tumbuh dalam jiwanya, mengantarkannya kepada keakuan dan egoisme, dan secara berangsur-angsur, ia pun melupakan Allah. “Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas karena dia melihat dirinya serba cukup.” (QS. ‘Alaq: 6-7)

Oleh karena itu, atas dasar Kemahabijaksanaan-Nya, Allah membuat manusia menyadari keadaannya yang membutuhkan dalam berbagai situasi dan dengan berbagai cara, membuat mereka melihat fakta bahwa mereka sepenuhnya membutuhkan, sehingga dengan sarana ini hati mereka berpaling kepada Allah. Aturan umum ini telah diungkapkan Allah Yang Mahakuasa dalam dua ayat Alquran yang mengatakan bahwa Dia tidak mengutus para nabi-Nya kepada suatu kaum melainkan pertama-tama menimpakan kepada kaum itu kesulitan dan kesusahan supaya dasar untuk memberikan perhatian kepada Allah, untuk merendah, menyerah, dan memohon kepada Allah, tumbuh pada mereka.

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan [menimpakan] kesengsaraan dan kesulitan, supaya mereka bermohon [kepada Allah] dengan tunduk merendahkan diri.” (QS. al-An’am: 42)

Pada ayat lain Allah Swt mengatakan dengan nada yang lebih keras dan tegas:

“Kami tidaklah mengutus seorang nabi pun kepada suatu negeri melainkan Kami timpakan kepada penduduknya kesengsaraan dan kesulitan supaya mereka tunduk dengan merendahkan diri.” (QS. Al-A’raaf: 94)

Baca: Pemikiran Imam Ali a.s. Mengenai Hak Asasi Manusia

Jadi, suatu hikmah lain di balik adanya bencana dan masalah kehidupan ialah supaya manusia merendahkan diri di hadapan Allah, memohon kepada-Nya, merasa berada dalam kebutuhan, dan tidak menjadi sombong atas nikmat yang diberikan Allah kepadanya; supaya ia tidak berpikir bahwa nikmat itu adalah miliknya sendiri, bahwa ia sendiri yang telah mendapatkannya dan bahwa bilamana ia menginginkan suatu nikmat maka nikmat itu akan tersedia padanya dengan usahanya sendiri; supaya ia mengetahui bahwa keadaannya tidaklah demikian, bahwa rencana Allah di atas semua rencana ini, dan bahwa kadang-kadang, walaupun ia telah berusaha dan berikhtiar, masih juga ia tertimpa kesulitan.

*Disarikan dari buku Monoteisme – Ayatullah Muhammad Taqi Misbah Yazdi

No comments

LEAVE A COMMENT