Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Hal-hal yang Menghalangi Datangnya Kebahagiaan

Penyakit paling berbahaya yang kini mencengkeram dalam diri berbagai bangsa adalah keyakinan sebagian orang bahwa mereka adalah ras terbaik, paling suci dan bersih, dan bahwa mereka diciptakan dari materi yang lebih baik, memiliki jalur keturunan yang lebih tinggi. Tendensi seperti ini memberi inspirasi kepada mereka untuk membentuk ideologi diskriminatif dan apartheid. Mereka memperlakukan bangsa di luar golongan mereka dengan sikap angkuh dan dengan cara-cara yang tidak wajar, sehingga berkembang luaslah rivalitas antara berbagai lapisan masyarakat. Setiap golongan memandang golongan yang lain dengan sinis dan penuh kebencian begitu rupa, sehingga tak seorang pun bisa berharap bahwa zaman akan mengikisnya dan jiwa mereka akan tersucikan dari karat-karatnya.

Manusia mempunyai kesamaan dalam hak dan kewajiban. Tidak ada perbedaan apa pun di antara mereka yang menyebabkan sekelompok orang ditakdirkan menjadi pemimpin sedangkan yang lainnya menjadi budak. Orang yang hatinya dipenuhi kesombongan, yang pandangannya disilaukan oleh visi seperti itu, dan dadanya sesak oleh egoisme, berarti telah memenjarakan dirinya dalam penjara yang gelap seluruh sudutnya, tanpa ada sedikit pun cahaya yang meneranginya. Dia menjadi terasing tanpa kawan. Sebab, dalam pandangannya, tidak ada seorang pun yang setara dan sejajar dengannya. Dia merasa dirinya paling suci, sedang orang lain berlumur dosa. Dalam keadaan seperti itu, orang pasti memandangnya dengan mata penuh kebencian dan enggan bergaul dengannya.

Baca: Mampukah Materi Mewujudkan Kebahagiaan Manusia?

Mereka memaki-makinya jika dia tidak ada, tetapi mengerumuninya bila dia ada di tengah-tengah mereka, semata-mata karena takut akan kekuasaannya dan berharap akan hadiahnya. Ketika bencana menimpanya, mereka berdiam diri. Tidak ada seorang pun yang akan menyesalinya manakala dia sakit, dan tidak ada pula yang merasa kehilangan manakala dia mati.

Rasulullah Saw bersabda kepada Imam Ali: “Wahai Ali, yang menggerogoti hisab adalah kesombongan. Sesungguhnya Allah telah mengikis semangat jahiliah dan kebanggaan terhadap nenek moyang melalui Islam. Ketahuilah, semua orang berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah. Sebaik-baik orang di antaramu di hadapan Allah adalah orang yang paling bertakwa.”

Imam Ali a.s. mengatakan: “Tidak ada perlunya seorang anak Adam membanggakan dirinya. Asal mulanya adalah nutfah, dan akhir kehidupannya adalah tanah. Bukan dia yang memberi rezeki pada dirinya, dan bukan dia pula yang mencegah marabahaya yang mengancam dirinya.”

Imam Jakfar Shadiq a.s. berkata: “Ada dua orang laki-laki saling membanggakan diri di hadapan Imam Ali. Kemudian beliau mengatakan kepada mereka berdua, ‘Apakah kalian berbangga-bangga dengan jasad-jasad yang telah menjadi tanah dan arwah yang berada dalam neraka? Kalau kalian punya akal, mestinya kalian punya akhlak. Kalau kalian bertakwa, niscaya kalian mulia. Kalau tidak demikian keadaan kalian, maka keledai jauh lebih baik ketimbang kalian, dan aku sendiri tidak lebih baik dari siapa pun.”

Imam Jakfar Shadiq juga berkata: “Ada tiga orang yang Allah tidak mau melihat mereka di akhirat: dua yang pertama adalah orang yang sombong dan menyeret jubahnya dengan pongah, sedang yang ketiga adalah orang yang memberikan bantuan dengan mengharap balasan.”

Pengalaman membuktikan kepada kita bahwa orang yang takabur dan jiwanya dipenuhi egoisme, pasti memiliki kelemahan dalam salah satu aspek kehidupannya. Untuk menutupi dan menyembunyikan kekurangan itulah ia mengenakan pakaian kesombongan dan egoisme.

Dapat dikatakan bahwa takabur dan egoisme itu bertingkat-tingkat. Orang takabur memandang dirinya berada di atas orang lain. Ashabiyyah dan egoisme mengisi jiwa seseorang dengan perasaan-perasaan yang menyebabkan dirinya jauh dari orang banyak. Dia melihat mereka dari atas, dan meyakini bahwa mereka lebih rendah derajatnya dibanding dirinya. Dia tidak memiliki kebersamaan perasaan, dan tidak pernah terlintas dalam benaknya untuk bergaul dengan mereka, atau berjalan bersama-sama mereka di jalan yang sama. Dia mempunyai jalan di atas, yang dihuni oleh orang-orang tertentu, yang di sisi-sisinya telah dibangun pagar-pagar kebesaran yang sangat tinggi. Dia menempatkan dirinya di suatu tempat yang tak mungkin bisa ditembus. Dengan begitu, dia telah memisahkan jalannya dari masyarakat, sehingga dia tidak berbaur dengan individu-individunya.

Baca: Ingin Bahagia? Bahagiakanlah Orang Lain

Akibatnya, mereka kehilangan kebahagiaan dan kemuliaan yang seharusnya mereka peroleh. Karena itu, orang-orang yang memiliki tendensi seperti itu lebih suka menyendiri dan menjauhi masyarakat. Mereka memiliki semangat kebencian yang menyala-nyala, dan kosong dari rasa cinta. Mereka tidak mengenal lezatnya keakraban dan tidak memiliki hati yang terbuka untuk berbagi rasa. Hati mereka tertutup, jiwa mereka penuh kebencian, dan akal mereka terbalik.

Orang seperti itu telah memutuskan untuk hidup terasing dari masyarakat. Kalaupun rumahnya berdekatan dengan rumah orang lain, toh ia tetap tidak mengenal kehidupan yang penuh dengan banyak hal yang indah dan sarat dengan kebaikan, antara lain bergaul dengan orang banyak, bercengkerama dengan kawan-kawan, dan bertemu dengan orang-orang yang terhormat dan terdidik.

*Dikutip dari buku karya Musa Jawad Subaiti – Akhlak Keluarga Nabi Saw

 

No comments

LEAVE A COMMENT