Al-Quran al-Karim merupakan kitab suci dan buku pedoman yang tak boleh lepas dalam perjalanan spiritual seorang salik. Di saat yang sama, shalat adalah amalan yang paling asas dalam tazkiyah atau penyucian jiwa. Semua orang tentu mengetahui bahwa shalat tidak mungkin tertunaikan tanpa surat-surat dalam al-Quran, khususnya al-Fatihah yang notabene induk kitab suci ini. Tentang ini Rasulullah saw bersabda;
أَنَّ قراءة القرآن في الصلاة أفضل من قراءة القرآن في غير الصلاة.
“Sesungguhnya pembacaan al-Quran dalam shalat lebih utama daripada pembacaan al-Quran di luar shalat.”[1]
Ada koneksi kuat antara al-Quran dan shalat, dan ini telah disinggung dalam berbagai ayat suci al-Quran, antara lain beberapa ayat sebagai berikut;
- Allah SWT berfirman;
اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلاةَ.
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu al-Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat.”[2]
Ada kemungkinan bahwa ayat suci ini berkenaan terutama dengan pembacaan al-Quran dalam pendirian shalat, dan kemungkinan ini tentunya juga tidak lantas menegasikan relevansinya dengan pembacaan al-Quran di luar shalat. (Baca: Rahasia Di Balik Salat Awal Waktu -1)
- Allah SWT berfirman;
وَإِذا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ.
“Dan apabila dibacakan al-Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.”[3]
Dalam sebuah riwayat sahih[4] ayat ini ditafsirkan dengan pembacaan al-Quran oleh imam dalam shalat jamaah.
- Allah SWT berfirman;
أَقِمِ الصَّلاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ الَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُوداً.
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam, dan (dirikanlah pula shalat) subuh (qur’an al-fajr). Sesungguhnya shalat subuh (qur’an al-fajr) itu disaksikan (oleh malaikat).”[5]
Dalam ayat ini terdapat frasa “qur’an al-fajr” yang diartikan dengan shalat subuh setelah diduga kuat bahwa maksudnya adalah bacaan al-Quran dalam shalat subuh. (Baca Fikih Quest 49: Salat Berjamaah dengan Ahlussunnah)
- Allah SWT berfirman;
إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُومُ أَدْنَى مِنْ ثُلُثَيِ الَّيْلِ وَنِصْفَهُ وَثُلُثَهُ وَطَائِفَةٌ مِّنَ الَّذينَ مَعَكَ واللهُ يُقدِّرُ الَّيْلَ والنَّهَارَ عَلِمَ أَن لَّنْ تُحْصُوهُ فَتَابَ عَلَيْكُمْ فَاقْرَؤُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ عَلِمَ أَنْ سَيَكُونُ مِنْكُم مَرْضَى وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الأرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللهِ وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ فَاقْرَؤُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ.
“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Quran. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Quran dan dirikanlah shalat.”[6]
Ayat ini tampaknya juga berkenaan dengan pembacaan al-Quran terutama dalam shalat, sebagaimana contoh pada ayat pertama.
- Allah SWT berfirman;
يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ * قُمِ الَّيْلَ إِلاَّ قَلِيلاً * نِصْفَهُ أَوِ انقُصْ مِنْهُ قَلِيلاً * أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلاً * إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلاً ثَقِيلاً * إِنَّ نَاشِئَةَ الَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْأً وَأَقْوَمُ قِيلاً * إِنَّ لَكَ فِي النَّهَارِ سَبْحاً طَوِيلاً.
“Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah al-Quran itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak).”[7]
Ayat-ayat ini tampaknya juga berkenaan dengan pembacaan al-Quran secara perlahan-lahan (tartil) dalam penunanian shalat malam. Sedangkan ayat ke-20 surat al-Muzzammil yang telah disebutkan sebelumnya tampaknya juga merupakan keringanan bagi Nabi saw dan para sahabatnya menyangkut pembacaan al-Quran yang disinggung dalam ayat itu dengan asumsi bahwa sebagian di antara mereka ada orang yang sakit. (Baca: Doa Imam Zainal Abidin ketika Sakit atau dalam Kesulitan)
Ayat-ayat suci ini terlihat sebagai petunjuk bagi salik dan merupakan penjelasan mengenai satu poin tarbiyah yang sangat penting. Yaitu bahwa seorang salik yang bergerak menuju Allah meskipun semua amalnya adalah ibadah dan bertujuan ilahiah, namun setiap hari dia tetap perlu meluangkan sebagian waktunya untuk bermunajat kepada Allah, bercengkrama denganNya, dan bertawajjuh dan hadir di hadapanNya dengan bentuk yang tersendiri dan berbeda dengan tawajjah yang ada pada umumnya di setiap amalan lainnya seperti jihad, amar makruf dan nahi munkar, aktivitas untuk kemaslahatan Islam dan umat Islam, kepedulian kepada kaum dhuafa dan fakir miskin, belajar dan menuntut ilmu yang bermanfaat, dan lain-lain yang semuanya juga merupakan ibadah dalam pengertiannya yang umum.
Dan sebaik-baik waktu untuk tarbiyah jiwa dan ruh ini ialah malam hari, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah; “Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan.”
Tak syak lagi bahwa semua amal perbuatan Rasulullah saw adalah ibadah. Tak ada satupun perbuatan beliau yang ditujukan untuk urusan duniawi semata. Semua waktu yang beliau gunakan adalah dalam rangka menunaikan perintah Allah berupa jihad, penuntunan umat kepada jalan yang lurus, perbaikan sosial, penyelesaian problematika umat, dan lain-lain. Betapapun demikian, Allah SWT ternyata berfirman kepada beliau; “Sesungguhnya kamu pada siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak).” Firman ini bukan dimaksudkan untuk menyatakan bahwa pekerjaan yang bersifat duniawi hendaknya ditempatkan di siang hari agar malam hari dapat dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk beribadah semata. Sebaliknya, firman ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa segala amal dan perbuatan, termasuk yang bersifat ibadah dalam pengertiannya yang general, hendaknya dijadwal pada siang hari supaya tengah malam dapat digunakan sebagai momentum ibadah dalam pengertiannya yang spesifik. (VIDEO: Kisah Imam Jafar Shadiq as. tentang Hamba yang Sibuk Beribadah)
Dengan demikian, jelaslah bahwa seorang salik tidaklah cukup dengan hanya mengandalkan ibadah dalam pengertiannya yang umum, melainkan juga perlu menyisihkan waktu terbaiknya, yaitu malam hari, untuk sebuah ibadah tersendiri dan spesifik berupa munajat kepada Allah SWT dan hadir di hadapanNya dengan khusyuk dan sepenuh jiwa.
Allah SWT berfirman;
وَمِنَ الَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَّكَ عَسَى أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَاماً مَّحْمُوداً.
“Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.”[8]
Dalam menafsirkan ayat ini para ulama menyebutkan bahwa Rasulullah saw diperintahkan supaya mendirikan shalat malam supaya dapat mencapai suatu jenjang dan kedudukan di mana beliau dapat memberikan syafaat kepada umatnya.[9]
[*]
Catatan:
[1] Bihar al-Anwar, jilid 92, hal. 200.
[2] QS. Al-Ankabut [29]: 45.
[3] QS. Al-A’raf ]7]: 204.
[4] Wasa’il al-Syi’ah, jilid 8, hal. 355, Bab 31 Tentang Shalat Jamah, Hadis 3.
[5] QS. Al-Isra’ [17]: 78.
[6] QS. Al-Muzzammil [73]: 20.
[7] QS. Al-Muzzammil [73]: 20.
[8] QS. Al-Isra’ [17]: 79.
[9] Lihat Tafsir Namuneh, jilid 12 hal. 224 – 225 dan 231 – 232.
Baca: Ahlul Bait, Pengawal Umat