Salah satu persoalan besar yang terus menjadi perbincangan di kalangan cendekiawan dan filsuf sejak dahulu kala adalah pertanyaan: apakah manusia benar-benar memiliki kebebasan dalam menentukan kehendak dan tindakannya, ataukah seluruh gerak hidupnya sudah ditentukan oleh kekuatan luar yang memaksanya? Pertanyaan ini menyentuh hakikat terdalam dari fitrah manusia dan menjadi bahan kontroversi abadi dalam sejarah pemikiran.
Apakah manusia bebas memilih jalan hidupnya, atau ia hanyalah makhluk yang dipaksa oleh faktor-faktor di luar dirinya — seperti takdir, naluri, atau hukum alam? Apakah kehendak manusia benar-benar otonom, atau sekadar bayangan dari kekuatan yang lebih besar? Pertanyaan ini tidak hanya bersifat filosofis, tetapi juga menyentuh akar persoalan moral, hukum, agama, dan tanggung jawab sosial manusia.
Makna Kehendak dan Tanggung Jawab
Masalah kehendak bebas dan determinisme tidak bisa diselesaikan hanya dengan penalaran rasional semata. Ia menuntut pandangan menyeluruh yang melibatkan aspek teologis, psikologis, dan bahkan ekonomi. Jika manusia tidak memiliki kehendak bebas, maka seluruh sistem hukum, moral, dan ganjaran—baik di dunia maupun di akhirat—kehilangan maknanya. Tidak ada dasar bagi pujian atau celaan, pahala atau hukuman.
Karena itu, persoalan ini menjadi sangat penting dalam pandangan Islam. Sejak awal kemunculan Islam, para ulama dan teolog Muslim memberi perhatian khusus terhadapnya. Sebab, ia bersentuhan langsung dengan konsep tauhid dan ‘adl—Keesaan dan Keadilan Ilahi. Jika manusia sama sekali tidak memiliki kebebasan, maka keadilan Tuhan akan tampak tidak bermakna. Sebaliknya, jika manusia bebas mutlak tanpa keterikatan pada kehendak Ilahi, maka tauhid akan ternodai oleh syirik dan dualisme.
Dua Pandangan yang Bertentangan
Dalam sejarah pemikiran Islam, persoalan ini membelah para pemikir menjadi dua kelompok besar:
- Kaum Determinis (Jabariyah) — yang menolak adanya kebebasan manusia. Mereka memandang seluruh tindakan manusia sebagai hasil langsung dari kehendak dan kekuasaan Allah. Manusia, menurut mereka, hanyalah wadah pelaksanaan kehendak Ilahi. Jika manusia dianggap bebas, maka kekuasaan Allah akan terbatas. Paham ini kemudian diwakili oleh mazhab teologi Asy‘ariyah.
- Kaum Qadariyah dan para pendukung Kehendak Bebas — yang menegaskan bahwa manusia memiliki kebebasan dalam tindakannya. Ia diberi akal dan daya untuk memilih, serta bertanggung jawab atas segala akibat dari pilihannya. Menolak kebebasan manusia berarti menolak nilai moral dan menghapus makna tanggung jawab.
Kedua pandangan ini, meski sama-sama berangkat dari keimanan kepada Tuhan, menghasilkan konsekuensi teologis dan sosial yang sangat berbeda.
Kritik terhadap Determinisme
Pandangan deterministik menimbulkan banyak kontradiksi. Jika semua tindakan manusia adalah hasil langsung dari kehendak Tuhan, maka manusia tidak dapat dipersalahkan atas dosa dan kejahatannya. Lebih jauh, konsep pahala dan siksa kehilangan dasar rasionalnya. Bagaimana mungkin Allah menghukum makhluk atas perbuatan yang dipaksakan kepadanya?
Al-Qur’an dengan tegas menolak ketidakadilan semacam itu. Allah berfirman:
“Kami akan memasang timbangan yang adil pada Hari Kiamat, dan tidak seorang pun akan dizalimi barang sedikit pun.”
(QS. Al-Anbiya: 47)
Dan lagi:
“Sesungguhnya Kami mengutus para rasul dengan bukti-bukti yang nyata dan menurunkan kepada mereka Kitab dan Mizan agar manusia menegakkan keadilan.”
(QS. Al-Hadid: 25)
Keadilan Ilahi menuntut adanya kehendak bebas manusia. Sebab hanya dengan kebebasan itulah manusia layak menerima ganjaran atas amalnya. Paham determinisme pada akhirnya menghapus seluruh makna risalah, syariat, dan misi para nabi. Jika manusia tidak memiliki pilihan, untuk apa Allah mengutus rasul, menurunkan kitab, dan menetapkan hukum?
Ilmu Allah dan Kebebasan Manusia
Sebagian orang berkeberatan: jika Allah mengetahui segala sesuatu sebelum terjadi, bukankah pengetahuan-Nya berarti manusia dipaksa untuk bertindak sesuai ketentuan-Nya?
Pemikiran ini keliru. Ilmu Allah memang mencakup segala sesuatu, tetapi pengetahuan tidak identik dengan paksaan. Seorang guru yang mengetahui muridnya akan gagal bukan berarti menyebabkan kegagalan itu. Begitu pula seorang mekanik yang tahu mobil akan mogok tidak berarti ia yang membuatnya rusak. Pengetahuan hanya mencerminkan fakta yang akan terjadi, bukan penyebab dari terjadinya.
Demikian pula ilmu Allah: Dia mengetahui bahwa manusia akan memilih perbuatan tertentu melalui kehendaknya sendiri. Maka pengetahuan-Nya tidak menghapus kebebasan manusia, melainkan menyertai hukum sebab-akibat yang menjadi sunnatullah dalam penciptaan.
Determinisme dan Penindasan
Salah satu bahaya besar dari determinisme adalah penggunaannya sebagai alat legitimasi penindasan. Dalam sejarah, banyak tiran dan penguasa zalim yang menggunakan konsep takdir untuk membenarkan kekejamannya. Mereka berkata: “Semua ini adalah kehendak Allah; kami hanya menjalankan perintah-Nya.” Dengan dalih ini, mereka menolak tanggung jawab atas darah dan kejahatan yang mereka tumpahkan.
Tragedi Karbala memberikan contoh paling nyata. Ketika keluarga Imam Husain as dibawa ke hadapan Ibn Ziyad, ia berkata dengan angkuh kepada Sayyidah Zainab as, “Lihatlah apa yang Allah lakukan kepada saudaramu.”
Dengan penuh keteguhan Zainab as. menjawab: “Aku tidak melihat dari Allah kecuali kebaikan.”
Jawaban ini mengguncang seluruh logika jabariyah: bahwa penderitaan bukanlah bukti kehendak zalim Tuhan, tetapi panggilan kesadaran dan ujian untuk menegakkan keadilan.
Kehendak Bebas dan Revolusi Spiritual
Islam menolak kedua ekstrem: tidak menerima paham determinisme mutlak yang menghapus tanggung jawab, dan tidak pula menerima kebebasan mutlak yang meniadakan peran Ilahi. Islam menegaskan keseimbangan antara qadar dan ikhtiar: bahwa Allah menentukan hukum-hukum alam dan moral, tetapi manusia diberi ruang untuk memilih di dalamnya.
Al-Qur’an berkata:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
(QS. Ar-Ra’d: 11)
Ayat ini menunjukkan bahwa perubahan sosial dan spiritual bergantung pada kehendak manusia sendiri. Tidak ada masyarakat yang binasa kecuali karena dosa dan perbuatannya sendiri.
Allah berfirman pula:
“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu agar menaati Allah, tetapi mereka berbuat durhaka; maka Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.”
(QS. Al-Isra: 16)
Kebebasan kehendak manusia inilah yang menjadikan sejarah bermakna. Manusia bukan boneka sejarah, melainkan pelaku aktif yang menentukan arah masa depannya.
Kebebasan, Moral, dan Nilai Kemanusiaan
Tanpa kebebasan, tidak ada moralitas. Nilai-nilai hanya lahir ketika manusia mampu memilih antara kebaikan dan kejahatan. Bila manusia bergerak semata-mata karena dorongan materi atau hukum alam, maka tidak ada bedanya ia dengan mesin atau hewan.
Namun kebebasan bukan berarti tanpa batas. Islam memandang kebebasan sejati adalah ketika manusia mampu membebaskan diri dari perbudakan hawa nafsu dan tunduk kepada kehendak Ilahi. Imam Ali as berkata:
“Janganlah engkau menjadi budak bagi orang lain, karena Allah telah menciptakanmu sebagai makhluk yang merdeka.”
Kebebasan dalam Islam bukan sekadar kebebasan memilih, tetapi kebebasan untuk memilih kebenaran. Ia adalah dasar bagi perjuangan melawan kezaliman, seperti yang ditunjukkan Imam Husain as di Karbala—bahwa manusia tidak diciptakan untuk tunduk pada tirani, melainkan untuk menegakkan keadilan dan menolak kehinaan.
Jalan Tengah Keadilan
Mazhab Ahlulbait as menawarkan solusi teologis yang rasional dan adil: manusia bebas dalam batas-batas hukum Ilahi. Allah menciptakan sistem sebab-akibat — baik di alam fisik maupun moral — dan manusia diberi kemampuan untuk memilih jalannya di dalam sistem itu.
Kebebasan manusia tidak menghapus kekuasaan Allah, karena segala pilihan hanya mungkin terlaksana dengan izin-Nya. Sebaliknya, kekuasaan Allah tidak meniadakan kebebasan manusia, karena kehendak-Nya menetapkan agar manusia memilih dengan kesadarannya.
Imam Shadiq as. menjelaskan:
“Tidak ada paksaan dan tidak ada kebebasan mutlak; melainkan urusan di antara keduanya.”
(Al-Kafi, Juz 1, hlm. 160)
Inilah jalan tengah keadilan yang menyatukan tauhid dan tanggung jawab.
Kebebasan dalam Islam bukanlah kebebasan tanpa arah. Ia adalah kebebasan yang berlandaskan kesadaran moral dan spiritual. Seseorang yang diperbudak oleh hawa nafsunya, meskipun bebas secara hukum, sejatinya tetap terbelenggu. Imam Ali as berkata:
“Orang yang diperbudak oleh syahwatnya lebih hina daripada budak yang dipegang oleh tuannya.”
Maka, kebebasan sejati adalah kemampuan mengendalikan diri dan tunduk kepada kehendak Ilahi. Inilah kebebasan yang melahirkan keberanian Imam Husain as untuk berkata di hadapan pasukan Yazid:
“Aku tidak bangkit karena ambisi atau kesombongan, melainkan untuk menegakkan agama kakekku dan memperbaiki umatnya.”
Itulah puncak kehendak bebas: memilih kebenaran meski harus dibayar dengan darah.
Kebebasan yang Menegakkan Keadilan
Jalan tengah yang diajarkan Ahlulbait as. bukanlah kompromi antara dua ekstrem, melainkan penyempurnaan keduanya. Ia menegaskan bahwa kebebasan adalah rahmat Ilahi dan ujian terbesar manusia. Melalui kebebasan itu, manusia menjadi khalifah Tuhan di bumi, penggerak sejarah, dan penjaga keadilan.
Kehendak bebas bukan untuk menantang Tuhan, melainkan untuk menegakkan kehendak-Nya dengan sadar. Ia adalah sarana menuju kesempurnaan, bukan pemberontakan terhadap takdir. Dan dengan kesadaran inilah manusia membangun dunia yang adil, merdeka, dan bermartabat — dunia yang mencerminkan cahaya keadilan Ilahi di bumi.
Disarikan dari buku karya Mujtaba Musawi Lari – Keadilan Allah Qada dan Qadar Manusia