Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Pemikiran Imam Ali a.s. Mengenai Hak Asasi Manusia

Mengenai hak-hak asasi manusia dan tujuan utama yang didambakan oleh masyarakat, Imam Ali a.s. mempunyai prinsip-prinsip pemikiran yang senantiasa berkembang dari zaman ke zaman. Ilmu-ilmu sosial yang kita kenal di dalam zaman modern sekarang ini, pada hakikatnya hanya membenarkan dan memperkuat prinsip-prinsip pemikiran tersebut, sekalipun ilmu sosial zaman modern itu terpulas dengan berbagai corak dan warna.

Dalam sejarah hak-hak asasi manusia, Imam Ali a.s. telah memberikan sumbangan dan pemikiran-pemikiran yang banyak kaitannya dengan perkembangan masyarakat Islam pada zamannya, yaitu perkembangan yang berkisar di sekitar poros perjuangan menghapuskan penindasan, perbedaan kasta dan lapisan di dalam masyarakat.

Barang siapa yang mengenal siapa sesungguhnya Imam Ali bin Abi Thalib a.s. dan mengenal sikap serta pendiriannya dalam menghadapi masalah-masalah kemasyarakatan, ia tentu memandangnya sebagai pedang yang berada di atas leher kaum penindas dan kaum durhaka. Selaku Amirul-Mukminin, ia berupaya sekeras-kerasnya untuk menegakkan keadilan sosial dengan segala sarana yang dimilikinya, baik yang berupa pemikiran maupun perangkat pemerintahan dan kebijaksanaan politik yang dijalankannya. Ia bersikap dan bertindak tegas terhadap siapa saja yang memperkosa hak-hak umum kaum muslim, merendahkan dan menginjak-injak hak masyarakat dan setiap upaya yang hendak menempatkan kepentingan orang-orang tertentu di atas kepentingan kaum yang lemah.

Baca: Keutamaan-keutamaan Imam Ali a.s. Tidak Akan Pernah Dapat Tertutupi

Pemikiran Imam Ali a.s. mengenai keadilan sosial bertumpu pada kewajiban menjaga dan melindungi hak-hak masyarakat yang hanya dapat diwujudkan dengan jalan melenyapkan ketimpangan sosial yang sangat mencolok antara kaum kaya dan penguasa dengan kaum miskin dan lemah. Suara Imam Ali dalam menegakkan keadilan sosial menggema dan mengumandang sepanjang masa, perjuangannya membela nilai-nilai manusia menggelora di mana-mana, dan dalam hal itu ia tidak kenal basa-basi dan tidak kenal kompromi. Dalam menjalankan pemerintahannya, ia memberi teladan kepada setiap penguasa yang menyadari betapa tinggi nilai hak-hak asasi manusia yang wajib dihargai dan dihormati.

Dengan pemikirannya yang tajam dan cemerlang Imam Ali dapat melihat dengan jelas kenyataan masyarakat pada zamannya. Ia mengetahui landasan apa yang digunakan oleh sementara orang dalam upayanya mengecoh dan menipu masyarakat. Kemudian ia berpikir bagaimana ia harus berbuat dan sejauh manakah keadaan mengizinkan untuk berbuat mengembangkan masyarakatnya ke arah yang baik dan adil. Bukanlah atas kemauannya sendiri kalau ia lebih banyak menghabiskan masa kekhalifahannya untuk menegakkan keadilan, melainkan atas dorongan keadaan yang mengharuskannya lebih sibuk menangani masalah itu. Tidak ada yang paling didambakan Imam Ali kecuali perjuangan menegakkan keadilan dan kebenaran serta menghapuskan kemungkaran dan kebatilan.

Dalam hal itu, sikapnya tidak pernah goyah. Ia tidak pernah bersikap ragu-ragu dalam menghadapi ulah sementara pejabat pemerintahannya di daerah-daerah yang menggunakan kekuasaan untuk bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat, terutama mereka yang tergolong kaum lemah. Dalam upayanya menjamin terpeliharanya hak-hak asasi manusia di dalam kehidupan, ia tidak mau melihat masyarakatnya terpecah menjadi dua golongan, yaitu golongan terbanyak atau kaum muslim awam yang hidup sengsara terlunta-lunta, dan golongan kecil yang hidup dalam kemewahan.

Dengan pemikiran yang tajam Imam Ali dapat melihat kenyataan bahwa masyarakat yang terbagi-bagi dalam lapisan-lapisan sosial berdasarkan perbedaan kondisi kebendaan (material) tidak bisa lain pasti mengarah kepada perkembangan yang buruk seperti kebekuan pikiran dan kerusakan mental, perbuatan sewenang-wenang, kejahatan, keberanian bertindak melawan hukum dan kemerosotan moral. Kerusakan berskala luas itu adalah akibat dari perbuatan pihak-pihak yang serakah mengejar kedudukan, kehormatan dan kekayaan. Bahkan lebih jauh lagi, kerusakan itu mengakibatkan timbulnya keadaan yang lebih buruk, antara lain perasaan yang meremehkan hidup dan kehidupan prasangka buruk di antara sesama warga masyarakat, benci-membenci dan iri hati di kalangan sebagian besar masyarakat yang tidak dapat menikmati hasil jerih-payahnya sendiri.

Masyarakat yang dilanda kerusakan seperti itu tidak bisa lain pasti berakhir dengan kehancuran. Dua lapisan masyarakat yang berlawanan itu tak ubahnya seperti dua rahang yang saling bertumbuk, mengunyah, dan menghancurkan semua yang berada di dalam mulut. Pada masa sebelum kekhalifahannya, muncullah kaum aristokrat dan beroleh sandaran yang cukup kuat, khususnya mereka yang berasal dari Bani Umayyah. Banyak di antara mereka yang dalam menuntut keadilan dan kesamaan hak berbuat menyimpang jauh dari cara-cara yang telah ditetapkan agama Islam.

Mereka meremehkan dan memandang rendah rakyat awam dan menakut-nakutinya dengan kekuasaan yang berada dalam genggaman mereka. Untuk memperoleh kepentingan yang diinginkan, mereka tidak segan-segan memperkosa hak-hak rakyat dan kaum muslim awam, bahkan bila perlu mereka tanpa malu-malu bersedia menerima suap dan sogok. Dengan berbagai cara dan jalan, mereka berusaha sekuat tenaga-tanpa menghiraukan betapa banyak darah yang tertumpah dan mengubah kekhalifahan menjadi kerajaan, mengubah demokrasi Islam menjadi sistem tirani yang bersandar pada kekuasaan perseorangan (otokrasi).

Pada akhirnya terjadilah benturan hebat antara kekerasan tekad Imam Ali dalam membela dan menegakkan prinsip keadilan sosial, di satu pihak, dengan ambisi mereka merebut kekuasaan, kepemimpinan dan kekayaan negara, di lain pihak. Mereka berspekulasi menunggu-nunggu datangnya kejutan peristiwa yang akan mendatang kan keuntungan besar bagi mereka. Setelah mereka menemukan jalan untuk dapat mencapai ambisinya dan menemukan cara untuk merobohkan keadilan sosial guna menegakkan kekuasaan dan sistem kemasyarakatan yang paganis (bersifat keberhalaan), Imam Ali dihadapkan pada cobaan (eksperimen) yang amat keras dan kasar  hingga semua unsur kejahatan, kebengisan, sadisme dan tipu daya bertumpuk menjadi satu di hadapannya.

Semuanya dihadapkan kepada Imam Ali sebagai kesulitan yang tidak mudah diatasi. Sukar pula baginya untuk dapat keluar dari lingkaran krisis dalam suasana yang penuh dengan keguncangan, kekacauan, keresahan dan berbagai kejadian yang mengerikan. Keadaan telah menjadi demikian membahayakan kekhalifahan dan Islam, yang kedua-duanya mewajibkan manusia supaya menghayati akhlak yang mulia dan menegakkan keadilan sosial. Betapa pun sukarnya keadaan yang dihadapi, Imam Ali a.s. tetap gigih menunaikan kewajibannya untuk melindungi hak-hak rakyatnya. Dengan tabah dan sabar ia tetap bertekad menanamkan keutamaan di kalangan rakyat dan masyarakatnya.

Cobaan yang dihadapi Imam Ali hampir serupa dengan cobaan yang pernah dihadapi oleh Rasulullah Saw dalam perjuangan beliau menegakkan kebenaran dan keadilan menghadapi berbagai macam corak manusia jahiliyah yang terbiasa hidup serba curang, sombong, serakah, onar dan bentuk-bentuk kejahatan lainnya, Imam Ali sungguh benar-benar menghadapi cobaan yang teramat berat. Namun bagi Imam Ali, hal itu tidak dirasakannya sebagai kendala (rintangan) yang dapat memaksanya harus mundur. Sejengkal pun ia tidak bergeser dari sikap dan tekad perjuangannya.

Bagi Imam Ali, cobaan yang dirasa amat berat ialah kalau ia tidak dapat menyebarkan rasa keadilan dan semangat kebebasan di kalangan rakyatnya, atau jika tidak dapat menanamkan keutamaan akhlak dan semangat perjuangan untuk melindungi serta membela kebebasan, kebenaran, dan keadilan sebagaimana yang diwajibkan agama Islam kepada setiap pemeluknya.

Dahulu, suara Rasulullah Saw memang memekakkan telinga Abu Sufyan, telinga Abu Lahab, dan memekakkan telinga hartawan-hartawan musyrikin Quraisy. Suara dakwah beliau mereka rasakan sebagai guruh dan petir yang menyambar dan memorak-porandakan rumah-rumah pemukiman mereka. Akan tetapi sebaliknya, bagi penduduk Mekah yang miskin dan lemah, bagi manusia-manusia yang hidup dibelenggu rantai perbudakan dan kaum sengsara lainnya, suara dakwah beliau Saw itu mereka rasakan sebagai udara sejuk yang mendatangkan kesegaran dan kenikmatan.

Baca: Sosok Imam Ali bin Abi Thalib a.s. dalam Pandangan Sejarah

Adapun cobaan yang dihadapi Imam Ali a.s. ialah persoalan yang terjadi antara dirinya dan diri anak lelaki Abu Sufyan, Muawiyah, yang dilahirkan oleh perempuan sadis pengunyah hati jenazah paman Rasulullah Saw, Hamzah bin Abdul Muthalib. Selain Muawiyah, masih ada lagi yang harus dihadapi Imam Ali, yaitu Marwan bin al-Hakam, tokoh-tokoh yang berambisi kekuasaan, orang-orang yang bertawar-menawar mengenai akidah serta pendirian, dan beratus-ratus ribu tentara bayaran pendukung Muawiyah. Suara Imam yang mengumandangkan kebenaran dan keadilan memekakkan telinga mereka semua, bahkan mereka rasakan juga sebagai gempa bumi yang menghancurkan rumah-rumah permukiman mereka. Akan tetapi, sebaliknya, bagi kaum lemah, kaum yang hidup sengsara dan teraniaya, suara Imam Ali mereka rasakan sebagai tiupan angin sejuk yang segar dan nikmat.

Apakah yang diserukan Imam Ali ? Ia berkata: “Orang-orang dari lapisan bawah kalian adalah lebih tinggi daripada kalian, dan orang-orang dari lapisan atas kalian adalah lebih rendah daripada kalian. Aku tidak memerintah secara zalim. Demi Allah, aku akan menjamin keadilan bagi orang yang teraniaya untuk menuntut balas terhadap orang yang menganiaya orang yang berlaku zalim akan kucucuk hidungnya dan akan kugiring sampai ia mau menerima kebenaran sekalipun ia tidak menyukainya! Demi Allah, aku wajib mengakui kebenaran sebelum aku mati membela kebenaran! Demi Allah, aku tidak peduli apakah demi kebenaran itu orang akan mati atau aku sendiri yang mati!” (Nahjul Balaghah)

Pada suatu hari ada seorang menepuk dada sambil berkata kepada Imam: “Aku ini termasuk orang yang mulia di kalangan kaumku…!” Tanpa basa-basi Imam Ali menjawab tegas: “Orang yang rendah akan kupandang mulia jika ia berada di atas kebenaran, dan orang yang kuat akan kupandang lemah jika ia tidak berada di atas kebenaran.”

*Disarikan dari buku Imamul Muhtadin – Hamid al-Husaini

No comments

LEAVE A COMMENT