Islam memiliki cara untuk menyembuhkan orang-orang yang berdosa, dan menetapkan patokan-patokan yang lazim bagi penyembuhan ini. Demi menjaga kebersihan lingkungan sosial dalam melakukan penyembuhan tersebut, Islam melarang menghinakan seseorang karena dosa yang dilakukannya. Dari Imam Jakfar Shadiq a.s. diriwayatkan: “Jika terjadi penghinaan antara kamu dan saudaramu, maka janganlah engkau menghinanya karena dosa yang telah dilakukannya.” (al-Mustadrak, 2/105)
Diriwayatkan dari Rasulullah Saw bahwa beliau bersabda: “Jika pembantu salah seorang di antara kamu melakukan perzinaan, maka hendaklah dia dihukum cambuk sesuai dengan ketentuannya, dan janganlah dia dipermalukan.” (Majmu’ah wa Rama, 1/58)
Islam mengharuskan kita berhati-hati dalam memberikan reaksi terhadap penghinaan dan tindakan yang mempermalukan kita. Imam Ali a.s. mengatakan: “Sikap berlebihan dalam penghinaan malah akan membakar api yang menyala.” (Tuhaf aI-‘Uqul, hal. 8)
Imam Ali a.s. juga mengatakan: “Jauhilah sikap yang sering kali menghina, karena sesungguhnya hal itu akan mempermudah berbuat dosa dan menghina orang lain.” (Ghurar aI-Hikam, hal. 278)
Baca: Dosa yang Menyebabkan Kekafiran
Sesungguhnya sikap untuk tidak mencela dan menghina orang-orang yang suka berbuat dosa bukan berarti menghilangkan batas-batas yang perlu dijaga antara orang-orang yang berdosa dan anggota masyarakat. Batas pemisah itu mesti tetap ada tanpa harus menyebarkan permusuhan dengan mereka. Oleh karena itu, Islam sangat menganjurkan agar seorang Muslim menciptakan perisai diri yang mampu membentengi dirinya dari penularan penyakit-penyakit jiwa dan pencemaran moral dari orang lain.
Imam Ali a.s. berkata: “Seorang Muslim tidak perlu menjalin tali persaudaraan dengan orang-orang yang berbuat keji, karena hal itu seakan-akan membuat legal apa yang dilakukan oleh orang tersebut, dan tampak bahwa dia menyukai perbuatan itu. Dia juga tidak boleh membantu urusan dunia dan akhiratnya. Keluar-masuknya orang Muslim dari orang tersebut akan menjadi hiasan baginya.” (Wasa’il aI-Syi’ah, 2/269-270)
Untuk menciptakan perisai diri dalam diri orang Muslim agar terjaga dari penyakit-penyakit jiwa orang-orang yang berdosa itu, diciptakan dalam diri orang-orang Mukmin suasana jiwa yang dapat menjauhkan dari dosa dan para pelakunya. Imam Jakfar Shadiq meriwayatkan dari kakeknya, Amirul Mukminin a.s. yang mengatakan: “Rasulullah Saw memerintahkan kami untuk menemui para ahli maksiat dengan wajah cemberut [mukafharah].” (al-Kafi, 5/58-59)
Diriwayatkan Rasulullah Saw yang mulia juga bersabda: “Agama seseorang itu tergantung kepada sahabat dan kawan-kawannya.” (al-Kafi, 4/83)
Diriwayatkan dari Imam Jakfar Shadiq a.s. berkata: “Tingkat rasa ketidaksenangan yang paling rendah ialah menemui orang-orang yang suka berbuat maksiat dengan wajah angker.” (aI-Tahdzib, 6/176)
Orang yang berdosa itu sakit, dan sebenarnya dosa itu hanya keluar dari jiwa yang sakit, dan masih bisa disembuhkan. Sekarang, mengapa Islam menetapkan ketentuan-ketentuan hukum (hudud), dan pengucilan (ta’zir) bagi orang-orang yang melakukan dosa di dunia; di samping itu Islam juga memberikan ancaman bagi mereka dengan azab yang pedih di akhirat nanti? Apakah orang yang sakit itu tercela?
Jawabnya adalah bahwa sanksi di dunia dan di akhirat tetap diterapkan kepada orang-orang yang berbuat dosa, karena mereka memiliki kemampuan untuk menyembuhkan diri mereka sendiri. Pendosa mampu, pada saat tertentu, untuk mengambil keputusan yang pasti untuk mengubah dirinya, dan menyelamatkannya dari penyakit yang sedang dideritanya.
Penyakit-penyakit yang menimpa fisik seseorang berbeda dengan penyakit jiwa, karena penyakit fisik menyerang si sakit tanpa kehendak orang tersebut, dan untuk menyembuhkannya mesti ada upaya dari luar orang yang sakit. Dia harus meminum obat dan mengatur makanan tertentu, dan konsultasi ke dokter. Adapun penyakit jiwa lebih disebabkan keinginan dan kemauan manusia itu sendiri, dan dengan demikian, dia pun bisa melakukan penyembuhan dengan keinginannya itu.
Manusia pendosa melakukan dosanya dengan kemauannya sendiri. Dia tidak memedulikan petunjuk Allah, petunjuk akal dan agamanya. Dia memang memilih jalan kesesatan. Di hadapannya terbentang dua jalan, dan bukan hanya satu jalan saja. Dia bisa saja ingkar nikmat, meskipun ada kemungkinan dalam dirinya untuk menjadi orang yang mensyukuri nikmat itu.
Dengan kemauan yang diberikan oleh Allah, dia bisa menyembuhkan dirinya sendiri. Akan tetapi, bila dia enggan memanfaatkan karunia Ilahi itu, maka dia akan dikenai sanksi. Dalam sebuah hadis yang berasal dari Imam Jakfar Shadiq a.s. dijelaskan mengenai kemampuan manusia untuk menyembuhkan dirinya sendiri. Beliau mengatakan: “Jadikanlah nafsumu sebagai musuh yang harus engkau perangi, dan penyakit yang harus disingkirkan. Engkau telah diciptakan sebagai dokter atas dirimu sendiri. Engkau juga diberi tahu tentang tanda-tanda kesehatan. Dijelaskan pula kepadamu tentang penyakit, serta obatnya….” (Tuhaf aI-‘Uqul, hal. 304-305)
Dalam salah satu khotbahnya yang dimuat di Nahj Al-Balaghah, Imam Ali a.s. mengatakan: “Wahai manusia, apa yang mendorongmu melakukan dosa, apa yang memperdayakanmu untuk berbuat durhaka kepada Tuhanmu, dan apa yang membuatmu melakukan kerusakan? Tidak adakah masa kesembuhan dari penyakitmu, dan tidak adakah keterjagaan dari keterlenaanmu…. Obatilah kekosongan hatimu dengan kekuatan diri, obatilah kelalaianmu dengan kewaspadaan.” (Nahj al-Balaghah, hal. 699)
Juga ada ucapan yang dinisbahkan kepadanya sebagai berikut: “Obatmu ada di dalam dirimu tetapi kamu tidak melihatnya. Dan penyakitmu sebenarnya berasal dari dirimu sendiri tetapi kamu tidak pernah merasakannya.”
Sesungguhnya karunia Allah yang paling besar buat manusia adalah kemauan untuk melakukan ikhtiar. Dengan kehendaknya dia dapat mengendalikan syahwatnya, dan berjalan di atas jalan yang telah ditentukan oleh agama. Dan bahaya yang paling mengancam kemauan itu adalah kepercayaan untuk menyerahkan diri sepenuhnya kepada takdir. Yaitu bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan hidup manusia ini telah digariskan sedemikian rupa sehingga manusia tidak perlu melakukan upaya apa-apa lagi. Rasulullah Saw memperingatkan keterperosokan manusia dalam keyakinan seperti itu.
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, dari Nabi Saw bersabda: “Pada akhir zaman nanti ada suatu kaum yang melakukan kemaksiatan dan mengatakan bahwa sesungguhnya Allah Swt telah menakdirkan diri mereka seperti itu. Orang-orang yang menolak mereka kedudukannya sama dengan orang yang menghunus pedangnya untuk berjuang di jalan Allah.” (al-Bihar, 5/47)
Teori Jabariyah ini seringkali diulang-ulang oleh orang-orang yang berupaya melepaskan diri mereka dari tanggung jawab. Mereka sengaja menciptakan berbagai alasan bagi kejahatan-kejahatan yang mereka lakukan. Kita sepenuhnya memiliki kehendak untuk melakukan sesuatu atau meninggalkannya.
Baca: Dosa Besar dalam Perspektif Imam Khomeini
Sesungguhnya, di antara salah satu hal yang menunjukkan bahwa manusia memiliki hak berupaya melakukan sesuatu, adalah perasaan dalam dirinya bahwa dia mampu memberikan pertolongan kepada dirinya ketika dia meninggalkan dosa, dan rasa penyesalannya yang dalam tatkala dia telah melakukan dosa. Dan itulah sebenarnya hakikat menghentikan dosa menurut para ulama, yang pada gilirannya orang itu memperoleh hasil yang baik. Sesungguhnya orang yang berakhlak adalah orang yang menguasai jati dirinya, tatkala dia menganggap bahwa hawa nafsunya adalah anak kecil yang ada dalam dirinya.
Selamanya manusia hanya berada di dua jalan; antara berada di jalan kesesatan dan kehancuran, yaitu berkubang dalam lumpur hawa nafsu; dan berada di jalan kesempurnaan dan kebahagiaan yang hakiki. Di antara manusia ada yang tergelincir ke dalam kehidupan yang hambar, dan ada pula yang berhasil lolos dari hawa nafsu yang hina dina.
*Disarikan dari buku Akibat Dosa, Makna dan Pengaruhnya atas Kehidupan Manusia – Sayyid Hasyim Rasuli aI-Mahallati