Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Tauhid dalam Penjelasan Imam Khomeini (3)

Dari penjelasan Imam Khomeini tentang tauhid, didapati dua faktor penghalang dalam perenungan atau tafakur tentang Dzat Allah, nama-nama dan sifat-sifat-Nya:

1-Kebodohan; bahwa orang bodoh kadang berasumsi bahwa tafakur tentang Dzat-Nya adalah larangan menurut hadis-hadis. Padahal, tafakur yang dilarang itu adalah penelitian dan pembentukan terhadap Dzat Allah. Berdasarkan hadis: “Renungilah ciptaan Allah, dan jangan merenungi Allah! Sesungguhnya kamu tidak akan mampu menakar Dia.”

2-Hal tidak memenuhi syarat; bagi orang demikian tidak diperkenankan memasuki sebagian pengetahuan (pendalaman ma’rifat) yang memuat premis-premis terperinci.

Hukama (para filosof Islam) juga sepakat atas dua hal tersebut. Bahwa, penelitian Dzat Allah adalah mustahil, berdasarkan argumen dalam kitab-kitab mereka. Larangan tafakur semacam ini adalah jelas bagi kita semua. (Baca: Doa Imam Ja’far Shadiq Untuk Memudahkan Urusan)

Hal memasuki ma’rifat (yang memuat premis-premis detail) ini memerlukan kelayakan. Masalah ini diterangkan di dalam kitab-kitab mereka, seperti Ibnu Sina dalam “al-Isyarat” dan Mulla Shadra dalam “al-Asfar”, di bagian akhir dua kitab ini. Pesannya, bahwa mempelajari ma’rifat tersebut bagi orang yang mempunyai kelayakan (tidak memenuhi syarat) adalah hal yang terlarang.

Pengkajian dalam Mengukuhkan Eksistensi-Nya

Adapun mengkaji tentang Dzat Allah dalam arti mengukuhkan wujud-Nya, mengesakan dan mensucikan Dia adalah tujuan dari pengutusan para nabi, dan yang didambakan kaum ‘arif. Alquran dan hadis-hadis memuat banyak pelajaran ilmu tentang Dzat Allah, sifat-sifat kesempurnaan dan nama-nama-Nya.

Kitab-kitab hadis seperti al-Kafi, Tauhid Syaikh Shaduq dan lainnya membicarakan secara dalam tentang pengukuhan Dzat Allah, nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Perbedaan antara hadis-hadis dari para nabi dan kitab-kitab para filosof hanyalah soal istilah, kiasan dan perincian saja. Adalah seperti perbedaan antara fikih dan hadis-hadis khusus terkait fikih, tidak dalam makna. (Baca: Fenomena Gagal Paham tentang Islam – 2)

Sebuah musibah di sana, orang-orang bodoh, tidak mengerti Alquran dan Sunnah tapi berbaju ulama. Di masa-masa belakangan, mereka tampil (di tengah masyarakat) tanpa pandangan yang benar, tanpa sandaran pada tolok ukur yang benar, atau tanpa pengetahuan Alquran dan Sunnah. Mereka jadikan karangan mereka sendiri sebagai sebuah dalil atas kebatilan ilmu tentang Mabda` dan Ma’ad (Kausa Prima dan Hari Akhir).

Mereka seperti menggelar “dagangan” mereka dengan mengharamkan pengkajian ma’rifat yang menjadi tujuan Para nabi dan imam (as), dan yang dimuat di dalam Alquran dan hadis-hadis Ahlulbait as. Lalu tanpa merasa beban, mereka melemparkan cacian dan tuduhan kepada para ahli ma’rifat, dengan mengatakan bahwa kalbu-kalbu para hamba Allah telah menyimpang dari ilmu tentang Mabda dan Ma’ad.

Sesungguhnya mereka itu menjadi penyebab pemecah persatuan dan barisan muslimin. Sekiranya ada yang bertanya, “Mengapa harus dengan mengkafirkan?” Jawaban dari mereka, “Jangan tafakur tentang Dzat Allah!”

Orang bodoh itu telah melakukan kesalahan, dan ada dua hal (yang kurang) baginya, ialah bahwa:

1-Ia kira hukama` melakukan perenungan tentang Dzat Allah. Padahal mereka memandang bahwa tafakur tentang Dzat-Nya dalam arti meneliti (untuk menjangkau)nya itu dilarang, dan hal ini adalah bagian dari permasalahan yang dibuktikan dengan argumen di dalam ilmu terkait.

2-Ia tidak paham makna hadisnya itu, lalu mengira bahwa bagaimanapun pembicaraan tentang Dzat Allah, secara mutlak tidak dibolehkan.

Larangan dan Anjuran Hadis-hadis Tafakur

Di sana terdapat beberapa hadis terkait, yang kami rangkum dengan sikap bijak yang menjadi penengahnya. Di dalam al-Kafi riwayat dari Abu Bashir bahwa Abu Ja’far (Imam Baqir as) berkata: “Bicaralah tentang ciptaan Allah. Jangan bicara tentang Allah! Karena pembicaraan tentang-Nya tidak menambah sesuatu bagi si pembicara kecuali kebingungan.” (Baca: Pro dan Kontra Akal dalam Berakidah)

Maksud dari hadis itu ialah bahwa berbicara tentang pendalaman atau penelitian Dzat Allah (sampai pada bagaimana bentuknya) dan dalam pencarian sebab bagi-Nya. Jika tidak demikian maknanya, maka ada dua kemungkinan:

1-Pembicaraan dalam mengukuhkan Dzat Allah, sifat-sifat kesempurnaan-Nya, mengesakan dan mensucikan-Nya tidaklah menyebabkan kebingungan.

2-Larangan dari hadis tersebut ditujukan kepada orang-orang yang membicarakan perkara-perkara semacam itu yang menjadikan mereka kebingungan.

Allamah Majlisi memberikan dua kemungkinan tersebut tanpa sebuah keterangan darinya. Tetapi kemungkinan yang terkuat adalah yang pertama.

Imam Ja’far as: “Jauhilah tafakur tentang Allah. Namun jika kamu ingin melihat keagungan-Nya lihatlah pada keagungan ciptaan-Nya.” (Baca: Doa Imam Ja’far as-Shadiq as. di Pagi dan Sore Hari)

Yang tampak bahwa hadis ini mengisyaratkan pada tafakur tentang (bagaimana) hakikat Dzat Allah. Bagian akhir dari hadis tersebut, maksudnya ialah berargumen melalui keagungan makhluk atas keagungan Sang Khalik. Ini sebagai contoh bagi semua orang dengan berbagai tingkat keilmuan, dan mereka dapat mencapai ma’rifat melalui makhluk.

Di sana selain hadis-hadis di atas, terdapat hadis-hadis terkait yang menganjurkan masalah ini, di antaranya:

Dari Imam Shadiq as: “Sebaik-baik ibadah adalah tafakur tentang Allah dan tentang kuasa-Nya.”

Imam Sajjad pernah ditanya tentang tauhid, lalu beliau menjawab: “Sesungguhnya Allah mengetahui bahwa akan ada di akhir zaman, kaum-kaum yang melakukan pengkajian yang dalam. Karena itu Allah swt berfirman: “Qul huwallahu ahad..” dan ayat-ayat dari surat al-Hadid sampai pada firman-Nya:

وَ هُوَ عَليمٌ بِذاتِ الصُّدُورِ

“Dan Dia Maha Mengetahui segala isi hati.” Maka siapa saja yang menghendaki lebih dari itu niscaya binasa.

Referensi: At-Tauhid fi Kalam al-Imam al-Khumaini

Baca: “Ibuku Seorang Nasrani, Ya Imam!

 

No comments

LEAVE A COMMENT