Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Teologi Kemerdekaan

Teologi, Kemerdekaan

Dirgahayu Kemerdekaan Indonesia, bangsa kita meneriakkan kata Merdeka! Apa arti merdeka? Di KBBI disebutkan, artinya yang pertama adalah bebas dari perhambaan, penjajahan dan sebagainya. Perhambaan sinonim perbudakan, yang berarti terkait dan bertentangan dengan kemanusiaan. Sekiranya dapat dikaitkan dengan ketuhanan, bisa berarti penghambaan kepada Tuhan. Jika demikian, maka tak seorang pun yang merdeka dari penghambaan ini. “Ketidakmerdekaan” ini dalam agama merupakan fitrah setiap manusia.

Terkecuali kaum atheis; fitrah mereka mengalami gangguan, merasa bebas dari penghambaan kepada Tuhan. Karena, mereka tak percaya Tuhan, dan ketidakpercayaan mereka ini berdasarkan materialisme yang mereka yakini. Bahwa, adanya sesuatu bagi mereka ditentukan oleh panca indera, dan semua yang inderawi adalah materi. Sementara jangkauan indera manusia sangat terbatas, obyeknya, yaitu materi, pun terbatas oleh ruang dan waktu.

Semua materi mengalami perubahan, yang berarti baru, dan semua yang baru sifatnya bergantung pada yang lain, yang istilah filosofisnya disebut imkân (posibel). Sesuatu yang adanya bergantung pada dirinya sendiri -dengan ataupun tanpa perantara- maka berarti daur. Atau bergantung pada sebab yang juga bergantung pada sebab lain dan seterusnya tanpa batas, maka berarti tasalsul. Kedua teori itu batil dan mustahil. (Baca: Antara Ulama dan Raja, Penguasa dan Hamba Saleh)

Bagaimanapun, keberadaan kaum atheis di negeri ini bertentangan dengan sila pertama dari Pancasila: Ketuhanan Yang Mahaesa. Dengan sila ini pula menunjukkan bahwa bangsa NKRI adalah bangsa monoteis, dan percaya Tuhan adalah prinsip yang paling mendasar dalam beragama.

Merdeka dari Penghambaan kepada Selain-Nya

Di dalam Islam, penghambaan kepada Allah Tuhan Yang Mahaesa bagi seorang muslim:

Pertama, terterapkan dalam shalat (ibadat): iyyâka nabudu; Hanya kepada-Mu lah kami menyembah”, sebagai bentuk pengamalan tauhid dalam ‘ubudiyah. Dengan demikian, seorang hamba menjalin dan menjaga hubungan dengan Tuhannya.

Kedua, terterapkan dalam hukum dan etika sosial, yang memuat perintah dan larangan Allah swt. Di dalamnya secara global manusia diperintah oleh-Nya agar menjalin hubungan yang baik dengan sesamanya. Hal menjalankan perintah-Nya ini adalah bagian dari pengamalan tauhid dalam ketaatan. (Baca: Nasihat Imam Ja’far Shadiq as. Tentang Berzikir)

Dari dua poin tersebut mungkin dapat dikatakan, bahwa penghambaan kepada Tuhan, selain berkaitan dengan ketuhanan juga berkaitan dengan kemanusiaan. Maka, kemerdekaan dalam makna ini adalah bebas dari perhambaan atau perbudakan atau keberhalaan. Yakni, merdeka dari penghambaan kepada selain Tuhan.

Mewujudkan Keadilan Sosial

Dalam bahasa Alquran, dua macam hubungan tersebut adalah hablun minallâh (hubungan vertikal), dan hablun minan nâs (hubungan horisontal) di dalam kehidupan seluruh manusia. Di antara prinsip-prinsipnya yang mendasar tercantum di dalam Pancasila; ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan.

Dua hubungan itulah yang menjadi subyek tugas seluruh nabi, khususnya nabi Muhammad saw, bahwa mereka diutus oleh Allah kepada umat manusia, untuk mengatur dan memperbaiki dua hubungan tersebut. Konsepnya termuat dalam risalah yang mereka bawa dan sampaikan kepada umat manusia. Ialah hukum, aturan dan undang-undang dalam semua masalah terkait dua macam hubungan itu.

Dalam kemanusiaan, agama samawi mengatakan bahwa seluruh manusia adalah anak-anak Adam. Dengan kata lain, mereka bersaudara dalam satu bapak. Kemudian untuk mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab, diturunkanlah kepada mereka melalui para rasul undang-undang berupa hak-hak asasi manusia. (Baca: Hidupkan Keadilan)

Dalam persatuan, Alquran mengatakan bahwa Allah menciptakan manusia; laki-laki dan perempuan, dan menjadikan mereka berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar mereka mengenal satu sama lain (QS: al-Hujurat 13). Ayat suci ini diterapkan oleh bangsa kita yang beragam suku dan ras dalam bingkai Bhineka Tunggal Ika, dan dirangkum dalam sila ketiga: Persatuan Indonesia.

Dalam kerakyatan, bangsa yang majemuk ini adalah sebuah masyarakat yang pastinya memerlukan hukum dan undang-undang guna mengatur urusan-urusan sosial dalam memenuhi semua kebutuhan dan kepentingan bersama. Dengan demikian, mereka sangat memerlukan pelaksana undang-undang itu, yang memerintah mereka. Tanpa pelaksana, sia-sialah undang-undang itu ada. (Baca: SafinahQuote: Dosa)

Adalah sebuah pemerintahan yang diserahkan kepada satu orang atau lebih, yang mereka sepakati melalui pemilihan yang berlaku di tengah mereka atau sebagaimana yang mereka inginkan. Jika demikian, maka menjadi urusan rakyat dan mereka bermusyawarah di antara mereka untuk urusan itu.

Allah swt berfirman:

وَ الَّذينَ اسْتَجابُوا لِرَبِّهِمْ وَ أَقامُوا الصَّلاةَ وَ أَمْرُهُمْ شُورى‏ بَيْنَهُمْ وَ مِمَّا رَزَقْناهُمْ يُنْفِقُونَ

“dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan mereka dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS: asy-Syura 38)

Semua itu adalah rangka mewujudkan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Referensi: 

-QS: al-Hujurat 13: يا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْناكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَ أُنْثى‏ وَ جَعَلْناكُمْ شُعُوباً وَ قَبائِلَ لِتَعارَفُوا
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.”

Baca: CINTA INDONESIA


No comments

LEAVE A COMMENT