Allah Swt telah menetapkan takdir-takdir bagi para hamba-Nya. Takdir-takdir ini terkadang sejalan dengan keinginan mereka, terkadang juga bertentangan dengan apa yang mereka harapkan. Yang dikehendaki Allah adalah hendaknya hamba-hamba-Nya rida dengan apa yang telah ditetapkan, rela dengan qadha yang telah ditetapkan-Nya, serta selalu mendahulukan rida Allah Swt di atas rida mereka.
Takdir-takdir ini terkadang berhubungan dengan perkara-perkara tasyri’i (perundang-undangan), terkadang juga bersangkutan dengan masalah-masalah takwini (penciptaan). Dalam perkara-perkara tasyri’i, semua manusia ditugaskan untuk menjalankan semua kewajiban dan meningggalkan semua yang diharamkan. Ini semua merupakan keridaan terhadap takdir-takdir tasyri’i Ilahi.
Kerelaan untuk melakukan kewajiban dan meninggalkan yang haram merupakan tingkatan awal dari takwa yang berarti mendahulukan keridaan Ilahi, walaupun sebagian orang dengan sulit bisa mencapai tahapan ini. Sementara para wali Allah, dengan jiwa penghambaan mereka, sampai pada maqam yang dapat merasakan kelezatan dalam beribadah, dan kelezatan yang mereka rasakan terkait dengan meninggalkan hal-hal yang diharamkan.
Sementara dalam perkara penciptaan, manusia hendaklah rida dengan apa yang telah Allah Swt berikan kepadanya, baik pemberian-Nya itu sesuai dengan kehendak mereka atau pun tidak, seperti yang telah diisyaratkan oleh salah satu riwayat yang berbunyi, “Seorang hamba hendak rela dengan apa yang telah Allah Swt berikan kepadanya.”
Baca: Menghadirkan Allah Swt dalam Salat
Tidak diragukan lagi bahwa tidak semua hal berada di bawah ikhtiar dan kendali kita. Bahkan sekadar berbicara yang kita anggap di bawah ikhtiar kita, sebab berbicara bisa terwujud dengan adanya lidah, tenggorokan, kelenjar suara, udara, dan tidak satu pun dari ini semua berada di bawah ikhtiar kita. Karena itu, jika terdapat kerusakan pada salah satu dari semua ini, maka manusia tidak akan memiliki kemampuan untuk berbicara.
Hal paling sederhana pun dari perkara-perkara ikhtiari, seperti berbicara, di mana dan kapan saja manusia ingin melakukannya, butuh sebab-sebab serta syarat-syarat yang berada di luar ikhtiar manusia, apalagi perkara-perkara yang sama sekali bukan ikhtiari seperti gempa atau penyakit, manusia tidak mampu menemukan sebabnya serta semua kadar-kadar Ilahi yang lain.
Memang benar, sebagian dari sebab-sebab alami atau manusiawi memiliki peran dalam terwujudnya sebuah fenomena. Akan tetapi hal ini tidak berarti Allah Swt takluk di hadapan makhluk-Nya, atau itu terjadi di luar kehendak-Nya sehingga faktor-faktor alami ini yang mewujudkan fenomena tersebut. Dalam kekuasaan Allah Swt, tidak ada satu pun yang terjadi di luar kehendak-Nya. Dialah yang, karena hikmah-Nya, alam ini memiliki keteraturan, walaupun terkadang dalam sistem alam, terjadi perkara-perkara yang tidak diinginkan (oleh manusia).
Allah Swt yang telah menciptakan sistem ini, dan bagi-Nya itu merupakan sistem yang paling baik. Para filosof menyebutnya dengan nama nizham ahsan (sistem terbaik). Karena itu, kehendak Allah Swt memiliki peran dalam sistem alam. Dengan hikmah-Nya, Dia menentukan (menciptakan) faktor-faktor serta sebab-sebab, sehingga muncullah proses sebab dan akibat. Akan tetapi dalam proses sebab-akibat, terkandung hikmah-hikmah Allah Swt.
Yang terpenting dari hikmah ini adalah masalah ujian Ilahi. Ketika berhadapan dengan fenomena-fenomena yang tidak diharapkan, manusia pada hakikatnya sedang mengalami ujian sehingga bisa diketahui bagaimana reaksi yang ia ambil. Sebagian ujian tersebut berhubungan dengan tahapan pertama dari keimanan.
Sehingga jelas, apakah ia dalam berhadapan dengan masalah-masalah yang berat masih memerhatikan hukum-hukum Ilahi ataukah tidak. Ini merupakan tahapan awal dari ujian yang diberikan kepada kebanyakan hamba. Sementara ujian yang lebih tinggi dikhususkan kepada hamba-hamba khusus yang apabila berhadapan dengan masalah-masalah yang berat, mereka menuntut Allah Swt ataukah bersabar.
Orang-orang khusus memiliki suatu maqam kesabaran yang lebih tinggi dari kesabaran dan keridaan, yaitu sebuah maqam dimana mereka bahkan rida dalam kondisi kesulitan dan bencana. Karena sadar bahwa ini semua berasal dari Allah Swt, maka mereka rida menerimanya. Ini merupakan tahapan tertinggi dari keimanan. Mereka percaya sekuat-kuatnya bahwa ketentuan-ketentuan Ilahi tidak lepas dari nilai-nilai hikmah.
Jelas, semakin bertambah kadar keimanan serta makrifat, keridaan terhadap qadha dan qadar ilahi juga akan bertambah. Tahapan paling penting dari keimanan adalah ketika manusia berhadapan dengan ketentuan-ketentuan, walaupun tidak diinginkannya, tidak sekedar sabar, tetapi juga rida dan tetap puas dengannya. Karenanya, Allah Swt berfirman: “Amalan yang paling dicintai oleh-Ku adalah tawakal, dan setelah itu keridhaan dengan apa yang telah Aku takdirkan.”
Ini artinya, rida lebih tinggi dari tawakal. Tawakal berarti hanya kepada Allah Swt meminta pertolongan, hanya kepada-Nya menyimpan harapan. Dan ini adalah isti’anah bi-Allah: Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.
Kita mesti rida dengan apa yang sudah terjadi, baik terjadi diakibatkan oleh usaha kita sendiri, atau oleh faktor lain. Manusia harus tetap yakin bahwa apa pun yang terjadi adalah tidak keluar dari hikmah Ilahi.
Dalam sebuah hadis Qudsi, Allah berfirman kepada Nabi Musa a.s.: “Wahai Musa! Tidak ada yang paling Aku cintai dari makhluk yang pernah aku ciptakan kecuali hamba-Ku yang mukmin dan sesungguhnya ketika Aku menimpakan bencana kepadanya, sesungguhnya terdapat kebaikan bagi dia di dalamnya serta ketika Aku menghalangi dia dari (mendapat) sesuatu itu juga karena terdapat kebaikan baginya dalam hal tersebut karena sesungguhnya aku lebih tahu apa yang paling maslahat bagi hamba-Ku.”
Imam Khomeini ra berkali-kali berkata bahwa kita mesti mengamalkan tugas-tugas agama kita, sementara apa yang akan terjadi tidak ada hubungannya dengan kita, sebab dunia sudah ada pengaturnya dan kita harus rida dengan aturan serta qadha yang ditentukan oleh-Nya. Dalam riwayat lain Nabi Musa a.s. bertanya kepada Allah Swt: “Ya Allah! Siapa di antara makhluk-Mu yang paling Engkau cintai?” Allah Swt. menjawab: “Orang yang ketika aku ambil sesuatu yang paling dicintainya, ia pasrah kekepada-Ku (perbuatan-Ku) …”
Baca: Tauhid, Menolak Mengabdi Selain kepada Allah
Sebagian orang, ketika kehilangan orang atau sesuatu yang dicintainya, menuntut dan menyalahkan Allah Swt. Ia tidak rida dengan apa yang telah terjadi, sebab ia tidak mau berpisah dengan yang dicintainya. Orang seperti ini bukanlah orang yang dicintai oleh Allah Swt.
Ketika kita bertawakal dan berserah diri kepada Allah Swt, ini artinya kita memohon kepada-Nya agar memberikan apa yang maslahat bagi diri kita. Jika yang terjadi ternyata cobaan dan kesakitan, semestinya kita tidak menggerutu, sebab kebaikan dan kemaslahatan kita ada di dalamnya. Karenaya, manusia yang bertauhid akan bertawakal kepada Allah Swt, dan hanya kepada-Nya ia meminta pertolongan; dia akan bersabar dalam menerima kesulitan dan bencana, dan yakin bahwa pengaturan segala urusan ada di tangan Allah Swt.
*Disadur dari buku karya Ayatullah M. Taqi Misbah Yazdi – Menjadi Manusia Ilahi