Yang Salafi Jangan Cela Yang Sufi
Antara hal melampaui batas (ifrâth) dan mengabaikannya (tafrîth), yakni tengah-tengah itu adalah salah satu ciri khas Islam. Alquran dengan tegas melarang ekstremisme, ghuluw dan melampaui batas:
يا أَهْلَ الْكِتابِ لا تَغْلُوا في دينِكُمْ وَلا تَقُولُوا عَلَى اللهِ إِلاَّ الْحَقَّ
“Hai ahli kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.” (QS: an-Nisa 171).
Mengenai tafsir ayat suci ini, Ibnu Katsir mengatakan: Allah swt melarang ghuluw dan pemujaan (yang melampaui batas). Hal ini banyak di kalangan Kristen, bahwa mereka melampaui batas mengenai nabi Isa as. Mereka meninggikannya di atas kedudukan yang Allah karuniakan kepadanya, dan mengangkatnya dari kenabian sampai pada ketuhanan selain Allah, dengan menyembahnya. (Tafsir Ibnu Katsir 1/189)
Allah swt berfirman:
قُلْ يا أَهْلَ الْكِتابِ لا تَغْلُوا في دينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلا تَتَّبِعُوا أَهْواءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا مِنْ قَبْلُ وَ أَضَلُّوا كَثيراً وَ ضَلُّوا عَنْ سَواءِ السَّبيلِ
Katakanlah, “Hai ahli kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat sebelum (kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus. (QS: al-Maidah 77)
Dari Ibnu Abbas ra, Rasulullah saw bersabda:
اياكم والغلو في الدين فإنما اهلك من كان قلبكم الغلو في الدين
“Jauhilah ghuluw (hal melampaui batas) dalam agama. Sesungguhnya telah binasa orang-orang yang melampau batas dalam agama sebelum kalian.” (Musnad Ahmad 1/215, cet. al-Maimanah; an-Nasai 5/268; Ibnu Majah 3029, cet Basyar)
Dari Anas bin Malik, Rasulullah saw bersabda:
لا تشدد على انفسكم فيشدد عليكم فإن قوما شددوا على انفسهم فشدد الله عليهم فتلك بقاياهم في الصوامع والديار
“Janganlah terlalu keras terhadap diri kalian, sehingga kalian tertekan. Kaum yang terlalu keras terhadap diri mereka, maka Allah bertindak keras kepada mereka. Lalu orang-orang yang tersisa dari mereka itu terdapat di rumah-rumah peribadatan dan perkampungan.” (Firman Allah:) وَ رَهْبانِيَّةً ابْتَدَعُوها ما كَتَبْناها عَلَيْهِمْ
“Tapi Kami tidak pernah menetapkan rahbâniyyah yang mereka ada-adakan itu kepada mereka..(QS: al-Hadid 27)” (Abu Dawud 4869, cet ‘Awamah) Lanjutan ayat ini: إِلاَّ ابْتِغاءَ رِضْوانِ اللهِ فَما رَعَوْها حَقَّ رِعايَتِها
“..meskipun (dengan mengada-adakannya itu) mereka ingin mencari keridaan Allah. Tetapi mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya.
Ghuluw itu muncul dari menafsirkan nash-nash dengan penafsiran yang berlebihan dan kontra tujuan-tujuan syariat. Atau di antara faktor-faktornya ialah seperti menekan diri dan orang lain dengan sesuatu yang tak diwajibkan baginya; dan menilai orang lain dengan pujian yang melangit (secara melampaui batas) seperti halnya kaum ghulat. Atau dengan celaan yang menjatuhkan (secara melampaui batas). Ghuluw selain bermakna ifrâth ini, dikatakan juga mempunyai arti tafrîth, yakni mengabaikan, membiarkan dan menyia-nyiakan. Sebagaimana dikatakan dalam Alquran: وَ مِنْ قَبْلُ ما فَرَّطْتُمْ في يُوسُفَ
“..dan sebelum itu kamu telah menyia-nyiakan Yusuf.” (QS: Yusuf 80)
Fanatisme Bukti Ekstremisme
Salah satu di antara tanda-tanda ekstremisme ialah fanatik pada ra`yu (pandangan pribadi), memaksa orang lain untuk mengikutinya dengan cara membid’ahkan atau mengkafirkan orang yang berpandangan beda. Teror pemikiran ini lebih seram teror inderawi. Fanatisme ini merupakan egoisme, aniaya diri dan menyimpang dari kebenaran. Di antara faktor-faktor yang mendorong fanatisme ialah:
1-Pemanfaatan orang-orang yang fanatik kepadanya, menakwil kesalahannya dan mengunggulkan sisi-sisi baiknya.
2-Lingkungan sosial yang didominasi kefanatikan dalam didikan.
Fanatisme dalam kebatilan ini tentunya berbeda dengan komitmen dalam kebenaran.
Ustadz Ali Thanthawi dalam bukunya, “Muhammad Ibnu Abdulwahab” (hal 83), mengatakan: “Tidak benar seorang muslim menolak suatu perkataan hanya dikarena orang-orang yang mengatakannya berbeda mazhab dengan dia. Bahkan tak harus dia mengaitkan pandangan sekelompok yang dia ikuti walau tampak kesalahannya dan jelas baginya bahwa yang benar ada pada selain pandangan itu.
Kebenaran yang tak terpalingkan ialah yang ada di dalam nash yang tegas dari Alquran atau Sunnah yang kukuh periwayatannya dan jelas maknanya. Adapun mengenai perkara yang di dalamnya terdapat sebuah ayat, bukanlah sebuah nash, dan (juga) sebuah hadis yang memungkinkan segi lain di antara segi-segi ijtihad, maka tiada masalah banyak pandangan mengenai perkara itu.
Maka siapa yang beraliran Salafi tidak boleh mencela orang yang beraliran Sufi. Pengikut Ibnu Taimiyah tidak boleh mengingkari pengikut Sabuki, selama mereka semua adalah muslimin yang dalam bermazhab bersandar pada dalil syar’i. Allah tidak menetapkan kebenaran seluruhnya pada satu orang dari mereka dan kebatilan pada semua orang (selain dia). Mereka semua adalah manusia yang bisa salah dan bisa benar, dan tiada seorang ma’shum di tengah mereka..”
Referensi:
At-Tahdzir min al-Mujazafati bi at-Takfir/Dr.Umar Abdullah Kamil