Syarat keimanan juga dijelaskan dalam beberapa ayat al-Quran sebagai berikut;
إِلاَّ مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحاً فَأُوْلَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلاَ يُظْلَمُونَ شَيْئاً.
“Kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh, maka mereka itu akan masuk syurga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikitpun.”[1] (Baca sebelumnya: Rukun dan Syarat Taubat -5)
وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِّمَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحاً ثُمَّ اهْتَدَى.
“Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar.”[2]
إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا فَأُولَٰئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ.
“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan.[3]
وَالَّذِينَ عَمِلُوا السَّيِّئَاتِ ثُمَّ تَابُوا مِن بَعْدِهَا وَآمَنُوا إِنَّ رَبَّكَ مِن بَعْدِهَا لَغَفُورٌ رَّحِيمٌ.
“Orang-orang yang mengerjakan kejahatan, kemudian bertaubat sesudah itu dan beriman; sesungguhnya Tuhan kamu sesudah taubat yang disertai dengan iman itu adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”[4]
Kafir tidak terbatas hanya pada pengingkaran terhadap adanya Allah, karena bisa saja seseorang percaya kepada adanya Allah, tapi dia kafir karena menyekutukanNya, sebagaimana disebutkan dalam ayat yang mengutip perkataan kaum musyrik penyembah berhala ;
مَا نَعْبُدُهُمْ إِلاَّ لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى.
“Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya.”[5]
Syarat Kesempurnaan Taubat
Mengenai syarat-syarat kesempurnaan taubat ada berbagai riwayat yang menyebutkannya, antara lain sebagai berikut;
- Kalimat Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib yang tertera dalam Nahjul Balaghah dan telah disebutkan di bagian pertama artikel ini; “
والخامس أنّ تَعْمدَ إلى اللحم الذي نبت على السُّحت فتذيبه بالأحزان حتّى يلصق الجلد بالعظم، وينشأ بينهما لحم جديد، والسادس أن تُذيقَ الجسم ألم الطاعة كما أذقته حلاوة المعصية.
“Kelima, mengingat daging yang tumbuhnya disertai kemurkaan Allah, kemudian melelehkannya dengan rasa sedih sampai kulit menempel ke tulang lalu tumbuh daging baru di antara keduanya. keenam, buatlah ragamu merasakan derita ketaatan sebagaimana kamu pernah membuatnya merasakan manisnya maksiat.” (Baca: Menjaga Kehormatan Di Sisi Allah-1)
Demikian pula pesan beliau kepada Kumail bin Ziyad mengenai beberapa makna taubat:
“… والثالث أن تؤدّي حقوق المخلوقين التي بينك وبينهم، والرابع أن تؤدّي حقَّ الله في كلِّ فرض…
“…;ketiga, hendaknya kamu tunaikan hak-hak para makhluk (orang-orang lain) yang ada antara kamu dan mereka; keempat, hendaknya kamu tunaikan hak Allah dalam setiap kewajiban….”
- Riwayat-riwayat mengenai syarat berupa amalan puasa, antara lain riwayat dari Abu Basir bahwa dalam menjelaskan makna taubat nasuha Imam Jakfar al-Shadiq as berkata;
هو صوم يوم الأربعاء والخميس والجمعة.
“Yaitu berpuasa pada hari Rabu, Kamis dan Jumat.”[6]
- Riwayat-riwayat mengenai syarat shalat berupa amalan mandi dan shalat, termasuk riwayat dari Mas’adah bin Ziyad. [7] Dia berkata: “Suatu hari aku berada di tempat Imam Abu Abdillah (Imam Jakfar al-Shadiq as), tiba-tiba ada seorang pria berkata kepadanya, ‘Biarlah ayah dan ibuku menjadi tebusanmu, aku pernah masuk ke kamar kecil, dan aku punya beberapa tetangga dan pada mereka ada para hamba sahaya perempuan yang menyanyi sambil memetik gambus, apakah boleh saya duduk lama untuk mendengarkan nyanyian mereka?’ Imam menjawab, ‘Jangan kamu lakukan itu.’ Pria itu berkata, ‘Demi, Allah aku tidak mendatangi mereka, bukankah itu hanya suara yang aku dengar dengan telingaku?’ Imam menjawab;
لله أنت أما سمعت الله يقول: إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً.
‘Demi Allah, apakah kamu tidak pernah mendengar firman Allah; Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya?’[8]
Pria itu berkata, ‘Ya, demi Allah, aku seolah tidak pernah mendengar ayat dari kitab Allah ini dari orang Arab maupun non-Arab. Dengan demikian tentu aku tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi, insya Allah, dan sungguh aku memohon ampunan kepada Allah.’
Imam lantas berkata;
قم فاغتسل وصلّ ما بدالك، فإنّك كنت مقيماً على أمر عظيم، ما كان أسوأ حالك لو متّ على ذلك، احمد الله وسله التوبة من كلّ ما يكره، فإنّه لا يكره إلاّ كلّ قبيح، والقبيح دعه لأهله، فإنّ لكلّ أهلاً
“Bangkitlah lalu mandilah dan dirikan shalat (sunnah) sedapatmu, karena sungguh kamu berada di suatu perkara besar yang alangkah buruk keadaanmu jika kamu mati dalam keadaan demikian. Panjatkan pujian kepada Allah, dan memohonlah taubat kepadaNya dari segala yang dimakruhkan, karena sesungguhnya Dia tidak memakruhkan kecuali segala yang buruk, dan biarlah yang buruk itu ada pada orang yang memang ahli (suka) berbuat buruk, karena tiap-tiap sesuatu itu ada ahlinya.’”
(Selesai)
[1] QS. Maryam [19]: 60.
[2] QS. Thaha [20]: 82.
[3] QS. Al-Furqan [25]: 70.
[4] QS. Al-A’raf [7]: 153.
[5] QS. Al-Zumar [39]: 3.
[6] Al-Wasa’il, jilid 16, hal. 79 – 79, bab 88 Jihad al-Nafs, Hadis 1.
[7] Al-Wasa’il, jilid 3, hal. 331, bab 18 mengenai mandi-mandi sunnah.
[8] QS. Al-Isra’ [17]: 36.
Baca: Taubat, Sejak Kapan? (1)