Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Rukun dan Syarat Taubat (5/6)

Berbagai tips penyembuhan ruhani yang tertera dalam al-Quran maupun hadis sama halnya dengan resep dokter yang hanya akan bermanfaat apabila diterapkan pada tempatnya. Resep untuk penyembuhan penyakit tipes, misalnya, tidak akan bermanfaat atau bahkan bisa jadi berbahaya jika diterapkan untuk penyakit malaria. (Baca sebelumnya: Rukun dan Syarat Taubat-4)

Resep penyakit ruhani dari al-Quran dan sunnah, misalnya berkenaan dengan luasnya kesempatan untuk bertaubat adalah resep untuk penyembuhan penyakit putus asa, karena tanpa pemberian kesempatan ini orang yang belum bertaubat akan berputus asa sehingga dia akan semakin terjerumus ke dalam jurang kebinasaan.

Sedangkan jika resep kesempatan itu digunakan untuk menunda-nunda taubat dengan dalih bahwa selagi taubat diterima sebelum manusia mengalami sekarat maka tak perlu segera bertaubat dan menjauhkan jiwa dari hawa nafsu maka resep ini justru berubah menjadi bahaya dan tak bermanfaat, karena penundaan taubat akan menjerumuskan manusia pada dua bahaya; pertama, sergapan maut secara tiba-tiba dan keterhalangan dari taubat; dan memburuknya penyakit dalam hati akibat keseringan buat dosa sehingga terjauh dari taubat.

Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as berkata;

لا تكن ممّن يرجو الآخرة بغير عمل، ويرجّي التوبة بطول الأمل، يقول في الدنيا بقول الزاهدين، ويعمل فيها بعمل الراغبين… إن عرضت له شهوة أسلف المعصية، وسوّف التوبة…

“Janganlah kalian menjadi orang yang berharap akhirat tanpa amal, berangan-angan taubat dengan angan-angan panjang, berkata tentang dunia dengan perkataan orang-orang zuhud, dan berbuat untuk dunia dengan perbuatan para pecinta dunia…dan jika syahwat menimpanya maka dia mendahulukan maksiat dan menunda taubat…”[1]

Diriwayatkan bahwa Lukman al-Hakim berpesan kepada puteranya;

يا بنيّ لا تؤخّر التوبة فإن الموت يأتي بغتة…

“Wahai puteraku, janganlah kamu menunda taubat karena kematian akan datang tiba-tiba…”[2]

Orang yang menggunakan resep tersebut secara tidak benar, yaitu dengan menunda taubat, maka pada hari kematiannya dia tidak akan selamat dari suatu kondisi memilukan yang digambarkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib as sebagai berikut;

«… اجتمعت عليهم سكرة الموت وحسرة الفوت، ففترت لها أطرافهم، وتغيّرت لها ألوانهم، ثُمّ ازداد الموت فيهم ولوجاً، فحيل بين أحدهم وبين منطقه، وإنّه لبين أهله ينظر ببصره، ويسمع باُذنه على صحّة من عقله وبقاء من لبّه، يفكّر فِيمَ أفنى عمره، وفيم أذهب دهره ويتذكّر أموالاً جمعها أغمض في مطالبها، وأخذها من مصرّحاتها ومشتبهاتها، قد لزمته تَبِعَات جَمْعِها، وأشرف على فراقها، تبقى لمن وراءه ينعمون فيها، ويتمتّعون بها، فيكون المَهنَأُ لغيره، والعِبءُ على ظهره، والمرء قد غَلِقَتْ رُهُونُهُ بها، فهو يعضّ يديه ندامة على ما أصحر له عند موته من أمره، ويزهد فيما كان يرغب فيه أيّام عمره، ويتمنّى أنّ الذي كان يَغْبِطُهُ بها ويَحْسُده عليها قد حازها دونه…

“Terhimpunlah padanya (beratnya derita) sekarat dan kesedihan atas apa yang hilang darinya, tangan dan kakinya tak berdaya, warna kulitnya berubah, kemudian beban kematian sedemikian bertambah padanya sehingga terhalang antara orang lain dan perkataannya (tak dapat berbicara) sementara dia juga melihat dengan matanya (kesedihan yang ada) di tengah keluarganya, dan  mendengar dengan telinganya (keluh kesah) mereka. Dalam kondisi akal yang sehat dan sadar dia berpikir tentang usia yang telah dia lewatkan dan masa yang telah dia sia-siakan, dan mengingat harta yang telah dia kumpulkan sembari mengabaikan (hukum halal dan haram) dalam mencari dan mendapatkannya dari tempat-tempat yang jelas maupun tak jelas (halal dan haramnya). (Baca: Allah Maha Mengetahui)

“Sungguh dampak pengumpulan harta itu menimpanya sementara dia sadar akan segera meninggalkan harta itu dan hanya orang-orang yang dia tinggalkanlah yang akan akan menikmati dan bersenang-senang dengannya sehingga harta itu tersedia begitu saja untuk orang-orang lain sementara bebannya terpikul di pundaknya, dan diapun tergadai oleh harta itu (tak dapat lari pertangggungjawaban atas pendapatan dan penggunaan harta). Dia lantas merapatkan tangan sebagai penyesalan atas berat perkara yang dialaminya di saat kematian tiba, tak berselera lagi terhadap apa yang dulu dia idam-idamkan di masa hidupnya, dan berandai-andai alangkah baiknya apabila dulu orang lain yang mengharapkan dan orang lain yang dengki itu saja yang menempati kedudukannya dan mendapatkan hartanya itu.”[3]

c. Keberimanan

Keberimanan juga merupakan syarat diterimanya taubat, sebagaimana ditegaskan al-Quran al-Karim dalam firman Allah SWT;

وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّى إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الآنَ وَلاَ الَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمْ كُفَّارٌ أُوْلَـئِكَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَاباً أَلِيماً.

“Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: Sesungguhnya saya bertaubat sekarang. Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih.[4]

(Bersambung)

[1] Nahjul Balaghah, Hikmah 150.

[2] Al-Mahajjah al-Baidha’, jilid 7, hal. 22.

[3] Nahjul Balaghah, Khutbah 109.

[4] QS. Al-Nisa’ [4]: 18.

Baca selanjutnya: Rukun dan Syarat Taubat (6)

 


No comments

LEAVE A COMMENT