Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Yang tak Berpetunjuk takkan Memberi Petunjuk

Dan itulah hujah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. (QS. al-Anam:83)

Hujjah artinya bukti, alasan atau argumentasi. Dikatakan, dia berhujjah, yakni dia memberikan alasan. Kata ini juga menjadi istilah dan tema atau subyek ilmu mantiq (logika Islam), di dalamnya diajarkan bagaimana berhujjah atau beragumentasi yang benar, sebagai bagian dari tujuan umum ilmu ini, yakni cara berfikir yang benar.

Argumentasi yang benar (dengan etika yang baik) merupakan jalan yang terbaik dalam berdiskusi dan perdebatan. Hanya dengan cara inilah perdebatan dalam agama dibolehkan, bahkan dianjurkan oleh Islam berdasarkan QS: an-Nahl 125, yang diistilahkan dengan ‘jidal bil lati hiya ahsan’ (perdebatan dengan cara yang lebih baik).

Telah dibahas di artikel sebelumnya yang berjudul Tak Bolehkah Debat dalam Agama, dengan sebuah riwayat yang menjelaskan antara lain dari maksud jidal tersebut. Yaitu, dengan sebuah contoh berupa perbandingan sederhana, yang terdapat di dalam QS: Yasin 78-80, bahwa menciptakan sesuatu lebih sulit dari mengembalikannya yang sudah hancur.

Baca: “Bagaimana Allah Menciptakan Al-Masih?

Sudah tentu banyak macam argumen lainnya di dalam Alquran. Kita pun dapat merujuk riwayat-riwayat terkait bagaimana Rasulullah saw dan para imam Ahlulbait as dalam dialog dengan para tokoh agama, seperti yang telah dikumpulkan oleh Abu Manshur ulama Syiah abad VI dalam kitabnya yang populer, al-Ihtijaj dan kitab-kitab terkait lainnya. Selain itu, terdapat argumen-argumen rasional atau cara berargumen yang benar, yang perlu kita pelajari dan merujuk pada ilmu mantiq atau logika Islam.

Sebuah Etika dan Petunjuk dalam Diskusi

Dalam kehidupan sosial kita, perdebatan yang seru atau sengit antara dua pihak atau lebih terjadi, dipastikan karena suatu masalah atau perkara yang diperselisihkan. Khususnya masalah ilmiah yang memuat berbagai macam argumen. Perbedaan pandangan di antara kita, di satu sisi merupakan perkara alami yang tak dipungkiri dan tak dapat dihindari. Di sisi lain, menjadi faktor terjadinya perdebatan tatkala kita duduk bersama dan membuka pembicaraan tentang suatu masalah.

Baca: “Etika Berdoa Menurut Imam Ja’far Shadiq as.

Dua poin yang saya dapati dari penjelasan Istarabadi dalam kitabnya al-Barahin al-Qathiah fi Tajrid al-Aqaid as-Sathiah, juz 2, dan merupakan hal-hal yang sangat diperlukan dalam berdiskusi:

Pertama, dalam setiap masalah yang memuat argumentasi, perlu diperhatikan subyek dan predikat dari sebuah proposisi, apakah merupakan konsep personal atau partikular, ataukah impersonal dan universal. Mengenai konsep ini kita dapati dan diterangkan di dalam ilmu logika. Lalu menentukan pokok pembicaraan, agar tidak terjadi debat kusir dan penyimpangan.

Kedua, sikap bijak, fokus dan mengerti dalam perbincangan sangat diperlukan untuk membenarkan yang benar dan membatilkan yang batil. Tak kalah pentingnya selain itu, ialah etika berdiskusi yang musti diterapkan.

Istarabadi kemudian mengungkapkan bahwa sebagian ulama menggunakan tiga macam dalil atau petunjuk -di bawah ini- yang terdapat di dalam QS: an-Nahl 125:

ادْعُ إِلى‏ سَبيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَ الْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَ جادِلْهُمْ بِالَّتي‏ هِيَ أَحْسَنُ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang terbaik.”

Baca: “Kartun Anak: Dialog Imam Al-Jawad a.s dengan Yahya bin Aktsam di Hadapan Al-Makmun

Dari penjelasan beliau, yang merupakan interpretasinya terkait ayat tersebut, yang saya pahami dan yang dapat saya ringkas, ialah:

1-Hikmah; ialah perkataan yang jelas, petunjuk yang menjelaskan kebenaran dan penghapus kesamaran bagi orang-orang khusus. Ia merupakan pengetahuan akan sesuatu sebagaimana sesuatu itu sendiri.

2-Nasihat yang baik; merupakan pesan-pesan yang memuaskan dan ungkapan-ungkapan yang bermanfaat bagi kaum awam.

3-Mujâdalah atau perdebatan dengan cara yang lebih baik; di antara maksudnya ialah dengan kesantunan, sikap solider dan premis-premis yang gamblang.

Hujjah Allah yang Dia Berikan kepada Nabi Ibrahim as

Perlu kita baca dan renungi firman Allah dalam QS: al-Anam 75-83 sebagai berikut:

“Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi, (agar ia berargumentasi dengannya) dan termasuk orang-orang yang yakin, -sampai pada ayat:

Dan itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.”

Ayat-ayat tersebut merupakan kisah nabi Ibrahim as yang melakukan tafakur dan berargumentasi dengan apa yang ia saksikan di bumi dan di langit, hingga ia mencapai tingkat keyakinan. Bahwa, Ketika malam telah menjadi gelap, ia melihat sebuah bintang (seraya) berkata, Inilah Tuhanku. Tetapi tatkala bintang itu tenggelam, ia berkata, Saya tidak suka kepada yang tenggelam.

Baca: “Perjalanan Salman Menemukan Nabi saw.

Kemudian tatkala ia melihat bulan terbit, ia berkata, Inilah Tuhanku. Tetapi setelah bulan itu terbenam, ia berkata, Sesungguhnya jika Tuhan-ku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat. Dari ayat ini Abu Manshur memetik sebuah kaidah yang populer, “fâqidusy syai` lâ yuthi” (yang tak punya takkan memberi). Sebagai contoh dalam penerapannya, orang yang tak mempunyai petunjuk takkan memberi petunjuk; atau si bodoh takkan memberi ilmu, dan sebagainya.

Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, ia berkata, Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar. Tatkala matahari itu telah terbenam, (setelah ia mendapatkan hujjah) ia berkata, Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi, dengan keimanan yang murni dan tulus kepada-Nya, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.”

Baca: “Balasan Puasa Imam Husain a.s.: Syafaat Untuk Para Pencinta

No comments

LEAVE A COMMENT