Dalam akidah Islam Syiah Imamiyah, keadilan Tuhan menjadi salah satu dari lima dasar agama (ushuluddin). Kendati merupakan masalah klasik, yang diwarnai dengan perdebatan yang seru di kalangan para teolog dahulu, tak berarti menjadi usang dan asing di masa kini. Justru sebagian orang lah yang tak mempunyai minat di dalamnya sekalipun dengan pengkajian sederhana dan untuk memperoleh pengetahuan yang cukup, menjadi asing dan usang bagi masalah ini.
Banyak poin dari ulama dahulu, yang diangkat oleh ulama kini dalam pengkajian mereka, dan menjadikan kajian mereka semakin luas dan dalam. Tujuan mereka semua sama, yaitu untuk mengenali perbuatan-perbuatan Sang Khalik. Ialah untuk mencapai ma’rifat, mengenal Allah swt.
Baca: “Almarhum Syeikh Behjat: Perselisihan Terjadi dari “Hasbuna Kitaballâh”“
Salah satu makna “hikmah” (bijaksana) ialah bersih dari tindakan yang tak dinginkan. Maka, hakîm (yang bijaksana) adalah yang tidak berbuat buruk. Dengan pembuktian, sifat ini kukuh bagi Allah swt berdasarkan teori penilaian baik-buruk rasional. Masalah ini berkenaan dengan perbuatan-perbuatan yang dinilai oleh akal sebagai yang baik atau yang buruk, dan akal mengetahui bahwa Dzat Yang Mahakaya suci dari sifat buruk dan perbuatan yang tak selayaknya.
Akal dapat mengetahui hal tersebut tanpa bantuan syariat. Demikian yang dikatakan oleh kaum ‘Adaliyah. Sedangkan menurut kaum Asya’irah adalah sebaliknya, bahwa tiada kebaikan selain yang dinilai baik oleh syariat dan tiada keburukan selain yang dinilai buruk olehnya.
Perselisihan antara dua kelompok ini adalah seputar antara posisi partikular yang dipandang oleh ‘Adaliyah, dan negasi universal yang dipandang oleh Asya’irah.
Penilaian dan Patokan Baik-Buruk
Apa yang menjadi patokan bahwa ini baik dan itu buruk? Disebutkan ada beberapa patokan:
1-Selaras atau tak selaras dengan bawaan alami; misalnya, pemandangan indah, rasa lezat, suara merdu, harmonis dengan bawaan alami, maka semua itu bagus (baik). Sedangkan pemandangan buruk, rasa pahit, suara keledai, disharmonis dengan bawaan alami, maka semua itu jelek (buruk).
2-Pro dan kontra tujuan (maslahat) personal atau impersonal; misalnya, membunuh musuh dipandang baik karena sejalan dengan tujuan. Tetapi bagi teman dan keluarganya dipandang buruk, karena kontra tujuan mereka secara personal.
Baca: “Mana Yang Lebih Baik, Berbicara Atau Diam?“
Adapun secara impersonal, misalnya, adil adalah baik, karena pemelihara tatanan masyarakat dan kepentingan-kepentingan (maslahat) umum. Sedangkan aniaya adalah buruk, karena penghancur tatanan dan bertentangan dengan maslahat umum.
3-Sesuatu merupakan kesempurnaan atau kekurangan (aib) bagi diri manusia; seperti ilmu dan kebodohan (jahl), sifat pemberani dan pengecut dan sifat-sifat kesempurnaan serta aib lainnya.
4-Yang dipuji atau dicela akal; ialah ketika perbuatan sesuai kesempurnaan atau kekurangan bagi si pemilik akal dan ikhtiar (mukhtâr), terlepas perbuatan itu membawa manfaat personal ataupun impersonal.
Akal, mandiri dalam menilai baik dan keharusan melakukan perbuatan, atau buruk dan keharusan meninggalkannya. Sebagaimana ia menilai bahwa kebaikan dibalas dengan kebaikan adalah baik, kebaikan dibalas dengan keburukan adalah buruk. Jadi, penilaian akal dari sisi bahwa sebagian perbuatan adalah kesempurnaan bagi yang mukhtâr (yang mempunyai pilihan), maka ia nilai baik. Sebagian perbuatan lainnya adalah kekurangan baginya, maka ia nilai buruk.
Pangkal Perselisihan
Soal kedua, manakah di antara semua tolok ukur baik dan buruk di atas, yang menjadi pangkal perselisihan mengenai baik dan buruk?
Tonton: “Imam Ali as dan Balasan Kebajikan yang Berlipat Ganda“
Adalah jelas tak terjadi perselisihan dengan tolok ukur yang pertama dan yang ketiga. Juga dengan yang kedua, yaitu tolok ukur tujuan dan maslahat personal. Adapun terkait maslahat impersonal, banyak pengkaji memandang adil dan kebajikan adalah baik dikarenakan membawa maslahat umum, dan aniaya serta permusuhan dikarenakan membawa mafsadat (kerusakan) umum.
Semua itu bukan hal yang menjadi titik perselisihan antara Adaliyah dan Asya’irah. Perselisihan antara dua kelompok ini terletak pada tolok ukur yang keempat. Yakni, perbuatan ketika muncul dari si pelaku, akal hanya memandang dia layak menerima pujian atau celaan. Ia tidak melihat apa di balik perbuatannya. Perbuatan itu, seperti membalas kebaikan dengan kebaikan atau dengan keburukan; menepati atau mengingkari janji; berbuat adil atau aniaya dan sebagainya.
Kajian ini tak hanya berkaitan dengan perbuatan manusia. Tujuan dari pemaparan tersebut ialah mengenali perbuatan-perbuatan Allah swt; bisakah ia ataukah tidak? Ketika ia mampu menilai perbuatan itu baik atau buruk menurut akalnya, apakah di sisi Allah swt juga demikian? Ia tak mungkin bisa, kecuali dengan tolok ukur yang keempat itu di dalam menilai baik dan buruk.[*]
Referensi: Talkhish Muhadharat fi al-Ilahiyat.
Baca: “Kisah Seuntai Kalung“