Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)

Ada Bidadari Surga Di Rumahku

 

Nabi saw. bersabda, “Surga di bawah telapak kaki ibu.”

Dalam hadis lain beliau saw. juga bersabda, “Di bawah telapak kaki ibu terdapat sebuah taman dari taman-taman surga.”

Tina, teman SMP-ku yang tiba-tiba menghilang setelah aku dan teman-temanku tahu bahwa ibunya hanya punya satu mata. Dia sangat malu dengan kondisi ibunya.

Setelah bertahun-tahun tanpa disengaja aku melewati rumahnya. Pintu gerbangnya terbuka. Rumahnya ramai sekali. Karena penasaran, aku berhenti dan masuk ke dalam. Aku lihat Tina sedang menangis dan larut dalam kesedihan.

Aku menyapanya dan menanyakan keadaannya. Sepertinya Tina sudah tidak mengenaliku. Lalu aku mengingatkannya tentang masa-masa kita di SMP. Setelah beberapa waktu kita bercerita, aku bertanya, kenapa dia menangis dan larut dalam kesedihan?

Tina terdiam lalu menangis dan mulai bercerita:

Untuk menghidupi keluarga, ibuku memasak makanan untuk para guru dan anak-anak sekolah. Suatu hari, ibu datang ke sekolah untuk menjemputku. Aku sangat malu sekali karena kondisinya. Aku tidak tahan dengan itu. Aku memandangnya sebentar, lalu segera beranjak dari sana.

Keesokan harinya, salah satu teman sekelasku mengolok-olokku, “Huh… ibumu hanya bermata satu.”

Ingin rasanya aku mati. Andai saja bumi menelanku… atau andai ibuku mati saja…

Suatu hari aku berkata kepadanya, “Bila ibu ingin melihatku bahagia dan gembira, kenapa ibu tidak mati saja?”

Ia tidak memberikan jawaban satu kata pun. Aku bahkan tidak memikirkan apa yang sudah aku ucapkan kepadanya, karena aku sangat marah sekali. Aku tidak memperdulikan perasaannya sedikit pun.

Ingin rasanya aku pergi dari rumah dan tidak lagi berurusan dengan ibuku yang bermata satu.

Aku belajar dengan keras dan rajin sehingga akhirnya aku memperoleh beasiswa ke luar negeri, yaitu Singapura.

Setelah beberapa lama belajar di sana, aku memperoleh pekerjaan yang cukup mapan. Kemudian aku menikah, membeli rumah, memiliki anak dan hidup bahagia.

Suatu hari, tiba-tiba ibuku datang untuk mengunjungiku. Sudah sekian lama ia tidak bertemu denganku dan juga cucu-cucunya.

Saat berdiri di depan rumah, anak-anakku ketakutan. Spontan aku berteriak, “ Siapa kau?  Bagaimana engkau berani datang ke rumahku dan membuat takut anak-anakku?! Pergilah dari sini sekarang juga!”

Dengan tenang ia menjawab, “Mohon maaf, sepertinya aku salah alamat.”

Setelah itu, ia segera pergi dan menghilang dari pandangan kami.

Beberapa hari yang lalu, aku menerima undangan reuni dari kawan-kawan sekolah. Aku berniat untuk datang. Aku katakan kepada suami bahwa aku akan melakukan perjalanan dinas.

Setelah acara reuni, aku mengunjungi rumah yang pernah aku tinggali, karena didorong oleh rasa penasaran dan ingin tahu.

Tetangga-tetangga di sana mengatakan bahwa ibu telah meninggal dunia. Saat mendengar berita tersebut, aku hanya diam bahkan tidak setetes pun airmata yang keluar dari mataku.

Mereka memberikan surat dari ibuku kepadaku. Ibuku telah menitipkannya kepada tetangga untuk memberikannya kepadaku. Aku membukanya dan membaca isinya:

“Anakku tercinta! Aku selalu memikirkanmu. Maafkan aku karena telah datang ke rumahmu di Singapura dengan tiba-tiba dan membuat anak-anakmu ketakutan.

Aku sangat bahagia saat mendengar bahwa engkau akan datang ke sini, akan tetapi mungkin saat itu aku tidak bisa berdiri untuk melihatmu.

Saat engkau tumbuh besar, ada perasaan bersalah karena aku selalu membuatmu malu dengan kondisiku yang seperti ini.

Apakah engkau mengetahui bahwa saat engkau masih sangat kecil, engkau mengalami sebuah kecelakaan dan salah satu matamu tidak dapat diselamatkan?

Sebagai seorang ibu, aku tidak dapat membayangkan bahwa engkau akan tumbuh dewasa dengan satu mata. Oleh karena itu, aku memberikan sebelah mataku kepadamu.

Sebuah kebanggaan bila anakku dapat melihat dengan sempurna dunianya yang baru. Aku relakan itu semua demi engkau. Dan aku lakukan semuanya dengan rasa cinta dan kasih kepadamu.”

Tak terasa air mataku menetes dan Tina pun menangis tersedu-sedu. Dia hanya bisa menangis dan menyesali semua perbuatannya.

Ibu… oh ibu…

Seorang ibu memiliki hati yang sangat luas. Di sanalah engkau senantiasa dapat menemukan pemaafan dan ampunannya.

Imam Shadiq a.s. berkata, “Seorang lelaki datang kepada Nabi saw. dan berkata, “Wahai Rasulallah! Kepada siapa aku harus berbuat baik?”

Nabi saw. menjawab, “Kepada ibumu.”

Lelaki itu bertanya kembali, “Setelah itu kepada siapa?”

“Kepada ibumu,” sahut Nabi saw.

Lelaki itu bertanya untuk ketiga kalinya, “Kepada siapa lagi setelah itu?”

Nabi saw. tetap menjawab, “Kepada ibumu.”

Untuk keempat kalinya, Nabi saw. bersabda, “Berbuat baiklah kepada ayahmu!””

Dalam riwayat lain dikisahkan:

Suatu hari, seseorang berkata kepada Nabi Muhammad saw., “Wahai Utusan Allah! Ibuku sudah berusia lanjut. Ia hidup dan tinggal bersamaku. Aku menggendongnya ke mana-mana di punggungku. Aku penuhi kebutuhan hidupnya. Aku merawat dan menjaganya dengan kedua tanganku. Aku berperilaku di hadapannya dengan sangat beradab dan penuh penghormatan. Apakah sejauh ini aku telah membalas jerih payahnya?”

Nabi saw. bersabda, “Belum, karena dahulu rahimnya menjadi tempat tinggalmu, susunya menjadi sumber penghidupanmu, kakinya menjadi saranamu untuk bergerak, tangannya menjagamu, dan pelukannya menjadi buaianmu. Semua itu ia lakukan dengan suka rela demi kamu dan ia berharap supaya kamu tetap hidup (sehat); sementara itu kamu merawat ibumu sambil menanti kematiannya.

Ya Allah ampunilah dosaku dan dosa kedua orang tuaku, Sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku di waktu kecil.

No comments

LEAVE A COMMENT