Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Antara Mas Kawin, Hantaran dan Pesta Pernikahan

  1. Pesta Pernikahan

Ketika saya sedang cek Facebook, tiba-tiba kotak pesan menunjukkan angka 1 dengan latar warna merah. Timbul rasa ingin tahu dalam diri saya, pesan dari siapa gerangan? Tertulis nama teman lama yang saya kenal cukup baik dan cantik. Ketika saya baca, isinya undangan pernikahannya dengan fulan, pada tanggal sekian di tempat yang ditentukan. “Datang ya Kak!”, tulis teman saya di akhir pesannya yang dikirim seminggu sebelum hari pernikahan. Saya jawab: “Insya Allah”, sambil berniat menghadiri undangannya. Obrolan berlanjut hingga beberapa menit, karena ternyata kami berdua online dalam waktu yang sama. Setelah itu saya tersenyum dan bersyukur atas kemajuan terknologi yang dapat dinikmati sekarang. Bisa dapat undangan dan sekaligus ngobrol dengan calon pengantin. Satu hal yang dulu tidak mudah untuk dilakukan. (Baca: Pesan Imam Ali Khamenei tentang Pernikahan)

Biasanya pada Bulan Haji yang baru saja berlalu, kita mendapat banyak undangan untuk menghadiri pesta atau resepsi perkawinan. Bulan Dzulqaidah dalam kalender Hijriah populer dengan sebutan ‘Bulan Haji” di masyarakat Indonesia. Tradisi masyarakat untuk melaksanakan pesta pernikahan pada hari baik bulan baik ini telah lama dan masih berlangsung hingga sekarang. Karena itu, pada bulan-bulan tertentu pesta perkawinan tidak banyak dilaksanakan bahkan tidak lazim. Misalnya, pada bulan Muharram dalam kalender Hijriah atau dikenal dengan Bulan Suro di sebagian besar tradisi Indonesia. Seperti diketahui, Muharram merupakan bulan duka bagi keluarga Nabi sallahu alaihi wa alih, maka tidaklah patut bagi pengikutnya untuk berpesta. Menjadi menarik ketika nilai spiritual pecinta Ahlul Bait Nabi sallahu alaihi wa alih bahkan telah termanifestasi dalam kearifan lokal budaya Indonesia.

Hampir dalam semua budaya pesta pernikahan memilki tempat khusus. Perayaan ini menjadi media penyampaian kepada khalayak tentang dimulainya kehidupan bersama antara pasangan suami istri baru. Pesta pernikahan dilaksanakan dengan gembira dan semua orang berusaha tampil dengan pakaian bagus dan indah. Di masyarakat, pesta ini menjadi penguat pentingnya penyatuan pasangan dan pertautan kekerabatan secara resmi dan sah. Ajaran Islam menganjurkan perayaan perkawinan sebagai media peresmian penyatuan pasangan dalam bentuk jamuan makan umum[1]. Dapat dinyatakan bahwa, pesta perkawinan memiliki tempat penting pada masyarakat yang membatasi hubungan lawan jenis pra nikah. Bahkan masyarakat yang membiarkan hubungan seksual tanpa legalitas formal seperti di Barat, pesta perkawinan  masih memiliki tempat istimewa. (Baca: Pernikahan Surgawi)

  1. Mahar

Dalam setiap tradisi dan budaya, perkawinan selalu beriringan dengan pemberian harta atau benda bernilai yang biasa disebut mas kawin. Mahar atau mas kawin diberikan pihak mempelai laki-laki (keluarganya) kepada pengantin perempuan (keluarga perempuan) pada waktu tertentu. Kadang pemberi mahar adalah pihak keluarga atau mempelai perempuan. Pada cakupan yang lebih luas mahar bisa dalam bentuk perjanjian untuk melaksanakan pekerjaan tertentu selama beberapa waktu. Kisah Nabi Musa as dalam al-Quran mengingatkan kita akan hal ini. Secara sosial, sosiolog menjelaskan mahar berfungsi sebagai garansi secara ekonomi bagi perempuan ketika terjadi perceraian atau kematian suami. Mahar juga berperan dalam meningkatkan kerukunan dan kelanggengan keluarga.

Dalam ajaran Islam, ketika diberikan, mahar otomatis menjadi milik pengantin perempuan dan keluarganya tidak memiliki bagian. Berdasarkan ayat dan riwayat yang berkaitan dengan jumlah mahar, Islam tidak memandang peran sosial mahar ini sebagai prinsip. Karena garansi ekonomi tentunya berhubungan dengan besaran dan jumlahnya. Sedangkan mahar yang tinggi merupakan hal yang tidak disepakati dalam beberapa riwayat[2]. Bahkan terdapat anjuran mahar dalam bentuk yang tidak memiliki nilai ekonomis seperti mengajarkan al-Quran  kepada pengantin perempuan. Penjelasan peran mahar dapat merujuk pada pendapat Syahid Muthahari bahwa tradisi mahar berkaitan dengan faktor alamiah dan psikologis. Bahwa laki-laki mengekspresikan kecenderungannya terhadap lawan jenis secara terbuka dan berusaha untuk mendapatkannya. Untuk meraih hati pujaan hatinya, laki-laki melakukan sesuatu seperti memberi hadiah. Ketika merasa terhormat dengan pemberian tersebut, perempuan akan menerima seseorang yang melamarnya. (Baca: Fikih Quest 65: Talak dan Rujuk)

  1. Hantaran

Selain mahar, dalam tradisi masyarakat Indonesia baiasanya masih ada lagi yang diberikan kepada calon pengantin. Baik itu pemberian dari pihak laki-laki kepada perempuan atau sebaliknya, seperti uang japuik di Pariaman yang diberikan kepada mempelai laki-laki. Bentuk hantaran ini sangat bergantung pada adat-istiadat pada setiap budaya, etnik dan suku yang sangat beragam. Selain dalam bentuk uang, kadang hantaran ini berupa perlengkapan kehidupan keluarga seperti perabotan rumah tangga.

Pada zaman dahulu hantaran ini berfungsi sebagai jaminan ekonomi bagi perempuan ketika suaminya meninggal. Karena pada masa itu, wanita tidak memiliki hak waris atas harta suami dan harta ayahnya sendiri. Tradisi yang hingga saat ini masih terus berlangsung menjadi simbol kedudukan ekonomi dan sosial. Semakin besar jumlah uang hantaran akan menunjukkan tingginya kedudukan ekonomi dan sosial seseorang. (Baca: Kisah Sepasang Pengantin)

Dalam ajaran Islam, pemberian uang hantaran ini tidak mendapat penguatan seperti halnya mahar. Tradisi ini hanya dianggap sebagai kebiasaan umum di masyarakat dan semata untuk membantu kondisi ekonomi keluarga yang baru dibangun. Tidak ada keharusan secara hukum bagi keluarga mempelai untuk menyediakannya. Sebagaimana pada teladan pernikahan Sayyidah Fatimah az-Zahra salamullah alaiha dengan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib alaihi salam yang dipuji di langit dan di bumi. Perabotan rumah tangga yang sederhana dibeli dari uang mahar yang diberikan oleh Imam Ali alaihi salam. Namun seiring perkembangan zaman, biaya hantaran (atau dalam istilah adat lainnya seperti: sinamot, uang panai, bowo, dan seterusnya) menjadi semakin tinggi. Tingginya biaya-biaya tradisi ini menjadi masalah bagi pemuda untuk menikah. Kesulitan untuk memenuhi pengeluaran uang hantaran yang besar menjadi salah satu penyebab tertundanya perkawinan dan mundurnya usia menikah.

 

Catatan Kaki:

[1] Rujuk Kitab Wasail as-Syiah, jil.14: 56

[2] Rujuk Kitab Wasail as-Syiah, jil. 15: 9 “باب 5 : استحباب قلة المهر وكراهة كثرته”


No comments

LEAVE A COMMENT