Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan kelengahan, dan permainan. Dan sesungguhnya negeri akhirat, dialah kehidupan sempurna, jika mereka mengetahui. (QS. al-Ankabut: 64)
Ayat di atas menjelaskan hakikat kehidupan dunia dengan membatasi lingkupnya pada sekadar kelengahan dan permainan belaka, sedangkan hakikat kehidupan akhirat dibatasi sebagai satu-satunya kehidupan yang hakiki.
Kata permainan (la’ib) pada ayat di atas dipahami sebagai bentuk suatu atau beberapa kegiatan yang teratur sedemikian rupa tetapi bersifat khayali, yakni tidak ada wujudnya dalam kenyataan dan untuk tujuan yang khayali pula. Kehidupan dunia dinamai permainan karena dia akan lenyap, segera hilang seperti halnya anak-anak, berkumpul bermain dan bergembira sesaat, kemudian berpisah dan alangkah cepatnya mereka berpisah.
Kebanyakan tujuan yang dipersaingkan oleh orang-orang yang bersaing dan diperebutkan oleh orang-orang zalim adalah persoalanpersoalan yang bersifat waham (sangkaan yang tidak berdasar dan tanpa memiliki wujud yang nyata) serta fatamorgana, seperti harta benda, pasangan, anak-anak, keanekaragaman dalam kedudukan, kepemimpinan, pendukung, dan pengikut. Manusia tidak memiliki hal-hal tersebut kecuali dalam wadah waham dan khayal.
Baca: Kesesuaian Alquran dengan Kondisi Jiwa dan Obat Penawar Segala Macam Penyakit
Adapun kehidupan akhirat, dimana manusia akan hidup dalam kesempurnaannya yang nyata dan yang diperoleh berkat iman dan amal salehnya, maka itu adalah kegiatan penting yang tiada kelengahan terhadap hal penting lain bila dilakukan oleh manusia. Dia adalah keseriusan yang tidak disertai oleh permainan, tidak juga ada kesia-siaan atau dosa. Kehidupan akhirat adalah kekekalan tanpa kepunahan, kelezatan tanpa disertai kepedihan, kebahagiaan yang luput dari segala kesengsaraan. Itulah hidup dalam maknanya yang hakiki.
Dan tempat untuk orang yang lalai dengan lebih mengutamakan kehidupan dunia kelak di akhirat adalah neraka. Allah Swt menegaskan bahwa neraka adalah tempat yang dijadikan-Nya sebagai tempat penyiksaan manusia dan jin. Dia berfirman: Allah berfirman:
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti bina tang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (QS. al-A’raf: 179)
Tujuan dari Allah Swt menciptakan manusia adalah untuk mencurahkan kepada manusia rahmat dan karuniaNya serta memasukkannya ke dalam surga, dan bagi manusia yang durhaka dimasukannya ke dalam neraka, meski sebenarnya rencana pokoknya adalah memasukkan semuanya ke dalam surga. Rencana yang digariskan-Nya pertama kali adalah rencana utama dan bertujuan menyempurnakan manusia, sedangkan rencana kedua adalah konsekuensi dari tidak berhasilnya keseluruhan rencana pertama. Ketetapan-Nya dalam menentukan kebahagiaan dan kecelakaan manusia di akhirat kelak termasuk ke dalam tujuan kedua-Nya ini.
Allah Swt Maha Mengetahui nasib seluruh makhluk-Nya; Dia mengetahui siapa yang selamat dan siapa yang celaka. Dengan kata lain, Dia berkehendak menetapkan tujuan yang bersifat sekunder, di samping tujuan pokok-Nya. Maka, berdasarkan tujuan-Nya yang bersifat sekunder inilah Allah Swt berfirman: “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia.”
Firman-Nya yang menyatakan: Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah) adalah isyarat tentang tidak adanya kesiapan orang-orang durhaka untuk memperoleh curahan rahmat dan keagungan Allah Swt yang mereka saksikan tidak dapat mengetuk pintu hati mereka.
Nasihat-nasihat yang mengajak mereka ke jalan kebenaran, serta seruan hati nurani dan fitrah mereka tidak dapat membuat mereka tergugah sedikit pun. Sebenarnya baik mata, telinga maupun fitrah seseorang tidaklah akan menjadi rusak dan kehilangan fungsinya selandainya bukan manusia sendiri yang merusaknya. Allah Swt telah menciptakan fitrah dan seluruh indra manusia dalam keadaan sempurna, seperti yang Dia firmankan: “Tidak ada perubahan pada ciptaan (fitrah) Allah.” (QS. ar-Rum: 30)
Pada ayat lain Dia berfirman: “Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekalikali tidak akan mengubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada sesuatu kaum, hingga kaum itu merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. (QS. al-Anfal: 53)
Allah Swt telah mematikan fungsi serta potensi diri dalam menerima kebenaran pada diri mereka yang durhaka dan kafir, bahkan membuat rusak seluruh amal perbuatan mereka, demikian pula hati dan mata mereka, sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. Mereka telah mengubah nikmat Allah Swt dengan jalan mengubah jalan penghambaan terhadap-Nya, dan Allah membalas mereka dengan mengunci mati hati mereka sehingga mereka tidak lagi dapat memahami tanda-tanda kebesaran Allah Swt dengan hati mereka itu, menutup penglihatan mereka sehingga tidak dapat melihat tanda kekuasaan-Nya, serta menutup pendengaran mereka sehingga mereka tidak dapat mendengar petunjuk-Nya.
Firman-Nya: “Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai akibat dari balasan Allah Swt yang mengunci mati hati, pendengaran serta penglihatan mereka.”
Baca: 10 Faktor yang Mendatangkan Ampunan dalam Alquran
Ayat di atas menjelaskan bahwa mereka yang kafir telah kehilangan ciri-ciri yang dapat membedakan mereka dengan binatang ternak, yaitu bahwa mereka tidak dapat membedakan antara yang baik dengan yang buruk, yang bermanfaat dan yang tidak melalui sarana hati, pendengaran serta penglihatan, dalam rangka mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan hidupnya. Mereka diserupakan dengan binatang ternak bahkan lebih sesat, tidak dengan binatang-binatang buas seperti serigala misalnya, karena manusia memiliki sifat yang mirip dengan binatang ternak.
Kegemaran menikmati makanan adalah ciri utama binatang ternak, sebagaimana kekuatan syahwat yang membuat manusia tertarik akan segala sesuatu telah menciptakan kegemaran dalam meraih manfaatmanfaat meski bersifat sesaat daripada menolak bahaya. Inilah yang digambarkan oleh firman Allah Swt yang menyatakan: “Dan orang-orang yang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang. Dan neraka adalah tempat tinggal mereka. (QS. Muhammad: 12)
*Disarikan dari buku karya Alamah Sayyid Husein Thabathaba’i – Ada Apa Setelah Mati