Tauhid dalam Perbuatan
Hanya kepada-Mu kami meminta dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.
Surah al-Fatihah dapat kita pilah dalam dua bagian. Bagian pertama terdiri dari awal surah sampai ayat: Maliki yawmiddin (Penguasa semesta alam). Ayat: Maliki yawmiddin, berbicara tentang tauhid secara nazhari (teoretis), yaitu Allah Swt, rahmat-Nya, puji-pujian untuk-Nya dan prinsip bahwa Dia adalah Penguasa seluruh alam. Bagian kedua diawali dari ayat: lyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in, sampai akhir ayat. Bagian ini berbicara tentang tauhid amali. Artinya, setelah menerima dasar-dasar teoretis serta pengetahuan mabda (originologi) dan ma’ad (eskatologi), manusia harus memasuki dan mengusung aspek praktis dari tauhid. Dengan kata lain, tauhid yang dimaksud harus menyeluruh, baik dalam tataran konsep, juga dalam tataran amal (perbuatan).
Ayat ini ingin mengajarkan kebebasan hakiki pada manusia Jika manusia hanya diperintah untuk menyembah Allah Swt, itu artinya manusia tidak perlu menyembah selain Tuhan. Sebagian besar orang-orang yang tidak menyembah Allah Swt mengklaim bahwa dirinya memiliki kebebasan absolut. Mereka tidak terikat pada sesuatu apa pun dan dapat melakukan apa pun sesuai hasrat dirinya sendiri. Namun, jika saja mau jujur, ternyata mereka (orang-orang yang tidak menyembah Allah Swt dan menolak menjalankan ritual-ritual syariat yang diperintahkan-Nya) terjatuh dalam penyembahan kepada sesuatu yang lain. Mereka boleh jadi malah mempertahankan dirinya (egosentris), keinginannya (egoisme), hawa nafsunya, atau secara tidak sadar-karena takut mempertahankan elite-elite penguasa zalim yang jelas-jelas suka mengobral hawa nafsunya.
Baca: Hidup dengan Tuntunan Surah al-Fatihah (1)
Islam menyampaikan pelajaran abadi bahwa manusia hanya boleh menundukkan dirinya kepada Zat Yang Maha Berkuasa dan Menguasai perbendaharaan hikmah-hikmah serta Mahasempurna. Semua keindahan dan kesempurnaan yang terdapat dalam kehidupan ini semata-mata berasal dari-Nya.
Ketika mengikrarkan bahwa kita hanya menyembah kepada-Nya, kita mengakui bahwa kita hanya taat kepada-Nya sekaligus dan menghormati-Nya. Ini bukan berarti kita tidak boleh mematuhi orang tua, guru, atau tokoh pemuka Islam (ulama). Justru ketaatan kepada mereka sangat dianjurkan asalkan tidak bertentangan dengan ketaatan kepada Tuhan. Ini disebabkan kita mengingat bahwa Tuhanlah yang pertama kali menyuruh kita untuk menaati mereka.
Kita mengatakan dengan penuh kemantapan bahwa semua kekuatan bersumber dari kekuatan-Nya. Api mampu menyengat dan membakar, air memiliki kemampuan untuk menghilangkan rasa haus, tanah membantu pepohonan mengeluarkan buahnya; semua daya dan kemampuan itu sebenarnya tidak berarti tanpa kekuatan sumbernya, yaitu Allah Yakinkan sepenuh hati bahwa Kekuatan Sejati hanyalah milik Tuhan semata.
Tunjukilah Kami Jalan yang Lurus
Bagian kedua dari surah al-Fatihah berbicara tentang ketegasan dan monoteisme (ketauhidan) dalam beribadah, Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.. Lalu, kita juga memohon kepada Allah Swt agar berkenan menunjukkan kita jalan yang lurus. Ini adalah permohonan yang pertama kali keluar dari mulut seorang hamba. Doa ini sangat penting, bahkan mengalahkan doa-doa kebaikan lainnya.
Dalam kehidupannya, setiap manusia pada dasarnya memiliki jalan hidup sendiri-sendiri. Jalan hidup manusia adalah amal, pikiran dan ucapan-ucapannya. Setiap orang memiliki jalan yang khas dan unik, yang berbeda satu sama lain. Jalan ini mulai ditata sejak awal kehidupannya. Manusialah sebenarnya yang membuat jalan tersebut. Tetapi harus disadari bahwa tidak setiap jalan merupakan jalan yang lurus. Kebanyakan jalan tidaklah lurus, mencelakakan dan menjerumuskan. Hanya satu jalan yang dapat mengantarkan manusia kepada Allah Swt, yaitu siratalmustakim.
Siratalmustakim adalah jalan keseimbangan. Ia juga merupakan jalan paling cepat dan tepat untuk mengantarkan manusia pada titik kesempurnaan. Barangkali muncul pertanyaan, “Apa yang harus dilakukan agar tidak menyimpang dari jalan yang lurus?” Jawabannya, kalau ingin selalu berada di jalan yang lurus, kita harus selalu taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Siratalmustakim adalah agama itu sendiri. Saat kita berdoa agar ditunjuki jalan yang lurus, artinya kita memohon agar Allah Swt memberikan taufik kepada kita dalam beragama. Keberagamaan seseorang tidak akan terjamin tanpa memiliki keyakinan kepada para Imam suci.
Di zamannya, Nabi Saw adalah Imam itu sendiri. Adapun kepemimpinan umat pasca wafatnya beliau Saw digenggam oleh para Imam a.s. yang merupakan manusia-manusia suci yang ahli takwa lagi alim. Imam (pemimpin) kaum muslim adalah tipe manusia sempurna yang selalu menapaki jalan yang lurus. Taat kepada para Imam suci, artinya taat pada siratalmustakim.
“Tunjukilah kami kepada jalan yang lurus. (Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka dan bukan pula jalan orang-orang yang Engkau benci dan bukan jalan orang-orang yang sesat.”
Manusia Siratalmustakim
Ayat ini merupakan tafsiran bagi siratalmustakim. Jalan yang lurus, siratalmustakim, adalah jalan bagi orang-orang yang telah diberi nikmat dan karunia oleh Allah Swt. Dalam ayat-ayat Alquran, berulang kali dibicarakan status orang-orang yang diberi nikmat dan karakter manusia-manusia yang memperoleh jalan yang lurus. Misalnya, dalam surah an-Nisa, ayat ke-69, “Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu akan bersama sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pencinta kebenaran (shiddiqin), orang yang mati syahid dan orang orang saleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”
Baca: Keagungan Alquran menurut Ayat Alquran
Alquran juga berulang-ulang menjelaskan tentang manusia-manusia yang dimurkai dan yang sesat. Mereka adalah orang-orang yang mengingkari kebenaran, kaum kafir, musyrik, mempertahankan akidah yang batil dan menutupi jalan bagi selainnya.
*Disadur dari buku Selalu Bersama Alquran – Ghulam Ali Haddad