Ada seseorang yang mengadukan kenakalan anaknya kepada Imam ar-Ridha as., lalu Imam ar-Ridha as. berkata:
“لا تضربه و اهجره ولاتطل” [1]
Jangan engkau pukul tapi marahilah tapi kemarahanmu tidak boleh terlalu lama (misalnya seorang ayah menjadi penengah supaya anaknya minta maaf dan berjanji untuk tidak mengulangi perbuatannya).
Dalam Islam,hukuman fisik terhadap anak dianggap sebagai jalan terakhir yang boleh ditempuh bila memang memberikan dampak pendidikan. Namun bila pemukukan itu menyebabkan lebam maka hukumnya haram dan tidak diperbolehkan serta pelakunya harus membayar diat.
Hukuman terhadap anak itu minimal ada dua bentuk: hukuman psikologis dan hukuman fisik. Hukuman psikologis itu banyak bentuknya, misalnya: mengeluarkan kata-kata buruk dan tidak pantas kepada anak, menghina, mencela/memaki, membandingkan antara satu anak dan anak lainnya, memisahkan tempat satu anak dengan anak–anak lainnya, tidak mengajak bicara (mendiamkan). (Baca: Menghilangkan Pola Komunikasi Buruk)
Hukuman fisik pun dapat dibagi dua: 1) Hukuman fisik ringan dan biasa, seperti menjewer dan memukul serta mencubit dengan pelan tanpa meninggalkan bekas memar dan luka. 2) Dan hukuman fisik keras dan berat, seperti memukul dengan keras yang meninggalkan luka atau memar di badan.
Nabi saw bersabda: “Perintahkan anak-anak kalian untuk mengerjakan salat saat mereka berusia tujuh tahun dan pukullah (beri peringatan—pen.) mereka ketika meninggalkan salat saat mereka berusia tujuh tahun.” (Misykatul Mashabih, 572).
Secara umum, para fukaha (ahli fikih Islam) bersepakat perihal bolehnya penggunaan tanbih (peringatan/hukuman) kepada anak-anak. Namun mereka menetapkan sejumlah syarat ketat yang mesti diperhatikan oleh wali anak ketika ia menggunakan tanbih.
Sebagian fukaha Islam membolehkan pemukulan yang wajar (ringan) kepada anak dengan syarat tidak boleh memukul sampai meninggalkan merah, lebam (biru kehitam-hitaman) dan abu-abu pada badan atau kulit. (Baca: Menciptakan Suasana Surgawi di Rumah)
Banyak Maraji’ taklid, di antaranya Ayatullah Sayyid Ali Khamene’i yang tidak membolehkan pemukulan terhadap wajah. Para maraji’ fatwa mengatakan bahwa memukul wajah yang menyebabkannya lebam, tanpa melukainya dan membuatnya memar, harus dihukum dengan diat (denda) sebesar 6 Dinar (satu Dinar sama dengan satu mitsal emas dan satu mitsal sama dengan empat setengah gram), dan bila wajah yang dipukul itu abu-abu dan tidak lebam maka dikenakan diat sebesar 3 Dinar dan bila wajah yang dipukul itu memerah maka dikenakan diat 1/5 Dinar. Dan diat memukul ke bagian-bagian badan lainnya itu sebesar setengah dari diat-diat sebelumnya. Jadi, kalau badan menjadi lebam maka dikenakan diat tiga Dinar dan bila abu-abu maka diatnya 1/5 Dinar dan bila memerah maka diatnya ¾ Dinar. Dalam diat ini, tidak ada perbedaan antara laki dan perempuan dan antara anak kecil dan orang dewasa.[2]
Jadi, sesuai dengan fatwa maraji’ taklid, memukul wajah yang menyebabkan kemerahan atau kelebaman atau kehitaman wajah berdampak pada keharusan memberikan diat khusus. Bila tidak demikian (tiga akibat tersebut tidak ada, yaitu kemerahan,kelebaman dan kehitaman) maka tidak ada diat. Dan bila anggota yang lain selain wajah yang dipukul sehingga warna kulit memerah atau lebam atau menghitam maka diatnya setengah diat wajah.
Bila memang memukul ke area wajah tidak menyebabkan tiga akibat tersebut maka tidak ada keharusan membayar diat namun pemukul harus meminta rida(maaf) kepada korban.[*]
[1] Bihar al-Anwar, juz 101, hlm.99
[2] Silakan lihat: توضیح المسائل مراجع، ج 2 ، ص 830 ، چاپ 14، نشر دفتر جامعه مدرسین حوزه قم ، 1384 .
Baca: “Bagaimana Menghadapi Anak Balita yang Sering Mengamuk?“