Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Makna Kawan Menurut Imam Ali a.s.

Imam Ali bin Abi Thalib a.s. dalam Nahjul Balaghah menyatakan, “Kawanmu ada tiga dan musuhmu ada tiga pula. Kawanmu; kawanmu sendiri, kawan dari kawanmu, dan musuh dari musuhmu. Sementara musuhmu; musuhmu sendiri, musuh dari kawanmu dan kawan dari musuhmu.”[1]

Dari pernyataan Imam Ali a.s. di atas, kita perlu memperoleh informasi lebih jauh siapakah sejatinya kawan dan musuh sejati yang dimaksud. Apakah 3 jenis kawan dan musuh dalam ungkapan yang sedemikian singkat itu berlaku hitam-putih? Ketika seseorang menunaikan haji ke Baitullah misalnya, apakah serta-merta dapat dianggap berada di barisan musuh, karena rezim Saudi Arabia jelas memerangi bangsa Yaman? Atau contoh lain yang bersifat kekinian di tengah pergolakan politik pilpres di Tanah Air kali ini; dapatkah dianggap mereka yang berbeda pilihan politik, otomatis merupakan musuh satu sama lain?

Untuk menghindari salah tafsir lebih jauh, marilah kita telisik lebih jauh penjelasan makna kawan menurut Imam Ali dalam riwayat-riwayat lainnya.

Sesungguhnya perkawanan itu nikmat dari Allah bagi manusia, sehingga mereka patut menghormati dan menghargai nikmat yang telah Allah karuniakan tersebut. Semua orang tidak mungkin hidup tanpa ada orang lain yang peduli padanya, menjaga berbagai rahasianya, dan memerhatikan bermacam kesedihan yang dia pendam dalam dirinya. (Baca: Kisah Dua Sahabat)

Seorang kawan sejati laksana saudara baginya, membantunya untuk dapat melalui setiap kondisi yang dihadapinya dalam suka dan duka. Imam Ali a.s. berkata, “Kawan yang dapat dipercaya adalah sebuah anugerah.”[2] Dalam riwayat lain beliau mengatakan, “Seseorang belum dapat dikatakan sebagai kawan hingga dapat menjaga saudaranya dalam 3 hal; kesedihannya, ketidak-hadirannya dan wafatnya.”[3]

Imam Ali a.s. menjelaskan kepada kita beberapa karakter penting dalam perkawanan dan persaudaraan hakiki, yang harus dimiliki oleh setiap orang yang memilih untuk berkawan agar tercipta hubungan perkawanan yang berhasil dan abadi. Salah satu karakter itu adalah hendaknya dia menjaganya ketika kawannya tidak berada di dekatnya. Jika mendengar kawannya dijelekkan (orang lain), dia meluruskannya. Dia juga akan menasihati serta mengarahkan jika kawannya terjerumus dalam kesalahan. Dia menerima nasihat dari orang lain, menjenguknya ketika sakit, menyertainya dalam suka-dukanya, bahkan dia tetap setia hingga setelah wafatnya. Kawan selayaknya laksana bayangan yang selalu ada baginya, yang menyebarkan bermacam kebaikannya, menutupi berbagai keburukannya dan tidak mengumbar keburukan itu kepada orang lain, menerima permintaan maafnya, memaafkannya, meluruskannya dan memercayainya. (Baca: Isu Melaknat Sahabat, dari “Divide and Rule” menjadi “Divide and Destroy”)

Jika semua itu telah dilakukan dengan tulus, itulah kawan sejati. Diriwayatkan dari Imam Ali a.s.:, “Seseorang dapat dikatakan sebagai kawan ketika dia dapat meluruskanmu bagi dirimu dan bagi keburukanmu. Jika dia telah melakukan demikian, nobatkanlah dia sebagai kawan.”[4]

Seorang kawan tidak boleh sering mencela dan saling menyalahkan di antara mereka, demi menjaga kelanggengan hubungan perkawanan tersebut, serta demi kesinambungan hubungan sosial antar sesama kawan. Hendaknya dia melupakan berbagai kesalahan padanya, tetap bersabar jika dia melakukan kesalahan tanpa sengaja. Dalam hal ini diriwayatkan dari Imam Ali a.s., “Seorang yang tidak mampu menanggung kesalahan kawannya, dia akan mati seorang diri.”[5]

Jika dia melakukan sesuatu yang menyebabkan murka Allah, kawannya segera menasihatinya dan mengarahkannya kepada kebenaran. Dia takkan membiarkannya (dalam kondisi tersebut-pent), kecuali bila dia menolak nasihatnya atau terus melakukan kesalahan tersebut. Imam Ali a.s. berkata, “Tidak ada kebaikan bagi seorang yang menjauhi saudaranya tanpa kesalahan.”[6]

Karakter lain bagi kawan sejati adalah; hendaknya peduli dengan persoalan kawannya. Karakter ini harus ada pada kawan sejati, hal yang sangat ditekankan oleh Ahlulbait a.s. sebagaimana diriwayatkan dari Imam Ali a.s., “Sesiapa yang peduli kepadamu, dialah kawanmu.”[7] (Baca: Pesan Ayah Imam Jafar untuk Hormati Kawan)

Demikian juga, di antara karakter kawan sejati adalah; membantunya dalam menunaikan kebutuhannya, mempersembahkan segala yang dia mampu lakukan, selalu mendorongnya untuk melakukan hal-hal baik yang diridai Allah, dan menghalanginya dari melakukan keburukan dan dari kawan yang jahat. Diriwayatkan dari Imam Ali a.s., “Kawanmu adalah seorang yang melarangmu dan musuhmu adalah seorang yang menjerumuskanmu.”[8]

Seorang Mukmin sangat dianjurkan memilih kawan dengan beberapa karakter tersebut di atas. Bila dia sedang marah kepadamu lebih dari sekali, dia tidak mengumbar keburukanmu, maka dia layak untuk kau jadikan kawanmu. Diriwayatkan dari Imam as-Shadiq a.s., “Jika kau membuat marah saudaramu 3 kali, namun dia tidak mengatakan hal buruk tentangmu, maka jadikan dia kawanmu.”[9]

Kedudukan Agung Seorang Kawan

Kawan sejati memiliki kedudukan yang agung, demikianlah yang dijelaskan dalam berbagai ucapan Ahlulbait Nabi a.s., yaitu seseorang lebih mendahulukan untuk meminta pertolongan kepada kawannya daripada keluarganya. Diriwayatkan dari Imam as-Shadiq a.s., “Sungguh agung kedudukan seorang kawan, sehingga penghuni neraka memohon pertolongan kepadanya dan menyerunya sebelum kerabat terdekatnya.”[10]

Salah satu manfaat perkawanan sejati adalah sebagaimana yang diriwayatkan dari Imam Ali bin Musa ar-Ridha a.s., “Sesiapa yang memiliki kawan di jalan Allah, dia telah memiliki sebuah rumah di surga.”[11]

Batasan Perkawanan

Tentu saja ada beberapa batasan dalam perkawanan. Jika batasan-batasan ini ada, hubungan itu dapat disebut sebagai perkawanan sejati. Imam Ja’far as-Shadiq a.s. saat menjelaskan kepada kita tentang batasan-batasan tersebut, beliau berkata,  “Bukanlah sebuah perkawanan kecuali ia memiliki batasan-batasan. Jika di dalamnya terdapat batasan ini atau sebagiannya, ia dapat disebut sebagai perkawanan, dan jika tidak ada, ia tidak dapat disebut sebagai perkawanan. Pertama; adanya persamaan rahasia dan yang tampak antar keduanya; kedua; dia menganggap hiasanmu sebagai hiasannya dan memandang aibmu sebagai aibnya; ketiga; kedudukan dan harta tidak mengubah sikap keduanya; keempat; dia tidak menghalangimu atas sesuatu yang dapat engkau gapai; kelima; setelah dia memiliki karakter tersebut, hendaknya dia tidak membiarkanmu dalam kesedihan.”[12]

Dari penjelasan makna kawan di atas, tentunya kita dapat meninjau kembali siapakah kawan kita atau kawan bagi komunitas kita. Dalam urusan kontestasi politik dalam negeri yang dalam beberapa bulan terakhir kian tampak terpolarisasi pada dua kutub ekstrem misalnya, adakah kawan sejati yang benar-benar kawan dan sebaliknya, adakah musuh sejati yang benar-benar musuh? Bukankah terlepas dari beda pilihan politik, kita semua masih tetap dalam posisi sama sebagai satu bangsa? (Baca: MENGAPA MANIFESTO?)

Satu hal penting yang mungkin patut ditimbang ulang, apakah untuk urusan terkait pilpres atau penentuan pilihan kepemimpinan administrasi negara, kita sebagai sesama warga negara mesti terpecah belah dan saling bermusuhan, bahkan menganggap hal itu sebagai tak ubahnya urusan hidup-mati, dan pada saat yang sama seolah terkait langsung dengan urusan agama dan keimanan? Tidakkah sikap yang demikian dapat digolongkan sebagai sebentuk kenaifan, kalau tidak boleh disebut sebagai kebodohan?

Dalam peta politik internasional, apakah selamanya Turki atau Arab Saudi misalnya benar-benar memusuhi Iran secara ideologis? Ataukah memang sebenarnya hanya Amerika dan Israel satu-satunya musuh sejati pada abad ini dan yang lainnya tidak dianggap sebagai kawan oleh keduanya? Untuk mendapatkan jawaban yang lebih mendekati kebenaran, tentu hal ini memerlukan kajian politik yang lebih komprehensif.

Kemudian, bagaimanakah kita memperlakukan seseorang atau kelompok yang dianggap musuh kita? Apakah kita berhak memakinya? Bagaimanakah hal itu menurut timbangan Alquran? Sebut saja misalnya, surah Fussilat ayat 34, “Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang ada rasa permusuhan antara kamu dan dia seperti teman yang setia (waliyyun hamiim).” (Baca: Perbedaan antara Pertukaran Budaya dan Perang Budaya)

Sebagai penutup marilah kita menimbang sikap kita dengan ayat berikutnya, surah al-An’am ayat 108, “Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.”[*]

Catatan:

[1] Nahjul Balaghah, tahqiq Dr. Subhi as-Shalih, hikmah 295, h. 527-8, cet 4, 2005, Darul Kitab, Beirut, Lebanon.

[2] Ali bin Muhammad al-Laytsi al-Wasithi, ‘Uyun al-Hikam wa al-Mawa’izh, h. 467.

[3] Al-Hurr al-‘Amili, Hidayah al-Ummah ila Ahkam al-Aimmah, j. 5, h. 139.

[4] Muhammad Reysyahri, Mizan al-Hikmah, j. 2, h. 1589.

[5] Ibid, j. 1, h. 45.

[6] Syekh Hadi an-Najafi, Mausu’ah Ahadits Ahlil Bayt, j. 12, h. 17.

[7] Ibid, j. 6, h. 40.

[8] Syarh Nahjil Balaghah, Ibnu Abil Hadid, j. 20, h. 302.

[9] Al-Hurr al-‘Amili, Wasail as-Syi’ah, j. 12, h. 147.

[10] Allamah al-Majlisi, Bihar al-Anwar, j. 71, h. 176.

[11] Al-Hurr al-‘Amili, Wasail as-Syi’ah, j. 12, h. 16.

[12] Al-Faidh al-Kasyani, Al-Wafi, j. 5, h. 574.

Baca: Apa benar Syiah Mencaci Keluarga dan Sahabat Nabi saw ?

 

Written by
No comments

LEAVE A COMMENT