Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Manusia dan Krisis Yang Berkepanjangan

Tidak diragukan lagi, kehidupan manusia masa kini berbeda dengan kehidupan manusia zaman dulu. Kemajuan ilmu dan teknologi disebut-sebut telah mengubah bentuk kehidupan manusia secara keseluruhan, yang mampu mempersembahkan kesejahteraan serta kesenangan zahir baginya. Tetapi dalam waktu yang bersamaan, menurut pengakuan dari banyak pengamat besar psikologi dan sosiologi, seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut manusia juga menghadapi banyak problem. Problem berupa krisis-krisis kejiwaan baru yang membuatnya “melarikan diri”.

Apabila memerhatikan dengan seksama krisis manusia masa kini itu, semisal krisis pengetahuan, moral, psikologi, maknawi, dan ateisme, kita dapat memahami bahwa semua itu tumbuh dari “ketidaktahuan diri” atau tidak kenalnya manusia pada diri sendiri.

Krisis Pengetahuan

Sebagian orang berpendapat bahwa satu-satunya alat pengetahuan ialah indra dan eksperimen indriawi. Segala yang tidak dapat dijangkau oleh sentuhan indra dan eksperimen harus diingkari. Dengan ungkapan lain, mereka hanya meyakini alam yang bertempat dan bermasa, serta mengingkari perkara-perkara non-materi yang tidak dapat diketahui dengan panca indra. Mereka berusaha menerapkan metode mekanik dan ilmiah (yang menjelaskan setiap kejadian materi berdasarkan kejadian materi sebelumnya) dalam mengenal seluruh hakikat.

Baca: Hakikat Roh Manusia dalam Pandangan Islam

Metode ini mempertegas keterbatasan pengetahuan dalam lingkup eksperimen indriawi. Dan hasilnya, kenyataan yang tidak mengena dalam metode ini, (maka) tidak dapat diyakini. Konsekuensi dari metode ini adalah perkara­perkara non-materi akan keluar dari lingkup pengetahuan. Dan hasil dari pandangan semacam ini terhadap alat pengetahuan disebut materialisme.

Golongan lain, seperti sebagian dari rasionalis, lebih menegaskan kepada rasio dan akal. Dan golongan lain lagi, semisal sebagian dari para arif lebih menekankan syuhud irfani (penyaksian batin) dan sering melalaikan dua alat pengetahuan lain (indra dan akal).

Jika seseorang berpikir tentang dirinya dengan  benar, maka ia akan memahami bahwa alat indriawi dan eksperimen bukanlah satu-satunya alat pengetahuan. Sebab kemampuan akal dan penyaksian batin juga termasuk dalam alat pengetahuan. Manusia dengan bantuan kemampuan akal dapat menemukan jalan dari perkara indriawi menuju perkara non-indriawi, dan dengan bantuan penyaksian batin ia mampu menyaksikan perkara non-indriawi tanpa perantara. Oleh karena itu, pembatasan alat pengetahuan dalam indra, akal, dan penyaksian batin, berasal dari ketidakpahaman yang sebenarnya terhadap manusia.

Manusia harus mengakui adanya ketiga alat pengetahuan tersebut serta memperhitungkan kemampuan khusus dari setiap alat itu sebagai bagian lingkup pengetahuan. Begitu juga jika manusia melihat ke dalam diri dan memerhatikan rohnya yang non-materi, tentu ia tidak akan membatasi pengetahuan dan alat pengetahuan hanya pada sesuatu yang (bersifat) materi.

Sebaliknya, ia pasti juga akan mengakui dan menyatakan keberadaan hakikat yang non-materi. Karena itu, akan mustahil bagi manusia untuk menggali dan meneliti pengetahuan dan fenomena­fenomena semesta, baik di dalam maupun di luar dirinya, jika hanya dengan memilih satu alat pengetahuan, semisal indra yang memiliki kemampuan tertentu saja dalam pengetahuan. Selain itu, kita juga tidak dapat mengatakan bahwa satu-satunya laporan yang dibenarkan adalah yang dapat dibuktikan dengan eksperimen.

Hasil dari pemikiran eksperimentalisme ini adalah pengetahuan yang mana para ilmuwan mempersembahkan pengetahuan eksperimental dan berusaha mengintepretasikan seluruh pengetahuan tentang semesta dengan tafsiran materi. Bagaimanapun juga, sebagian dari para pemikir berpendapat demikian, bahkan dengan satu cabang ilmu seperti ekonomi, mereka mengarahkan semua eksistensi, agama sekalipun, sesuai dengan alur ekonomi. Sebagian dari para psikolog berusaha mengarahkan semua eksistensi dengan penjabaran yang mesti sesuai dengan permasalahan­permasalahan psikologi.

Pandangan-pandangan ini memberikan asumsi terhadap filsafat materialis dalam bab eksistensi. Sedangkan tugas ilmu eksperimen ialah menyingkap relasi antara dua objek materi, bukan hal lain. Ilmu eksperimen tentu saja terdiam di hadapan masalah-masalah metafisik dan tidak bisa mengungkapkan pandangan apapun tentangnya. Malangnya, terdapat juga golongan yang menyalahgunakan sikap diam ini dan menjadikannya sebagai pelindung bagi penafsiran materialis mereka.

Krisis Moral

Tidak diragukan lagi bahwa manusia modern menghadapi krisis moral. Zaman kini dunia dilanda kerumitan hidup dengan manifestasi moral-moral yang bobrok. Keburukan moral seperti minum minuman keras, seks bebas, seks sesama jenis, pelecehan seksual terhadap anak kecil, mengambil hak-hak orang lain dengan dalih hak­hak asasi manusia dan demokrasi, pengeksploitasian dan penjajahan negara lemah, pelarangan negara merdeka dari teknologi ilmiah, perbudakan modern, polemik keluarga, serta pemutar-balikan sosok asli seorang perempuan, menjadi petaka dunia kontemporer.

Apa yang melanda dunia masa kini, bahwa tolak ukur baik dan buruknya moral adalah kelezatan dan keuntungan materi. Seruan seseorang kepada nilai-nilai dan norma-norma luhur kemanusian serta berperang melawan hawa nafsu menjadi tanpa makna. Akhlak tercela pun bisa dibenarkan berdasarkan tolak ukur kelezatan dan keuntungan materi itu.

Akar dari krisis moral tersebut ialah kelalaian terhadap perhatian dan pembinaan sisi non-materi manusia dan keutamaan fitrahnya itu. Yang pada giliran selanjutnya, tidak adanya perhatian terhadap Tuhan dan ajaran-ajaran para nabi Ilahi. Karena itu, kita dapat menyatakan bahwa jalan keluar dari krisis tersebut ialah manusia harus kembali lagi melihat dirinya dan tidak hanya memandang sisi materi saja.

Manusia harus dengan sungguh-sungguh memerhatikan sisi maknawi dan non-materi dirinya dan memedulikan potensi-potensi yang tersimpan di dalamnya. Manusia tidak boleh membatasi kehidupan pada dunia saja. Ia harus meyakini bahwa kesempurnaan moral dan maknawi dirinya berada dalam ajaran-ajaran utusan Ilahi. Hanya pada ajaran­ajaran Ilahi sajalah manusia bisa menemukan puncak akhlak mulia. Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (Kanz al-Ummal, Hadis ke-5217)

Krisis Psikologi dan Maknawi

Dalam dunia masa kini kemajuan yang mengejutkan dalam ilmu-ilmu eksperimental telah banyak ditorehkan, khususnya dalam psikologi dan ilmu kejiwaan. Namun mereka tidak mampu mengatasi berbagai problem kejiwaan yang ada, semisal kegelisahan, tekanan jiwa, trauma kejiwaan, stres, penyelewengan, dan kehampaan hidup. Banyak dikatakan bahwa manusia sekarang telah kehilangan jati diri sebenarnya.

Baca: Terapi Moral ala Surah Luqman

Demikianlah, meskipun ia berada dalam naungan berbagai macam kemajuan dan kemampuan materi serta perkembangan industri yang semestinya dapat bersosialisasi lebih baik dengan yang lain tetapi justru merasakan keterasingan. Semua problem ini berakar dari tidak kenalnya seseorang pada jati diri. Seakan ia kehilangan sandaran untuk ketenangan dirinya yang sejati, Tuhan Yang Maha Esa. Padahal manusia, sejatinya, adalah eksistensi fakir yang senantiasa bergantung kepada Tuhan, sejak dicipta hingga kelangsungan keberadaannya.

Manusia menjadi gelisah, sakit, penuh problem, karena tidak lagi memerhatikan hubungannya dengan Tuhan, sampai­sampai ia meninggalkan Tuhan disebabkan oleh terkecoh anggapan bahwa itu tidak selaras dengan kebebasannya. Ketersesatan jalan itu telah mengesampingkan Tuhan, Sang Mahakasih dan Penolong, dari kehidupannya. Ia lalai bahwa kehidupan dan kesempurnaannya tersimpan dalam hubungan baiknya dengan Tuhan Yang Mahabijaksana.

*Disarikan dari buku Panorama Pemikiran Islam – Ayatullah Jafar Subhani

No comments

LEAVE A COMMENT