Situs Resmi Komisi Bimbingan dan Dakwah Syura Ahlulbait Indonesia (ABI)
 

Manusia dan Taklifnya

Makhluk hidup lain seperti binatang dan tumbuhan tidak memiliki akal dan perasaan, mereka tidak dibebani taklif/ tugas. Mereka tidak mempunyai akal sehingga tidak bisa melawan kecenderungan mereka dengan daya pikir dan pertimbangan matang serta mengontrol keinginan mereka.

Malaikat juga tidak membutuhkan taklif dan hukum syariat, karena wujud mereka lebih tinggi dari materi dan tidak memiliki syahwat dan amarah yang perlu dikontrol. Karena itu, maksiat dan dosa sama sekali tidak tergambar pada diri mereka sehingga mereka harus diperintah atau dilarang. Para malaikat tunduk sepenuhnya di hadapan tugas-tugas yang dibebankan atas mereka dari awal penciptaan dan tidak akan melanggarnya.

Sekaitan dengan malaikat, Alquran mengatakan, “Mereka tidak menentang perintah Allah dan senantiasa melaksanakan apa yang diperintahkan kepada mereka.” (QS. at-Tahrim: 6)

Baca: Agama Islam dan Realitas Umatnya

Namun, berkat penciptaan khasnya, manusia bisa memikul tugas, karena pertama, ia tidak seperti malaikat, tapi ruhnya berhubungan dengan badan materi dan dengan cara ini, ia bisa menempuh jenjang kesempurnaan atau menuruni tangga kehinaan dan kita bisa menggambarkan ketaatan serta kemaksiatan pada diri manusia.

Kedua, ia adalah makhluk berakal dan berikhtiar sehingga ia mampu mempertimbangkan akibat tindakannya dengan akal dan daya pikirnya serta menentukan maslahat atau mudharatnya. Dengan dua karakteristik ini, manusia bisa diperintah atau dilarang.

Abdullah bin Sanan bertanya kepada Imam Jakfar a.s. tentang siapa yang lebih utama antara malaikat atau manusia, beliau menjawab dengan menguti perkataan datuknya Amirul Mukminin a.s. : “Allah memberikan akal minus syahwat kepada malaikat dan memberikan syahwat minus akal kepada binatang, namun Dia memberikan kedua-duanya kepada manusia. Setiap manusia yang bisa mengunggulkan akalnya atas syahwatnya, maka ia lebih utama dibanding malaikat. Sebaliknya, manusia yang mengedepankan syahwatnya atas akalnya, lebih buruk dan hina dari binatang.”

Alquran mengatakan, “Kami menawarkan amanah kepada langit, bumi dan gunung, tapi mereka menolak mengembannya dan takut (menerimanya). Namun manusia menerimanya, karena ia zalim dan bodoh.” (QS. al-Ahzab: 72)

Sebagian ahli tafsir mengartikan amanah itu sebagai perintah dan larangan Allah. Dalam menjustifikasi pendapat ini, bisa dikatakan bahwa Allah menawarkan taklif kepada langit, bumi dan gunung, tapi karena mereka tidak berpotensi menerimanya, mereka menolak menanggung beban berat ini.

Karena para malaikat makhluk non-materi dan tidak memiliki syahwat atau amarah, mereka juga tidak siap menerima taklif ini. Hanya manusia saja yang mampu menerimanya, karena ia memiliki ikhtiar dan kehendak serta mampu menempatkan dirinya dalam lingkup hukum dan undang-undang Ilahi. Karena manusia zalim dan bodoh (dalam arti bahwa ia mungkin bertindak zalim dan bodoh), ia mampu mengemban taklif Allah. Menjadi pengemban tugas (mukallaf) adalah suatu nilai tersendiri bagi manusia, karena berbeda dengan makhluk-makhluk lain yang jalan kesempurnaan ikhtiari mereka tertutup, manusia mempunyai karunia ini dan jalan kesempurnaan yang berasaskan ikhtiar terbuka bagi mereka.

Tugas-tugas ini dibuat oleh Allah yang mengetahui penciptaan khas jasmani dan ruh manusia serta maslahat dan madharat sejati dunia dan akhiratnya. Kewajiban-tugas ini disampaikan kepada mereka melalui nabi-nabi maksum a.s. Allah yang Mahabijak mengetahui faktor-faktor kebahagiaan

dan kesengsaraan manusia dan sadar bahwa manusia tidak mampu menciptakan sistem sempurna semacam ini. Sebab itu, Dia membuat hukum dan undang-undang yang diperlukan dan memberikannya kepada manusia melalui utusan-utusan-Nya.

Baca: Penyembuhan Penyakit Jiwa ala Islam

Meski tugas-tugas samawi ini sedikit banyak membatasi kebebasan mutlak manusia, namun keterbatasan ini tidak merugikannya, bahkan memberinya keuntungan dalam memenuhi maslahat sejatinya, sebab Allah tidak akan bertindak merugikan hamba-hamba-Nya. Pada prinsipnya, manusia tidak bisa hidup dengan kebebasan mutlak, karena ini bukan suatu maslahat baginya. Mengingat bahwa manusia hidup bermasyarakat dan membutuhkan sesamanya, ia harus menerima batasan-batasan sosial yang disusul batas-batas tugas-tugas syar’i.

Alquran mengatakan:

“Manusia adalah suatu umat, maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan. Dia menurunkan kitab atas mereka supaya dijadikan hakim dalam setiap perselisihan mereka. Namun, selain orang-orang yang kitab diturunkan atas mereka dan hujjah sudah disempurnakan , tidak ada yang berselisih di dalamnya, perselisihan mereka muncul dari kesombongan dan kesewenang-wenangan mereka. Allah memberi hidayah kepada orang-orang beriman saat mereka berselisih tentang kebenaran. Ia membimbing orang yang kehendaki ke jalan yang lurus.” (QS. al-Baqarah: 213)

Imam Shadiq as ditanya, “Kenapa Allah menciptakan hamba-hamba-Nya?” Beliau menjawab, “Allah tidak menciptakan hamba-hamba-Nya dengan sia-sia atau membiarkan mereka begitu saja, tapi Ia menciptakan mereka untuk menampakkan kekuasaan-Nya dan membebani mereka (dengan taklif). Dengan begitu, mereka mendapatkan ridha­Nya berkat ketaatan kepada-Nya. Allah tidak menciptakan mereka untuk menarik keuntungan atau mencegah bahaya dari diri-Nya, bahkan dengan tujuan memberikan keuntungan kepada mereka dan mengantarkan mereka menuju kenikmatan abadi.”

Tanggung jawab manusia sangat luas dan bervariasi dari kesemuanya itu dapat diringkas dalam tiga bagian:

1) Tanggung jawab manusia terhadap Allah dan nabi

Secara akal dan syariat, manusia bertugas mengenal Sang Pencipta dan Pemberi Nikmatnya, bersyukur kepadanya, menyembahnya dan melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan di atas pundaknya. Ia juga harus mengenal para nabi, mendengar risalah Ilahi dan memanfaatkan bimbingan mereka. Menaati Allah dan nabi akan menguntungkan manusia, karena akan membawanya kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.

Alquran mengatakan, “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah, rasul dan para pemegang kendali urusan kalian. Bila kalian berselisih dalam suatu perkara, merujuklah kepada Allah dan rasul bila kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Ini baik bagi kalian dan memiliki akhir yang lebih baik.” (QS. an-Nisa: 59)

2) Taklif manusia terhadap dirinya

Sesuatu yang paling disayangi dan berharga bagi manusia. adalah dirinya. Terlebih dahulu, manusia harus memikirkan dirinya, mengenalnya, dari mana ia berasal, berada di mana dan kemana tujuannya? Apa faktor-faktor kesempurnaan dan kejatuhannya?

Manusia harus mengetahui posisinya di dunia dan mengenal tugas-tugasnya. Ia harus berpikir di mana kebahagiaan sejatinya berada? Apa faktor kesengsaraannya? Bagaimana ia mengetahui program kehidupannya dan cara menentukan perjalanan nasibnya?

Bila manusia memikirkan hal ini baik-baik dan menata program kehidupannya dengan benar, ia bisa membahagiakan dirinya. Bila tidak, ia menzalimi dirinya dan membawa dirinya kepada kehancuran. Sungguh tiada kerugian yang lebih besar dari ini!

Alquran mengatakan,

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaknya setiap jiwa memandang apa yang telah ia lakukan untuk esok harinya. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Dia mengetahui apa yang kalian lakukan.” (QS. al-Hasyr: 18)

“Wahai orang-orang yang beriman! Jagalah diri dan keluarga kalian dari api neraka yang kayu bakarnya adalah manusia dan bebatuan, neraka yang dijaga oleh para malaikat galak dan tidak menentang apa yang diperintahkan Allah dan selalu melaksanakannya.” (QS. at-Tahrim: 6)

Imam Sajjad a.s. berkata: “Hak jiwamu adalah engkau harus memaksanya menaati Allah. Engkau harus menunaikan hak lidahmu, telingamu, matamu, tangan, kaki, perut dan auratmu serta mintalah bantuan dari Allah di jalan ini.”

3) Tanggung jawab manusia di hadapan sesama manusia

Manusia hidup di tengah masyarakat dan membutuhkan bantuan orang lain. Manusia terpaksa hidup bersama dan saling membantu dalam segala urusan sosial. Masing-masing individu harus mengemban tanggung jawab sosial tertentu. Mereka harus menjaga undang-undang sosial, sehingga memiliki kehidupan tenteram dan damai. Etika dan hak-hak sosial diberlakukan dalam rangka mewujudkan tujuan ini.

Baca: Karakter Perjuangan Dakwah Rasulullah Saw Menegakkan Islam

Agama Islam sangat memperhatikan etika sosial dan menentukan tanggung jawab per individu masyarakat satu sama lain serta menghimbau mereka untuk melaksanakannya. Masing-masing individu bertanggung jawab terhadap komunitasnya; ayah dan ibu terhadap anak-anak dan anak­anak terhadap keduanya, suami dan istri, saudara dan saudari, sesama tetangga, guru dan murid, pandai dan bodoh, dokter dan pasien, penguasa dan rakyat, pegawai dan warga, komandan militer dan bawahan, orang tua usia lanjut dan kanak-kanak, Muslim dan Ahlulkitab serta orang kafir, masing-masing mereka memiliki tanggung jawab satu sama lain. Tentu saja tanggung jawab manusia tidak terbatas dalam hal-hal di atas, tapi juga tanggung jawab dia terhadap binatang, tumbuhan, laut, lingkungan hidup, air dan udara, tanah, tambang dan hutan.

*Disarikan dari buku Alfabet Islam – Ayatullah Ibrahim Amini


No comments

LEAVE A COMMENT