Taqlid yakni beramal sesuai fatwa seorang marja`. Sudah menjadi sebuah wacana utama di dalam Islam bahwa tanggung jawab utama kaum muslimin adalah mengamalkan hukum-hukum Islam yang terkandung di dalam kitab suci Al Quran dan Sunnah Nabi saw, dengan mempertimbangkan ijmak para ulama dan analisa akal (baca; qiyas aqliah).
Yang menjadi pertanyaan utama di sini adalah apakah tanggung jawab ini sudah menjadi sebuah “kewajiban” untuk seluruh umat Islam, dan tidak ada jalan untuk menghindar dari kewajiban tersebut?, lantas bagaimana dengan mereka yang tidak mempunyai abilitas untuk melakukannya?, bagaimana dengan fleksibilitas Islam yang dikenal sebagai agama reformis dan tidak mengintimidasi penganutnya?
Tentu sangat apriori untuk bersinyalemen bahwa Islam demikian, Islam mengharuskan ini dan itu, dan seterusnya.
Jawaban untuk pertanyaan di atas jelas sudah, bahwa;
ما أَنْزَلْنا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقى، إِلاَّ تَذْكِرَةً لِمَنْ يَخْشى،
Kami tidak menurunkan Al Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah; tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah swt). QS: Thaha.2-3
Islam diturunkan olehNya untuk mempermudah kehidupan umat manusia, bahkan seluruh makhluk hidup dan jagad raya.
Kembali ke topik utama, benar bahwa prioritas utama seorang muslim dan mukmin adalah mengamalkan perintah Allah swt dengan sandaran penjelasan Sunnah rasul dan pertimbangan ijma` para ulama serta kemampuan analisis akal pikiran yang sehat yang selanjutnya disebut sebagai sumber-sumber hukum Islam. Namun bukan berarti baku, karena kemampuan untuk memahami Al Quran dan Sunnah tidak dimiliki oleh semua orang.
Karena demikian, Islam juga menyediakan koridor untuk bisa beralih ke prioritas kedua. Prioritas kedua ini dikenal sebagai Ihtiyath (berhati-hati). Secara lebih sederhana; ihtiyath adalah membandingkan hasil fatwa para ulama dan kemudian berdasarkan hasil perbandingan tersebut, mengambil dan mengamalkan yang tersulit dari semua fatwa-fatwa yang ada. Sebagai contoh; kita asumsikan bahwa di dunia ini ada lima orang ulama yang sudah sampai ke level mujtahid. Kelima mujtahid tersebut mengeluarkan fatwa tentang rokok, dimana; mujtahid A memfatwakan merokok itu adalah haram, kemudian mujtahid B mengatakan mubah, C berpendapat makhruh, dan mujtahid D berpendapat halal.
Seorang muhtath (seseorang yang sudah sampai pada level ihtiyath) akan mengamalkan ijtihadnya mujtahid A, karena itu adalah yang tersulit. Namun demikian, juga, tidak semua orang mampu dan sanggup menjadi muhtath.
Tahap paling umum adalah taqlid, yang juga manifestasi dari fleksibilitas Islam sebagai agama langit yang dibumikan oleh Allah swt. Seperti yang lazim kita ketahui, taqlid adalah mengikuti fatwa yang sudah ada. Jelasnya, seorang muqallid diharuskan mengikuti seluruh fatwa dan ijtihad-ijtihad dari mujtahid yang telah dia pilih sebagai marja’ (tempat rujukan) baginya. Jadi, ketika kita merujuk ke hasil fatwa seseorang kita disebut sedang bertaqlid kepada ulama tersebut.
Lantas, apa yang harus dilakukan oleh seorang mukallaf jika dia tidak mempunyai kemampuan untuk mengindentifikasi mujtahid yang bisa dijadikan rujukan baginya?
Lantas, apakah kita juga diharuskan bertaqlid dalam urusan ideologi dan akidah?
Mari kita kaji ulang fatwa para maujtahid tentang hal tersebut [1];
Secara yurisprudensi, ideologi seorang muslim harus didasarkan pada dalil dan argumentasi yang kuat.
Ayatullah Safi Golpaighani: Akidah dan kepercayaan kaum muslimin terhadap usuluddin harus dilandaskan pada dalil dan argumentasi, dan tidak bisa bertaqlid dalam urusan Ushuluddin. Artinya; jangan lah menerima (mentah-mentah) pendapat-pendapat yang tidak didasarkan atas dalil yang jelas. Namun demikian, apabila keyakinan terhadap ideologi dan akidah diperoleh melalui arahan dan ucapan seseorang maka keIslaman orang tersebut sudah dianggap lengkap (mencukupi).
Ayatullah Sistani: Sudah menjadi keharusan jika keyakinan, ideologi dan akidah seorang muslim terhadap Ushuluddin diperoleh melalui visi yang benar dan jelas dan tidak dibenarkan bertaqlid dalam hal keyakinan dan ideologi. Jelasnya; tidak boleh meyakini kebenaran atas keyakinannya hanya lewat perkataan seseorang tanpa adanya anlisa dan dalil yang jelas. Namun, ketika seseorang meyakini kebenaran akidah dan ideologi Islam sekalipun tidak dengan dalil dan argumentasi yang jelas, dia harus mengamalkan seluruh ajaran dan hukum-hukum Islam secara menyeluruh.
Ayatullah Nuri Hamidani: Kaum muslimin harus meyakini ideologi dan akidah keIslamannya, dan keyakinan yang diyakini oleh setiap muslim mesti sesuai dengan daya nalar dan kekuatan analisis yang dimilikinya.
Ayatullah Fazel Langkarani: Sudah semestinya umat manusia memiliki keyakinan dan ideologi yang kokoh dan jelas tentang Ushuluddin, dan keyakinan ini bisa didapatkan melalui segala bentuk cara dan metode yang mereka inginkan, apakah itu berbentuk dalil dan argumentasi, ataupun melalui arahan orang tua dan para ulama, sekalipun dalil tersebut belum sanggup mereka cerna dan analisa.
Ayatullah Behjad: Tidak boleh bertaqlid dalam urusan ideologi dan keyakinan.
Ayatullah Wahid Khurasani: Bertaqlid dalam urusan akidah dan usuluddin adalah batal dan tidak dibolehkan.
Ayatullah Makarim Shirazi: Tidak seorang muslim pun dibolehkan bertaqlid dalam urusan Ushuluddin, tapi harus (mereka analisa sendiri) melalui dalil yang jelas.
Ayatullah Ja’far Subhani: kaum muslimin (ketika mereka belum memperoleh keyakinan yang jelas tentang akidah dan ideologinya) harus berusaha mendapatkan keyakinan tentang Ushuluddin dan permasalahn akidah.
Ayatullah Mazahiri: kaum muslimin harus memastikan keyakinannya tentang masalah-masalah Ushuluddin.
Dari penjelasan singkat ini bisa kita simpulkan bahwa Islam mengharuskan pemeluknya untuk “melek agama” dan menjadi pintar terutama tentang agama dan ajaran yang dianut. Di lain pihak, Islam juga mengharuskan pemeluknya untuk memperoleh ideologinya melalui proses ilmiah dan rasional.
Singkatnya,Islam tidak mengintimidasi pemeluknya dengan ketentuan-ketentuan yang menyulitkan, bahkan Islam senantiasa mempermudah pemeluknya untuk lebih leluasa menikmati kehidupannya di dunia dengan berlandaskan hukum agama.
AS Djatu
[1] . fatwa-fatwa tersebut seluruhnya kami terjemahkan dari site http://portal.anhar.ir