Mungkin boleh dikata bahwa subyek evaluasi diri/jiwa (nafs) adalah akal, dan akal bukanlah jiwa. Tapi pada kenyataannya, perbedaaan antara akal dan jiwa hanya bersifat analisis semata, karena pada realitas obyektifnya, jiwa dalam kesatuannya yang utuh mencakup semua potensi. Jadi pada hakikatnya, jiwa memang bisa melakukan introspeksi. Lantas bagaimana introspeksi ini bisa dilakukan? (Baca sebelumnya: Muhasabah 2)
Jawabannya jelas bisa, melalui satu di antara dua solusi sebagai berikut;
Pertama, nafs dalam keadaannya yang jernih difungsikan untuk mengoreksi kemandekan dan kelemahannya. Penjelasannya ialah bahwa jiwa tidak akan tertimpa maksiat kecuali akibat kemandekan dan kelemahannya di depan godaan. Setelah itu jiwa bisa jadi akan beralih kepada sebentuk kondisi jernih, insaf, dan sehat karena tiga faktor sebagai berikut;
- Setelah dorongan hawa nafsu dituruti, gejolaknya akan reda karena sudah terlampiaskan. Di sinilah keadaan insaf, meski relatif, berperan untuk memadamkan gejolak. Inilah yang mungkin diisyaratkan dalam riwayat yang menyebutkan bahwa seseorang bertanya kepada Imam Jakfar al-Shadiq as, “Mungkinkah seseorang berzina dalam keadaannya sebagai mukmin?” Beliau menjawab;
لا إذا كان على بطنها سُلِبَ الإيمان منه، فإذا قام رُدّ عليه.
“Tidak, ketika dia sudah berada di bawah perut perempuan imannya tercabut darinya, ketika dia bangkit imannya terpulang lagi kepadanya.”[1]
- Godaan yang menyebabkan jiwa menjadi rentan dapat hilang atau melemah, sehingga jiwa saat itu dapat menyadari peran keinsafan, meski relatif. (Baca: Amalan Kunci Kebahagiaan)
- Jiwa dapat menguat dengan bantuan semisal wejangan agamawan, pembacaan al-Quran, renungan akan bahaya maksiat, dan lain-lain.
Dengan faktor manapun di antara tiga faktor ini, ketika manusia sedang mengalami kondisi insaf, meski relatif, hendaknya memanfaatkan momen itu untuk berintrospeksi atas apa yang telah dilakukannya saat mengalami kondisi mandek, lalai, dan abai. Karena itu, ia berkewajiban berusaha mendatangkan faktor-faktor keinsafan itu sedapat mungkin melalui cara-cara yang benar.
Kedua, menunjuk dan meminta orang lain supaya mengawasi dan menilainya, sehingga obyek dan sumbek penilaian menjadi berbeda orang agar muhasabah atau koreksi dan evaluasi bisa berjalan. Solusi ini merupakan satu-satunya jalan yang harus ditempuh bagi orang yang tak mampu menggunakan solusi pertama.
Selanjut, patut diingat pula bahwa muhasabah relevan bukan hanya dengan para pelaku maksiat saja, melainkan juga dengan orang-orang yang salih dan arif, karena jenjang keruhanian manusia tak ada batasnya. Bagi para arif, ada pula “dosa-dosa” irfani yang “siksanya” bisa jadi membuat sensibilitas mereka atas dosa-dosa irfaninya ini tak kalah besar dibanding sensibilitas para pemaksiat atas maksiatnya. (Baca: Akibat Maksiat kepada Allah)
Ada arif yang terhukum dan tersiksa oleh ketidak mampuan mereguk nikmatnya munajat atau gagal meraih jenjang kenikmatan itu, misalnya. Perasaan mereka atas kegagalan ini bisa jadi tak kalah pedihnya dibanding keterbakaran pendosa oleh rasa takutnya kepada siksa neraka.
Di atas langit ada langit. Setinggi apapun jenjang seorang arif dalam suluk dan pendakian ruhaninya yang terus menanjak tanpa titik klimaks tetap memerlukan muhasabah demi mencapai jenjang yang lebih tinggi dan supaya dia bebas dari ketersiksaannya yang khas itu.
Dari tutur kata para arif dapat dilihat betapa mereka merintih atas siksa-siksa irfani dengan rintihan yang bahkan lebih getir dan memilukan daripada keluh kesah dan ketersiksaan para pendosa oleh kesadaran mereka atas kelayakan mereka untuk dimasukkan ke dalam neraka. (Baca: Mayat Mempelai Wanita yang Hidup Kembali)
Meninggalkan secara mutlak perbuatan sia-sia, misalnya, yang menurut dhahir al-Quran merupakan sifat orang yang beriman[2] meskipun secara fikih hukumnya tidak wajib, tapi secara irfani merupakan kewajiban sehingga jika terabaikan tentu akan menimbulkan tekanan tersendiri pada jiwa seorang arif, seperti yang terlukiskan dalam penggalan Doa Abu Hamzah al-Tsumali;
أو لعلّك رأيتني آلف مجالس البطّالين فبيني وبينهم خلّيتني…
“Atau jika seandainya Engkau melihat aku menyukai majelis-mejelis para pembuat sesuatu yang sia-sia lalu Engkau biarkan antara aku dan mereka…”[3]
Ungkapan ini menggambarkan betapa seorang salih merintih dan merasa pedih jiwanya apabila Allah membiarkannya senang duduk bercengkrama dengan orang-orang lain untuk sesuatu yang tak ada gunanya.
(Bersambung)
[1] Al-Wasa’il, jilid 20, hal. 312, bab 1 al-Nikah al-Muharram, Hadis 17.
[2] Lihat QS. al-Mu’minun [23]: 1 – 3.
[3] Mafatih al-Jinan, Doa Abu Hamzah al-Tsumali.
Baca selanjutnya: Membangun Diri Dengan Muhasabah (4)